Apa Kabar Sastra Sunda?

Matdon *
sinarharapan.co.id

Sepuluh penyair Sunda (kemudian penyair dalam bahasa Sunda disebut Penyajak), Senin (9/4) lalu, tampil bersama di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, dalam acara “Tepung Lawung Panyajak Sunda” atau pertemuan penyair Sunda. Mereka antara lain Soni Farid Mualana, Moel Mge, Euis Balebat, Ayi Kurnia, Ches Inendez, Godi Suwarna, Yayat Hendayana, Dian Hendrayana, Rin Rin Candraresmi, dan Rosyid E Aby.

Ayi Kurnia memulai acara dengan membacakan sajak “Kongkorongok”, “Ilangna Mustika”, dan “Orkes Melayu” karya Godi Suwarna, disusul penampilan Moel Mge yang membawakan dua sajak karyanya sendiri, yakni “Guneman” dan “Basa Hujan”. Lalu Sonny Farid Maulana membawakan tiga karyanya, “Syair Kembang Kangkung”, “Angin Lembang” dan “Kembang Api”.

Setelah itu, pembacaan sajak mengalir mulai dari Rosyid Aby, Euis Balebat, Dian Hendrayana, Che Isnendes, Yayat Hendayana dan puncaknya si raja penyair Sunda Godi Suwarna yang membawakan karya andalannya sejak tahun 1980 yakni “Blues Kere lauk” dan “Batu Karas”.

Secara keseluruhan acara yang digelar oleh PPSS (Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda) ini tidak ada yang istimewa, namun paling tidak bisa jadi ajang reuni atau semacam rendez-vous bagi para penulis sastra Sunda, yang jarang sekali menggelar acara berbobot. PPSS merupakan sebuah organisasi sosial masyarakat yang mengikat semua pengarang dalam bahasa Sunda yang berdiri 27 Maret 1966 lalu. Hingga saat ini banyak garapan PPSS khususnya yang berkaitan dengan perkembangan karya sastra Sunda. Bahkan, beberapa waktu lalu PPSS menggelar hari Bahahasa Indung Internasional (Hari Bahasa Ibu Sedunia), juga menerbitkan buku kumpulan sajak Sunda Surat Keur Ka Bandung karya sejumlah panyajak Sunda.

Mandek?

Perkembangan sastra Sunda sejak lama tidak lagi memiliki kejutan, tradisi kritik sastra Sunda pun nyaris tak terdengar. Realitas ini menyisakan pertanyaan yang sulit dijawab, padahal ternyata banyak generasi baru yang muncul setelah nama-nama besar seperti Moh Rustandi Kartakusumah, Memed Sastrahadiprawira, Ki Umbara, Samsu, Syarif Amin, Moh Ambri, Tjaraka, Adang S, Ading Affandie, Kis WS, Ahmad Bakrie, Juhana, Yus Rusyana, Karna Yudibrata, Aam Amilia, Ami Raksanagara, Rachmat M Sas Karana, Sayudi, Tini Kartini, MA Salmun, Wahyu Wibisana, dan Abdullah Mustappa.

Itu terjadi pada dekade tahun 1960-an nama-nama itu bertambah dengan penyair dalam menciptakan puisi Sunda, baik berupa pantun hingga tembang. Ada juga sastrawan Sunda yang menulis dalam bahasa Indonesia seperti Achdiat Kartamihardja, Utuy Tatang Sontani, termasuk Ajip Rosidi. Setelah itu lahir nama-nama seperti Usep Romli HM, Yoseph Iskandar, Godi Suwarna, Aan Merdeka Permana, Tatang Sumarsono, Taufik Faturohman dan Holisoh ME. Sedangkan yang juga menulis dalam bahasa Indonesia ada Remy Sylado, Saini KM, Jakob Sumardjo, Beni Setia, Kurnia Effendi, Arie F Batubara, dan Eddy D Iskandar.

Para sastrawan yang muncul di tahun ‘60-an dan ‘70-an, terbilang produktif hingga tahun ‘80-an. Dalam sastra Sunda, nama-nama seperti Aam Amilia, Eddy D Iskandar, Godi Suwarna, Aan Merdeka Permana, Joseph Iskandar, Holisoh ME, dan Tatang Sumarsono, begitu populer hingga saat ini, begitupun mereka yang “bermain” dalam sastra Indonesia tercatat nama-nama yang produktif berkarya prosa yakni Beni Setia, Kurnia Effendi, Arie F Batubara, Eddy D Iskandar, Pipiet Senja, Abdullah Harahap, dan Remy Sylado.

Memasuki 1990-an hingga 2000-an mulai muncul nama Budi Rahayu Tamsyah, Hadi AKS, Cecep Burdansyah, Darpan Ariawinangun, Dadan Sungkawa, Deden Abdul Aziz, Dadan Sutisna, Nunu Nazaruddin Azhar, Usman Supendi, Dian Hendrayana, Tony Lesmana, dan lain-lain.

Ada yang harus dicatat, dalam perkembangan khazanah puisi Sunda tahun 2000 sampai sekarang, kecenderungan lirisisme masih terasa dan belum menghasilkan nama-nama besar seperti mereka, rata-rata penyair Sunda memiliki style pengucapan puisi-puisi suasana yang mengekspresikan kesedihan, cinta-cinta terhadap tanah kelahiran, gejolak hati, kerinduan yang penuh suasana melankolis.

Kesepuluh penyair Sunda yang tampil siang itu pun bukan lagi nama baru bagi dunia sastra Sunda, jadi sebenarnya sastra Sunda tengah menanti penulis baru – sastrawan baru yang mampu mengubah style yang lebih modern dan cerdas seperti Godi, ayolah!
***

*) Penulis adalah penyair.

Leave a Reply

Bahasa »