Matahari Pulang, Cakrawala dan Perempuan

M.D. Atmaja

Sekelebat mata, sang Perempuan berlari di atas pasir yang basah. kakinya lincah. Seperti anak kecil yang bermain di taman kembang kesayangannya. Perempuan itu sesekali melemparkan pandangan pada Lelaki yang hanya duduk di atas gunungan pasir. Perempuan itu, menatap manja sambil sesekali menghindari ombak yang mendebur dan sambil meletupkankan tawa riang.

“Ah,” desah sang Lelaki, “anak kecil.” Ucapnya pelan pada diri sendiri sambil menggelengkan kepala saat Perempuan yang ada di depannya bermain ombak.

Si Perempuan terus saja tidak perduli. Walau pandangan sang Lelaki menyiratkan prasangka itu. Memang selama ini, dia selalu merasa kalau masih menjadi seorang gadis kecil yang akan terus bermanja pada dunianya. Dan Lelaki yang kini memandanginya adalah Lelaki rapuh yang tengah berusaha meruntuhkan benteng setan dengan jarinya.

Mimpi sang Lelaki terkadang menimbulkan keraguan di dalam hatinya. Semangat yang berkobar di relung-relung malam seperti kabut yang pudar begitu saja ketika matahari pagi memancar hangat. Sang Perempuan mengamati Lelaki yang duduk di gunungan pasir. Lalu, ia berjalan mendekat dengan senyuman manis yang telah menawan hati Lelaki pemberontak yang menempuhi jalan sebagai Pendosa. Ia melangkah pelan, menangkap pancaran mata yang memancar jauh ke selatan.

“Ayo, Mas!” ajak si Perempuan.

Sang Lelaki menggelengkan kepala. Dia lalu mengarahkan pandangan ke barat dimana matahari merangkak pelan di balik tabir awan yang menggantung.

“Aku sudah bosan menjadi anak kecil!” ucapnya pelan dengan pandangan yang tetap terpaku pada langit barat. “Mataharinya bagus!” ucapnya lagi sambil mengacungkan telunjuknya, ingin menyentuh matahari dengan ujung jarinya yang bergetar.

“Sunsetnya tidak bagus, Mas.” Ungkap si Perempuan yang kini memandang ke barat menyaksikan perjalanan matahari yang pulang.

“Tertutupi mendung. Tapi juga tidak kehilangan keindahannya. Matahari menyemburat dalam sinar jingga yang menggenang.” Sang Lelaki tersenyum yang dibarengi dengan mengalihkan pandangan pada sang Perempuan, si Perempuan Pendoa, “Tetap ranum saat imaji dan pikir mengecapi dalam renungan. Memeluk hati kita dengan pemahaman yang tersirat dari sana.”

“Ah, Mas, kamu selalu saja seperti ini. Aku bukan penyair yang mampu membuahi kata untuk makna. Aku hanya perempuan. Lugu. Seorang gadis kecil yang menikmati dunia dengan apa adanya.” Ucap si Perempuan dalam senyuman manis yang dibarengi dengan meraih tangan kekasihnya.

“Alam raya ini selalu mengajak kita untuk mengerti. Atas asal-usul yang membawa kita untuk berpijak di atas pasir ini. Juga, untuk akhir dari perjalanan singkat yang di sepanjang perjalanan selalu ada dua tikungan.”

“Mas,” si Perempuan menarik kekasihnya yang perlahan-lahan berdiri namun melangkah kecil dan berat, “aku ingin mengajakmu bermain-main!”

“Aku sudah bosan menjadi anak kecil, Sayang!” sang Lelaki yang Pendosa berdiri terpaku, ia ingin menembus Cakrawala di ufuk selatan, “Aku mengajakmu ke sini bukan sekedar melayangkan pandang. Tapi mereguk cinta, memahami, tapi terlalu takut untuk memulai.”

Sang Perempuan berhenti untuk menarik kekasihnya. Dia melangkah ke depan dan langsung duduk di samping kanan. “Apa lagi, Mas?”

“Cakrawala!”

“Bukankah kita pernah membicarakan ini?”

“Iya, tapi tidak akan pernah habis untuk aku bicarakan padamu!”

“Aku mendengarkan, Mas!”

“Di selatan jauh ada cakrawala yang aku cari, di samping kananku ada cakralawala yang belum mampu aku pahami. Sedangkan, di ufuk barat sana, matahari perlahan-lahan merangkak untuk bersembunyi dari kita selama beberapa jam. Tubuhku ini, Sayang, semakin merapuh digerogoti babak kehidupan yang terlewati.”

“Kita harus bersyukur, Mas, atas apa yang telah kita dapatkan. Tuhan memberikan kita kesempatan untuk berpijak di sini, melewati segala yang ada. Ketakutan-ketakutan yang teramat kompleks.”

Lelaki yang berdosa itu pun tersenyum. Dia memandangi kekasihnya dari samping. “Aku mencintaimu, tapi aku tidak tahu kenapa aku begitu mencintaimu. Kata sang bijak, cinta itu sebagai rasa yang di dalamnya tanpa tuntutan dan permohonan. Hanya tentang ketulusan rasa dari keihlasan niat.”

“Lalu bagaimana, Mas? Cintamu padaku seperti itu?”

“Cintaku sebagai cinta yang mencari dan memahami. Bagaimana aku bisa mencintai kalau aku tidak sanggup memahami? Tapi rasa di dalam dada ini begitu hebat sampai aku membuatku benar-benar mendapatkan cahaya di dalam kegelapan. Sampai, membawaku pada pemahaman yang justru mendekatkanku pada pemahaman cakrawala. Misteri dunia yang paling luas. Hakekat manusia. Keberadaan yang terus kita pijaki sampai sekarang.”

Sang Lelaki, dialah sang Lelaki Pendosa, meraih tangan Perempuan Pendoa yang lembut. “Aku ingin menjauhkanmu dari syahwatku. Mengecapi dalam rasa yang lebih dalam. Entah sayang, aku mencapai ma?rifat cintaku padamu di titik ini.”

Perempuan Pendoa tersenyum, “Kamu akan menjadi Pendoa juga kan, Mas?” sahutnya dalam kebahagiaan yang tak terkirakan.

“Biarlah aku dijalanku, Sayang. Akan aku hitung-hitung sendiri sebelum dihitung masal oleh dia yang memiliki hak. Dan aku akan tetap berdri di jalanku untuk mencari.”

“Ah, Mas, terserah saja. Aku ikut!”

“Menjadi pendosa?” sahut sang Lelaki dengan cepat.

“Ah, Mas, katamu, dunia harus seimbang. Kalau kamu Pendosa, aku yang menjadi Pendoa. Atau kita mau bertukar tempat, Mas? Biar sejenak kutanggungkan bebanmu di pundakku!”

Lelaki Pendosa tersenyum lebar. Dia menggelengkan kepala sambil membelai kepala kekasihnya yang terselubung jilbab coklat. Lalu, dia mencium kening Perempuannya. Sang Perempuan hanya memejamkan mata sambil tersenyum ketika bibir kering seorang Lelaki Pendosa menyentuh keningnya yang lembut.

Bantul, Studio Semangat Desa Sejahtera, 01 Agustus 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *