Judul : Kisah Surat dari Legian
Penulis : Sitor Situmorang
Penerbit : Komunitas Bambu
Oktober 2003 (Cetakan I)
Tebal : i-ix = 86 halaman
Peresensi: Igk Tribana
http://www.balipost.co.id/
SITOR Situmorang adalah pujangga kelahiran Tanah Batak pada 2 Oktober 1924. Judul buku ini mengingatkan orang akan tragedi bom Bali, 12 Oktober 2002. Atau, buku ini adalah cerita yang berlatar peristiwa tragedi ledakan bom di Legian. Ratusan nyawa telah menjadi korban dari tragedi. Namun, setelah buku ini dibaca, ternyata tidak. Kisah “Surat dari Legian” ini hanya salah satu dari cerpen pada buku ini. Cerpen yang lain pada buku ini adalah “Gerbang Gerbera”, “Cheri”, “Akbar”, dan “Suatu Fiksi dalam Fiksi”.
Cerpen “Kisah Surat dari Legian” (KSdL) sama sekali tidak berbau peristiwa peledakan bom di Legian. Cerpen ini tampaknya jauh ditulis dari peristiwa ledakan bom itu. Ketika cerpen ini ditulis — sekitar 1976, Sitor pun tidak membayangkan akan terjadi malapetaka di tempat itu. Namun, Sitor telah mengungkap bahwa di Bali terjadi pertemuan orang dengan berbagai kepentingan, termasuk orang berniat jahat.
Sitor Situmorang lebih dikenal sebagai seorang penyair. Karena itu, tidaklah mengherankan dalam cerpen-cerpennya, khususnya dalam buku ini, bahasanya sangat puitis. Pembaca disuguhi kisah yang sarat makna seperti pada puisi-puisinya. Cerpen-cerpen Sitor pun tidak hanya menunjukkan disiplinnya dalam pemrosesan kata (seperti halnya puisi) yang memuaskan dari segi penikmatan bahasa, juga kekayaan batin dari pemikiran-pemikiran dan kedalaman pengetahuan yang padu dengan pengungkapan sebagai bahasa puisi dalam cerpen.
Dimulai dari cerpen pertama “Kembang Gerbera”, sebuah cerita yang puitis dan surealis dari Kaliurang, daerah plateu Yogyakarta yang — di dalam autobiografinya, “Sitor Situmorang Penyair Angkatan 45” (1980) — dianggap sebagai tempat lahir Sitor sebagai seorang penyair. Namun, patut diketahui dalam cerpen ini Sitor menambahkan kata “Kembang” dari judul semula “Gerbera” yang pernah dimuat di majalah Siasat. Di sini Sitor berkisah tentang cinta yang begitu abstrak, kadang menyenangkan, kadang menyakitkan. Cinta tidak selalu ada kaitannya dengan hubungan suami-istri.
Penulisan cerpen KSdL tentu saja berdasarkan pengelanaannya di Bali setelah ia hidup dalam sekapan (penjara) selama delapan tahun oleh Orde Baru. Ia ke Bali atas bantuan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang membiayai perjalanan dan menyediakan baginya tempat di Toya Bungkah. Sebagai seorang pengelana di Bali, Sitor bertemu dengan pengelana dari Eropa (hippie) yang notabene sama ingin merasakan kebebasan serta menganggap Bali sebagai “tanah suci” yang harus diziarahi. Bagi Sitor, Bali merupakan “kamar mandi” spiritual setelah bertahun-tahun dalam penjara (hal.80).
Bagai magnet, para heppie itu segera menarik Sitor untuk mengamati, memasuki, dan menangkap fenomena dari Bali. Pengalaman dari Bali inilah menginspirasikan Sitor menulis cerpen KSdL. Selain cerpen ini, lahir pula kumpulan sajak “The Rites of the Bali Age”. Karya ini juga punya bobot pemikiran sebagai sumbangan terhadap penelitian ilmiah tentang Bali bagi orang asing (menurut catatan editor).
***
Cerpen KSdL berkisah tentang ditemukannya surat oleh tokoh saya (tokoh utama cerita) di tempat penginapan di Kayu Aya (Legian). Tokoh saya mencari seseorang yang bernama Yulia, seorang seniman teater. Tokoh saya mencari ke mana-mana, akhirnya bertemu di Legian. Di Bali, Yulia hidup dengan Ronald. Mereka di Bali dalam rangka memadukan seni teater. Dengan nama Teater Layar (teater khas perpaduan lintas budaya), rombongan Yulia rencananya mengadakan pertunjukan keliling Indonesia hingga Eropa. Sayang, tokoh Yulia telah mati bersama Ronald. Dalam cerpen ini pengarang juga bercerita tentang turis-turis ke Bali dengan berbagai kepentingan — seks dan penggunaan obat-obat terlarang, di antaranya.
Di tempat penginapan Yulia inilah ditemukan surat untuk S yang bercerita tentang seni budaya Bali. Yulia hanya menyebut S dalam suratnya (mungkin surat untuk tokoh saya). Dalam surat itu Yulia berkisah tentang pengalamannya menyaksikan berbagai peristiwa budaya di Bali. Ceritanya sangat memikat. Seni budaya Bali sangat unik diungkap. Kisah yang mirip laporan seni budaya inilah yang bisa menarik perhatian orang luar Bali bagaimana sesungguhnya Bali itu. Seluruh pulau Bali adalah suatu asram… (hal.60), masyarakat religius. Itulah kira-kira yang dirasakan oleh pengarang lewat kisahnya.
Di balik kisah yang berisi tentang keluhuran budaya Bali, Sitor juga menangkap bahwa di balik ingar-bingarnya kepariwisataan Bali ada malapetaka bagi orang Bali. Ada juga turis sebagai penjaja seks. Pengguna obat terlarang (pada tokoh Roland) dari wisatawan pun tentu akan berdampak bagi orang Bali. Orang Bali bisa digaet atau menggaet turis asing untuk memenuhi nafsu seks.
Membaca cerpen-cerpen Sitor tak ubahnya membaca puisi-puisinya — sarat makna kehidupan. Karena itu, tidak mustahil pembaca sastra pemula akan sedikit mengalami kesulitan dalam memahaminya karena loncatan pikiran Sitor begitu cepat. Banyak paragraf hanya berupa sederetan kalimat, kurang ada keterpaduannya secara struktur bahasa akibat loncatan pikiran pengarang. Beberapa kalimat dalam paragraf kadang rumpang. Di sinilah kesulitan bagi seorang siswa, pembaca pemula karya sastra. Namun, pelajar yang memiliki ketekunan belajar sastra akan menemukan nilai-nilai kehidupan yang tidak mungkin didapat dalam cerpen lain dan novel pop. Lewat buku ini penekun sastra akan menemukan pula bahwa jika seorang penyair seperti Sitor menulis cerpen, akan terasa bau puisinya.
Buku ini sangat kaya akan nilai-nilai kehidupan. Untuk itu, buku ini sepantasnya dibaca oleh peminat sastra; guru bahasa dan sastra Indonesia, siswa, dan mahasiswa.