Sastra Indonesia dan Agama

Ahmad Kekal Hamdani
http://www.pikiran-rakyat.com/

Sastra Indonesia mutakhir telah menunjukkan sebuah kecenderungannya yang bisa dibilang jumud, yakni stagnasi modernitas yang nihil obat dan terapi kesembuhannya, kecuali kembali kepada yang selama ini ditinggalkan dan sengaja dipalingkan dari pembicaraan; religiusitas dan kepedulian sosial. Dengan merdekanya kembali ?Manifes Kebudayaan? bersama tumbangnya Demokrasi Terpimpin pada tahun 1966, usaha pembebasan sastra dari politik serta pengibaran semboyan seni untuk seni ternyata mengalami kedodoran dan menciptakan lubang-lubangnya sendiri dalam tragedi kemanusiaan belakangan ini. Hal ini menjadi celah bagi degradasi hubungan integratif antara yang profan dan yang transenden, antara yang personal dan yang sosial, sehingga menaruh sastra dalam sebuah kotak kaca dan lumpur hisap yang hanya mampu berputar dikubangannya sendiri.

Hal ini misalnya dapat kita lihat lewat puisi-puisi urban Afrizal Malna, yang menawarkan ikatan kecemasan benda-benda dan personal, namun tidak menawarkan apa-apa bagi dahaga kemanusiaan kecuali kegelisahan personal yang dipelintir perih kedalam hal eksistensial dan terasing. Di wilayah proses kreatif tentu hal ini sebuah pencapaian yang langka dalam kesusastraan Indonesia, namun dalam kesusastraan bagi transformasi sosial dan mentalitas tentu perlu dipertanyakan kembali kedudukannya. Atau bahkan juga kita bisa melihat terhadap lirisisme yang abai terhadap fenomena sosial, hanya tentang personal solitaire yang sedang mengembara dan kesepian di sebuah kota.

Semakin tidak populernya (kecuali dalam lingkaran-lingkarannya sendiri) karya-karya semisal sajak alam D. Zawawi Imron, religiusitas Abdul Hadi WM, Acep Zamzam Noor dan yang lebih muda Jamal D Rahman, (hal ini begitu kentara dalam hal bagimana kegagalan sastra-sastra sufistik melahirkan generasi penerusnya) juga menjadi petanda dari problema ini. Tentu saja bukan tiada sama sekali puisi-puisi bernafaskan agama ataupun religiusitas di media massa, namun wacana untuk pengembangan dan pendongkraknya bisa dikatakan tiada.

Merebaknya wacana modernitas dan pasca-modernitas dalam kesusastraan Indonesia telah mengenyampingkan hakikat penghambaan dan menciptakan dunia yang ?di sini? semata. Yang pada umumnya sedikit sekali mempertimbangkan perananan religious sastra serta enggan mempertanyakan kembali hubungan antara politik dengan moral dan agama yang retak semenjak modernisme dicanangkan. Agama, bagaimanapun juga merupakan sumber dari bangunan budaya manusia yang membantu dalam memberikan kriteria dan identitas pada nilai-nilai yang mesti berkembang dalam sebuah komunitas. Penyair Prancis, T.S. Eliot berpendapat bahwa kebudayaan tidak akan dapat mengalami masa cerah tanpa dilandasi nilai-nilai keagamaan yang profetik.

Sastra Islam (sufisme) mengalami kesulitan menyambungkan benang merah dalam alur sejarah kesusastraan Indonesia pasca tahun 1970-an, di mana proyek ?pembangunan? menjadi satu-satunya mesin cuci otak yang hampir tidak memiliki tandingannya. Di lapangan pendidikan, modernisasi berhasil menciptakan kegamangan di dunia pesantren yang melahirkan degradasi dan peralihan dari nilai-nilai asketik (zuhudisme) kepada nilai progresifitas materialistik, dalam istilah Koentjaraningrat adalah mental-mental menerabas sebagai paradoks dari proyek ?pembangunan? rezim Soeharto. Pengaruh pembangunan orde baru telah sedikit banyak membawa perubahan terhadap subkultur yang biasa kita kenal dengan Pesantren ini.

Di lapangan ideologi pendidikan, modernitas yang nota bene dibawa oleh para pembaharu di tingkatan wacana nasional juga sedikit banyak telah menghilangkan kerifan-kearifan lokal yang memiliki kekayaan tradisi mistik dan religiusitas-sosial tinggi. Kita juga tentu ingat tentang bagaimana usaha beberapa sastrawan untuk memasukkan sastra sebagai kurikulum wajib di sekolah, hal ini juga terjadi dalam persoalan ilmu-ilmu keagamaan yang mengalami pengesampingan sejak pendidikan model barat telah dicanangkan dan digembor-gemborkan oleh ?pembangunan?.

Di awal tahun 2000-an, ketika muncul wacana ?Sastra Pesantren? yang bagi beberapa kalangan pengamat kesusastraan hal ini justru dianggap sebagai sebuah usaha strategi citra dan terkesan mengada-ada. Bagi Binhad Nurrohmat Sastra Pesantren merupakan gincu belaka, sebuah usaha memoles karya sastra hanya dengan memberikannya label dengan motif pasar serta pencitraan secara sosiologis dan tematik belaka. Di mana ia mencoba melawan Abdul Hadi WM dalam sebuah forum di Banten persoalan sastra Islam. Binhad menyayangkan perihal pelabelan Islam dalam kesusastraan, namun tentu saja yang kita bincangkan pada artikel ini bukan perihal pelabelan, akan tetapi ?hilang?nya wacana dan eksplorasi lanjutan dari estetika yang diwarnai dan lahir dari rahim ideologi agama-agama. Di mana, generasi kesusastraan mutakhir tidak memiliki usaha penyadaran akan fungsi dari hubungan antara nilai-nilai samawi itu dengan kesusastraan.

Kepedulian sosial dan langit-langit religiusitas tidak dapat dipisahkan begitu saja, termasuk juga hubungannya dalam penciptaan nilai-nilai ideal kemanusiaan, dalam hal ini lewat kesusastraan. Tardji boleh saja mengatakan kata harus dibebaskan dari beban ambisi menerangkan, dan kembali kepada mantra (namun apakah mantra bebas dari sebuah kepentingan?), sayangnya, manusia tidak diciptakan untuk bebas dari perhatian sosial dan kebutuhan akan yang transenden dan esoteris. Menyadari kesusastraan sebagai sesuatu yang politis dan memiliki peranannya dalam sosial adalah hal yang mendesak dan menuntut usaha-usaha perumusannya kembali.

Sastra profetik mengalami pemiskinan dan agama tampil sebagai formalisasi-formalisasi simbol yang kering, dikarenakan sikap mendua lembaga-lembaga agama menyikapi modernitas serta cita-cita pembersihan khurafat yang nyaris tidak dapat membedakan dan menarik akar historis dari babakan tradisi maupun kebudayaan Indonesia. Tentu hal ini bukan hanya disebabkan oleh faktor-faktor internal kesusastraan itu sendiri, namun juga bersumber dari anomi para pemuka agama dan tokoh sosial (formal maupun non-formal) terhadap kebudayaan, lebih-lebih kesusastraan.

Bagaimana pun, selain daripada filsafat dan kesusastraan, agama juga merupakan sumber-sumber nilai dari dinamika kemanusiaan, antara hubungan vertikal dan horizontal terhadap alam. Nilai-nilai religiusitas, yang miskin perbincangan di dunia kesusastraan tentu sebuah problem. Kecurigaan ini tentu dapat ditarik dari matinya nilai-nilai agamis dalam berkehidupan sosial masyarakat Indonesia modern dan pascakolonialitas. Kini, di antara roda waktu yang berputar, kesusastraan terus melajukan arahnya ke alam ?mungkin? yang tidak dapat kita terka ujungnya, dan di sisi lain nilai-nilai agamis mengalami sekaratnya!

Yogyakarta, 2010

Penulis adalah Penyair, Tinggal di Yogyakarta.

Leave a Reply

Bahasa ยป