M.D. Atmaja
Manusia meluncur di atas tanah. Dua manusia. Satu lelaki, yang satunya lagi adalah perempuan. Di atas tanah itu, mereka hanya berdua. Telanjang seperti para pendahulu yang tidak berselubung apa pun. Semuanya nampak. Tidak ada tirai walau itu selayak kaca yang menampakkan seluruhnya. Mereka meluncur dalam pegangan tangan erat. Menuju ke lembah-lembah basah tak bernama. Dalam perjalanan ke sana, mereka melewati hutan yang riuh dengan kepentingan. Melewati persawahan dengan padi yang menguning dan menunduk dalam syukur yang hangat. Mereka juga melewati tepian pantai, yang di sana gemuruh ombak dan butiran pasir membisik di alunan ikhlas yang belum terpahami dua manusia ini.
Keduanya melaju. Tanpa perduli pada apa pun. walau di atas mereka, ada hiasa bintang gemintang surga yang menggantung indah. Atau, ketika api neraka menjilati pembatas tanah di bawah mereka. Keduanya tetap tidak perduli, pada dunia yang berkepentingan dan terus menggoda. Kesemuanya itu lewat begitu saja.
Sesekali, sang perempuan mendongak ke atas. Menyaksikan bintang gemintang yang memancar ramah. Atau pada ranum rembulan dalam sinar kelabu dan pucat yang kemudian menjadi cerah seketika ketika rambut malaikat tergerai menyibakkan kemuraman. Di malam itu, ada mega yang berarak jingga di sebelah timur. Lalu di sebelah barat ada burung pipit yang melantunkan kidung merdu. Seekor burung pipit yang kepakan sayapnya menutupi langit timur. Matahari memancar indah bersamaan dengan itu. Rembulan tetap bersinar terang. Matahari tidak saling menenggelamkan. Mengalir bersamaan dalam kemerduan hidup yang indah dan memabukkan. ?Di sanalah keabadian itu!? si perempuan membisiki hatinya sendiri kemudian tersenyum. Namun, langkahnya terseret sang lelaki yang sama sekali tidak menghiraukan keindahan di atas mereka.
Sang perempuan, juga menilik ke bawah. Dia melihat api yang menjalar ke permukaan namun tidak menembus bumi yang dipijaki. Api menyulut garang, mengeringkan setiap tulang belulang yang tersentuh. Tidak ada lagi daging yang basah di sana. Semuanya berkobar di dalam api yang menjilat. Di bawah kakinya, sang perempuan juga menemukan putihnya kebekuan yang dasyat. Kerasnya tulang di kepala, rapatnya tulang di dada, kesemuanya meleleh. Bercucuran tanpa terbendung oleh api yang menjalar. Api dan dingin tidak berlawanan di sana. Keduanya saling membumi-hanguskan segalanya.
Tidak hanya sampai di sana. Sang perempuan menyaksikan rantai-rantai berduri yang besar. Rantai itu memerah terkena jilatan panas. Di sisi lainnya, beku menahan tubuh-tubuh manusia yang meronta tak berdaya. Si perempuan berjingkat, mencoba menghindar saat api menyalak ke atas namun telapak kakinya yang telanjang tidak tersentuh. Ia ketakutan saat pandangan menangkap buah-buah berduri yang dijejalkan paksa ke mulut yang menolak tanpa kuasa. Sang perempuan merasakan sendi-sendinya bergetar saat lelehan nanah dan darah ditumpahkan pada panas api sementara manusia-manusia menjerit memohon ampun.
?Siksaan yang mengerikan!? guman si perempuan sambil menahan sendi-sendir yang terasa semakin nyeri.
Sang lelaki tidak perduli. Dia terus menyeret kekasihnya. Tidak sekali pun, pandangannya mengintip ke bawah. Tapi lurus pada jalan setapak yang mereka lewati. Kobaran api di bawah dan keindahan yang ada di atas kepalanya tidak pernah mengganggu perjalanannya. Dia melenggang di kesunyian menuju tempat yang dia pilih sendiri.
?Setiap jalan kita menemukan pilihan, Sayang!? ucap sang lelaki ketika tahu bahwa perempuan di sampingnya sesekali mengintip ke bawah dan mendongak ke atas. ?Ada tempat yang terselubung dari pilihan-pilihan itu. Di antara hadiah dan hukuman.?
?Tempat apa lagi, Mas, selain keindahan di atas kepala kita?? tanya sang perempuan yang melambatkan langkah dan berhenti walau tangannya terus ditarik.
Sang lelaki terpaksa ikut berhenti. Dia memalingkan wajah pada perempuannya. Sang Lelaki tersenyum, dia melihat ke bawah, lalu melihat ke atas. Dia hanya tersenyum saja. Menggelengkan kepala. Tidak perduli pada ancaman api yang membakar di bawahnya atau pada keindahan yang ada di atasnya, sebab, dia adalah sang Lelaki Pendosa.
?Masih ada tempat lagi!? ucapnya saat sang perempuan mendongak ke atas.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia setengah bermimpi ketika melihat langit yang ditaburi keindahan. Susu dan madu mengalir di atas awan jingga yang berarak dengan lembut. Dia memecamkan mata, mencoba menangkap senandung seokor burung pipit yang menutupi langit timur. Dia perempuan yang ke menengadah ke atas, berharap berlimpah kenikmatan. Di atasnya menawarinya hadian, sedangkan di bawahnya mengancamkan dengan hukuman. Dia lah perempuan, sang Perempuan Pendoa.
?Kamu jangan membohongiku, Mas!? sahut si Perempuan Pendoa dengan melemparkan pandangan berkaca.
?Aku ingin mengajakmu untuk melihat tempat itu. Lalu, setelah itu, kamu baru menentukan pilihan. Ah, tapi, kamu boleh tidak percaya padaku. Karena aku sang Pendosa yang mungkin akan berteman jeruji dengan dua rasa yang pekat.?
?Jangan bohongi aku, Mas. Hanya ada dua pilihan. Kamu jangan membuat pilihan yang ketiga di perjalanan kali ini.?
?Aku tidak membuat pilihan itu, Perempuanku!? sahut si Lelaki Pendosa dalam senyumannya yang biasa, lebar dan tenang. ?Dalam perjalanan ini, aku melihat ada banyak pilihan. Tidak melulu seperti apa yang selama ini kita dengarkan. Ada jalan lain. Ada tempat lain yang, menurutku yang pendosa ini, lebih baik dari keduanya.?
?Apa yang lebih baik dari keindahan yang kekal, Sayang!? sang Perempuan Pendoa menahan gemuruh yang ada di dalam dada. Rasa sesak atas keraguan pada lelaki yang ada di depannya.
?Aku tidak tahu bagaimana akhirnya nanti. Aku tidak mau menilaikan untukmu, Sayangku, Perempuanku, Kekasihku!? ucap Lelaki Pendosa yang kembali mengamit tangan kekasihnya untuk kembali melanjutkan perjalanan.
Kali ini, sang Perempuan Pendoa tidak dapat menolak seperti biasanya. Dia melangkah disamping sang Pendoa. Doa dan dosa yang beriringan dan tidak pernah melepaskan diri untuk sesaat. Akhirnya, mereka mencapai lembah itu. Di hadapan mereka, tanah hitam yang luas. Perempuan Pendoa diam terpaku. Dia heran, saat melihat ke atas tidak ada apa pun selain putih dan biru. Lalu, di bawahnya juga tidak ada api yang menjalar mengeringkan tulang-belulang.
?Perlahan-lahan, namun kita harus memaksanya!? ucap Lelaki Pendosa sambil melangajak melangkah pelan, ?Tuhan semesta alam telah berfirman di masa lampau yang jauh sebelum manusia diciptakan, bahwa segala yang berjiwa pasti akan mati juga.?
Perempuan Pendoa tidak mengatakan apa pun. Dia terdiam. Terhenyak jiwanya saat melangkah di atas tanah hitam. Tanah itu lembut. Sangat lembut sekali membelai jiwa kakinya yang telanjang. Lalu, dia melangkah semakin jauh. Merasakan kelaparan dan haus yang tidak menuntut. Ia juga merasakan malam-malam sunyi yang tidak memembekukan hati. Pada tanah yang dia pijaki itu, dia menemukan tubuhnya sendiri. Merasakan telah memijaki tubuhnya sendiri. Rasa yang sama, yang juga dirasakan sang Pendosa.
Pada langkah berikutnya, rumput-rumput hijau bersemai. Awalnya hanya tipis saja, namun semakin jauh mereka melangkah, rumput hijau itu berdaun lebar dan menutup seluruh hitamnya tanah. Yang ada di depan dua manusia yang telanjang itu hanya hijau permadani yang tidak terkirakan luasnya. Mereka tidak berhenti di sana. Rerumputan berdesir ketika langkah kaki melangkah di atas mereka. Terasa lembut dan mengalirkan kedamaian yang menjalar dari kaki-kaki perjalanan yang tidak lelah.
?Apa nama tempat ini, Mas?? tanya sang Perempuan namun tidak mendapatkan jawaban selain dengan gelengan kepala.
Pandangan mereka menangkap hamparan rumput yang tanpa batas. Hanya cakrawala saja yang memotong pandangan. Tapi, beberapa langkah mereka lewati dalam perenungan dan kesenangan. Tidak terbayang nyala api siksaan dan hadiah keindahan yang abadi. Beberapa langkah saja, tiba-tiba mereka melihat tanah yang sedikit mereka di hadapannya. Tepat dihadapannya. Sang Perempuan Pendoa menghentikan langkah saat itu juga. Ia merasa ada yang aneh. Ada yang janggal dengan pandangannya. Beberapa langkah mampu merubah pandangan yang tadi meluncur jauh.
?Ayo, Sayang!? ajak Lelaki Pendosa namun tidak bergerak. ?Jangan takut untuk melangkah di atas jalan tanah.?
?Aneh, Mas!?
?Apa yang aneh!?
?Aku tidak tahu, Mas. Hanya terasa aneh saja.?
?Hanya tanah, Sayang. Tanah yang lembut. Seperti tubuhmu! Seperti tubuhku. Ini hanya tanah tempat bagi tubuh kita berbaring. Jangan takut memijakinya sekarang.?
Perempuan Pendoa menggelengkan kepala. Dia masih tidak mengerti dengan jalan yang dia lalui. ?Aku takut, Mas!?
?Beberapa langkah saja, Sayang!? Lelaki Pendosa membujuk.
Perempuan pun mengikuti kemauan kekasihnya. Dia memijakkan kaki dengan berhati-hati. Takut kalau tanah itu akan menghisap dirinya. Menenggelamkan dalam kekelaman yang tidak sanggup dia hadapi walau berada di samping kekasihnya, sang Lelaki Pendosa.
Pengalaman pertamanya memberikan rasa yang tidak mampu dia mengerti. Kenikmatan yang memabukkan lalu, dia meluncur beberapa langkah dan sudah tenggelam di sana. Tanah yang lembut membungkus kulitnya yang juga lembut. Yang juga tanah, yang juga tubuh!
?Bumi sebagai Ibu dari manusia.? Ucap Lelaki Pendosa mengarahkan pandangan ke depan. ?Beberapa langkah lagi. Jangan puas dan berhenti di sini. Di depan ada rasa yang lebih hebat.?
Perempuan Pendoa pun menuruti kekasihnya. Dia melangkah beberapa langkah. Seperti halnya tadi, beberapa langkah itu seolah membawa jarak yang jauh tak kira. Di depan mereka, ada air yang menggenang.
?Telaga?? tanya Perempuan Pendoa dan kekasihnya tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Sewaktu sang Perempuan Pendoa ingin menghambur ke dalamnya. Sang Lelaki menahan dengan erat. Tangannya kuat. Begitu kuat sampai Perempuan Pendoa tidak beranjak sedikit pun. Hanya dengan pandangan dia mencari penjelasan dan dijawab dengan gelengan kepala Lelaki Pendosa.
?Bumi adalah tanah dan air. Seperti Bapak dan Ibu kita yang telah menyemaikan bibit kemudian lahir kehidupan baru.? Lelaki Pendosa menahan nafas yang berat. ?Bumi telah memberikan kita banyak manfaat. Awal dan akhir dari perjalanan kehidupan manusia yang hanya sejenak ini.?
?Maksudmu, Mas, kalau,?
Lelaki Pendosa membungkam kekasihnya. ?Bumi kita ini, tempat dimana disemaikan bibit menjadi kehidupan. Kehidupan yang baru menyemaikan bibit dan menjadi kehidupan baru. Di sini, ranjang pengantin setiap mahluk yang mengerti. Di atas tanah kita berpijak dan hidup. Di bawah tanah kita akan tidur selamanya.?
?Mas??
?Seberapa lama kita memijakkan kaki di atas tanah? Lalu seberapa lama kita tidur di dalam kandungan tanah?? sang Pendosa memandangi kekasihnya yang memandang dengan mata basah. ?Ada apa di bawah tanah? Apakah aku bisa menolongmu atau kamu yang akan menolongku?? dia menggelengkan kepala dengan terus memandangi kekasihnya.
?Amal, Mas!?
?Untuk memilih surga atau terhempaskan ke neraka?? sahut Lelaki Pendosa.
?Iya!? jawab Perempuan Pendoa dipenuhi keyakinan.
Lelaki Pendosa tersenyum, lalu dia mengecup kening kekasihnya. ?Di depan kita ada telaga. Di ujung telaga ini, ada jalan setapak. Di sana tidak ada dunia. Baru saja kutemukan saat aku mengembara dalam kenangan akan dirimu, Sayang. Aku kira, jalan setapak ini akan membawa kita pada yang kehidupan yang lebih baik.?
?Jangan membodohiku, Mas!?
Lelaki Pendosa menggelengkan kepala dan tersenyum kembali. ?Di sana tidak ada dunia, yang ada hanya kesunyian. Lebih sakit dari dunia ini. Tapi aku sudah melihat, banyak manusia bijak memasuki jalan itu di waktu yang lampau. Aku melihat jejak-jejak mereka di sana.?
?Apakah mereka selamat, Mas? Adakah tanda-tandanya??
?Yang ada hanya keyakinan. Aku mengajakmu menyusuri jalan setapak itu. Menjadikan segumpal darah sebagai penguasa seutuhnya atas tubuh yang semakin merapuh. Menjadi pikiran sebagai teman dalam perjalanan.? Lelaki Pendosa tersenyum, mengarahkan ujung jarinya ke seberang danau yang jauh.
?Bagaimana kita akan ke sana??
?Melalui danau ini.?
?Aku tidak bisa berenang.?
?Ini adalah danau di dalam dadamu. Airnya tidak akan menenggelamkan dan membunuhmu. Justru, semakin banyak kamu meminum airnya, danau akan semakin lapang dan perjalanan akan semakin menyenangkan untuk akhir yang lebih manis. Aku ingin mengajakmu, Sayang!?
Perempuan Pendoa tidak mengatakan apa pun. Dia menganggukkan kepala seperti biasanya. Dalam senyuman yang manis yang membuat lelaki di depannya semakin kuat untuk tegak berdiri.
Bantul ? Semangat Desa Sejahtera, 04 Agustus 2010
M.D. Atmaja
Dituliskan untuk Atika Prihantini