Film Perempuan dan Rezim Konsumsi

Bandung Mawardi
http://www.suaramerdeka.com/

KETAKJUBAN dunia terhadap film membuka pelbagai kemungkinan menjadikan film ruang permainan ideologis. Kronik film abad XX jadi penanda pergulatan ideologis untuk mencari pengesahan dan penampikan.

Film-film mutakhir pun eksplisit jadi etalase untuk memicu hasrat konsumsi perempuan. Film menjelma iklan panjang memikat karena bertaburan artis, benda konsumtif, dan ekstase cerita. Perempuan menonton film mirip prosedur pengesahan diri sebagai makhluk konsumen.

Film Sex and the City mencatatkan diri sebagai film fenomenal dengan aroma keperempuanan. Artis-artis top tampil dalam kisah kemodernan untuk ?mengajarkan? pada dunia tentang laju feminisme Barat. Film dijadikan juru bicara untuk kronik feminisme dalam taburan nilai dan proyek global. Film itu menyapa dengan godaan konsumtif. Penonton pun terpana pada busana, kosmetik, aksesori, atau sepatu. Artis mengubah diri jadi etalase untuk memikat perempuan mengonsumsi pelbagai hal dengan embel-embel inspirasional global di dunia mode.

Kesuksesan itu dilanjutkan Sex and the City 2. Kalangan perempuan menyambut hangat film itu.

Produksi wacana film itu kentara konsumsi, karena resensi dan diskusi publik justru mengurusi sepatu, baju, perhiasan, kacamata, tas, dan aksesori perempuan. Cerita tersisihkan oleh hasrat konsumtivisme melalui pergelaran mode. Proyek menjadikan perempuan sebagai fashionista digulirkan. Itulah pencapaian memukau dari film global untuk mengabarkan kemutakhiran mode bagi perempuan.
Film Konsumsi Bintang tenar Sex and the City 2 adalah Sarah Jessica Parker, Kim Cantrall, Cynthia Nixon, dan Kristin Davis. Mereka tampil dengan busana rancangan desainer kondang dunia. Mereka dikonstruksi jadi inspirasi bagi dunia mode. Merek terkenal tampil dalam sosok artis pujaan. Perempuan disibukkan menekuni pernik-pernik konsumsi ketimbang cerita. Itu contoh kecil dari gejala mengajarkan konsumsi melalui film.

J Winship (1987) mengungkapkan, majalah perempuan, novel, dan film adalah wilayah penting untuk mendidik perempuan mengenai hasrat dan praktik membeli pakaian. Kenikmatan diri diajarkan untuk membuat perempuan mendandani diri dalam garis konsumtivistik.

Gejala itu dicurigai kaum feminis sebagai pola penjinakan perempuan untuk narsistik dalam kesepelan, tetapi abai pada misi keperempuanan. Pakaian jadi doktrin atas nama perilaku konsumtif melalui jejaring global dan medium publik. Film tentu punya pengaruh signifikan dari gerakan konsumtif itu karena memiliki topangan finansial dan distribusi besar.

Perempuan mesti kritis saat menonton film. Godaan konsumtif memang kerap tampil secara lembut. Perempuan penonton mirip dalam pola indoktrinasi, tetapi disamarkan melalui cerita atau penguatan karakter tokoh perempuan. Wacana keperempuanan dalam film perlahan memunculkan dilema atas sebaran isu feminisme menjadi perayaan konsumsi.

Feminisme Gelombang Kedua (1960-an dan 1970-an) intensif mengingatkan soal ampak film dalam edukasi kekritisan perempuan terhadap lakon zaman. Wacana film dan perempuan diperkarakan secara terbuka, kendati diliputi dilema. Film untuk medium penyadaran kerap tersisihkan oleh industri film untuk pembentukan masyarakat konsumsi.

Relasi intim antara film dan industri konsumtivistik terjadi sejak awal abad XX. Film diakui bakal menimbulkan impresi dan dampak besar dalam menebar pengaruh dan edukasi konsumsi. Charlotte Herzog (1990) mencatat fashion perempuan dan film dirancang untuk mempromosikan produk dan mendidik perempuan mengenai penampilan diri. Hollywood sebagai pusat perfilman dunia kentara menganut pola itu.

Film dikonstruksi untuk menimbulkan hasrat perempuan agar suntuk mengamati ?rangkaian peragaan busana? dalam film (Joanne Hollows, 2010).
Reproduksi mode pun lekas menyebar secara efektif dan menimbulkan demam narsisistik kaum perempuan. Film mungkin jadi pe-micu untuk kaum perempuan ?belanja sampai mati? demi martabat perempuan global.
Kritis Sikap kritis dalam menonton film jadi modal bagi perempuan agar tak terperangkap rezim konsumsi global.

Film sebagai medium hiburan mesti diletakkan dalam kerangka kritik dan afirmasi atas progresivitas gerakan perempuan untuk memberi arti pada dunia. Film dan gerakan feminisme memang belum mendapati ruang besar untuk publik karena isu-isu dalam film rentan dengan resistensi politik-hukum. Kondisi itu justru dijadikan momentum oleh industri film dengan misi konsumsi.

Film dokumenter atau komersial produksi kaum perempuan tentu jadi sejenis pengharapan untuk memunculkan kultur tandingan. Film dengan sutradara, tema, dan pemain perempuan di Indonesia saat ini mulai jadi corong penyadaran, kendati masih memiliki keterbatasan penonton dan efek.

Film dalam gerakan feminisme dengan kasus lokal justru hendak dijadikan medium produktif bagi perempuan mengeksplorasi tema keperempuanan. Hiburan sekadar pemanis karena edukasi adalah penentu mutu olahan wacana dalam film khas perempuan.

Laura Mulvey menyatakan film pop bakal jadi dominasi maskulinitas dan narsisisme identitas saat dikonsumsi perempuan tanpa curiga dan kritik. Film pop kerap kontradiktif, dengan konsekuensi merugikan perempuan penonton (John Storey, 2003: 192-193).

Peringatan itu pantas jadi referensi untuk mengkritik dominasi film konsumsi dan film maskulinitas. Film perempuan mesti tampil sebagai corong wacana penyadaran dan pembebasan diri dari godaan konsumtif. Antusiasme perempuan untuk merayakan inspirasi konsumsi dalam film mesti ditandingi dengan pergulatan kritis melalui film edukatif keperempuanan. Begitu.

– Bandung Mawardi, pengelola Jagat Abjad Solo

Leave a Reply

Bahasa ยป