Gde Artawan
balipost.com
BALAI Bahasa Denpasar di bawah pimpinan IB Darmasuta kembali menunjukkan komitmennya dalam menumbuhkan atmosfer sastra di Bali melalui beberapa kegiatan kesastraan yang digelar di Singaraja — menyambut HUT ke-400 Kota Singaraja bekerja sama dengan Himpunan Pecinta Sastra se-Bali dan Dinas Pendidikan Buleleng, pada Rabu (31/3) lalu.
Dua buku dibedah dalam acara itu. Pertama, buku kumpulan puisi berbahasa Bali “Bali Suar Tanah Dumilah” karya Putu Sedana dibedah I Gde Dharna. Kedua, buku “Melihat Bali melalui Karya Anak Agung Panji Tisna” karya Hurrijah Ruba’I yang dibedah Wayan Artika. Pada hari yang sama, Tan Lioe Ie menampilkan makalah tentang “Musikalisasi Puisi” di gedung Puri Sasana Budaya Singaraja, dihadiri puluhan guru sastra, siswa SLTP dan SMU, dosen, mahasiswa, birokrat, seniman, dan beberapa pemerhati sastra lainnya.
Acara dimulai dengan penampilan musikalisasi puisi kelompok Kharisma (siswa SMU 4 Singaraja) dengan beberapa nomor puisi. Penampilan kelompok Kharisma seakan memberi jawaban bahwa kegairahan bersastra di kalangan siswa masih terpelihara dan berdenyut. Selanjutnya Gde Dharna secara bergiliran membedah kumpulan puisi bahasa Bali karya Putu Sedana dan Wayan Artika membedah buku karya Hurriyah.
Dalam diskusi, ternyata respons peserta terhadap kumpulan puisi bahasa Bali karya Putu Sedana cukup tinggi, mulai dari persoalan pemilihan kata, daya ucap, sampai pada konsep sistem religi — Hindu. Ketika Sedana menggunakan kata nyatur langit, seorang guru mempertanyakan dari persepsi Hindu, bukanlah selama ini dikenal konsep tiga dilihat dari parameter stratifikasi bhur buwah swah. Ketika Sedana menggunakan kata “sore-sore”, peserta lain menggugat, apakah tidak ada kata dalam bahasa Bali yang maknanya mewakili “sore-sore”. Pun tentang kata sarwa sadaka, dan seterusnya. Malah IGP Antara membayangi Gde Dharna dengan daya analisisnya membedah puisi-puisi Putu Sedana secara panjang dari segala aspek, baik menyangkut segi intrinsiknya maupun unsur ekstrinsiknya secara komprehensif.
Penulis Perlu Hadir?
Keputusan untuk menghadirkan penulis yang bukunya dibedah merupakan upaya yang dari satu segi, yaitu memperkenalkan penulisnya kepada masyarakat pemerhati sastra bisa dimaklumi. Namun, di lain sisi, “bencana budaya” dimungkinkan terjadi jika ada interaksi dari dua kubu yang berbeda — penulis dan pemerhati (masyarakat pembaca) –sama-sama bicara dari persepsi masing-masing. Teks yang mengejawantahkan daya hidup dan dunia otonom yang memungkinkan tampil multidimensional menjadi subjek yang kaku, kering, dan bisa tak bernyawa dalam areal interindividu.
Interpretasi-interpretasi yang muncul telah terkapling dalam daya komprehensibilitas dan kadar apresiasi penulis dan pembaca. Tentu jika diperdebatkan menjadi kerja tidak efektif. Seorang Sunaryono Basuki Ks. (Yon) yang hadir dalam acara bedah bukunya “Topeng Jro Ketut” oleh Suarjana di Balai Bahasa beberapa bulan lalu hampir tergelincir “menguliahi” peserta ketika peserta bertanya tentang maksud Yon menulis sesuatu pada “Topeng Jro Ketut”. Yon tidak memberi jawaban atas pertanyaan peserta, tetapi memberi hak sepenuhnya kepada pembaca melalui daya resepsinya untuk memaknai tulisan Yon. Dalam hal ini Yon sadar betul bahwa ketika karyanya sudah ada di tangan pembaca, karya itu bukan lagi monopoli milik Yon.
Menempatkan pembaca sebagai bagian yang penting dalam memaknai teks merupakan kesadaran kreatif penulis. Kehadiran Putu Sedana dan Hurriah dalam acara bedah bukunya menjadi tidak efektif saat Putu Sedana dan Hurriyah memberi pertanggungjawaban kreatif, komprehensif, dan terkesan meminimalkan peran pembedah. Sedana dalam menjawab gugatan para peserta tentang diksi yang digunakannya terkesan berlindung pada konsep bahwa penulis adalah seorang kreator yang bisa menggunakan medium bahasa secara liar dan kreatif serta berbeda dari kewajaran tanpa mengekor pada diksi penulis lain. Hurriyah, ketika peserta menggugat tidak ditemukannya Bali khususnya tradisi wanita Bali dalam buku esei “Melihat Bali melalui AA Pandji Tisna” malah berlindung dengan mengatakan eseinya itu baru dalam tahap awal pengamatan. Peran pembedahan tidak banyak mengemuka.
Musikalisasi Puisi
Pada sesi penyampaian sosialisasi musikalisasi oleh Tan Lioe Ie, komunikasi dua arah baru menyembul. Tan memulai dengan musikalisasi dua puisi Umbu Landu Paranggi yang membuat vibrasi apresiasi sastra secara konkret dan menyegarkan mulai muncul. Secara komprehensif, Tan Lioe Ie memaparkan konsep tentang musikalisasi puisi yang muncul tahun 1980-an, sekalipun pada tradisi lisan telah terjadi ratusan tahun yang lalu melalui kekawin dan kegiatan mewirama yang bersumber pada Ramayana dan Mahabharata.
Tan Lioe Ie beberapa kali menekankan tentang kapasitas puisi yang bukan sekadar subordinat dari musik dan musikalisasi sebagai sebuah alternatif untuk mengantarkan puisi bisa sampai secara nikmat ke audience. Berangkat dari pengalamannya sebagai juri lomba musikalisasi puisi, Tan Lioe Ie juga menyodorkan beberapa kelemahan yang muncul pada peserta lomba seperti pemilihan tempo yang kurang tepat, memaksakan selera musik tertentu, “egoisme” individu, penataan vokal yang kurang pas, interlude yang berlebihan, pemenggalan kata pada puisi, dan komposisi secara keseluruhan masih lemah.
Dalam acara diskusi, respons guru-guru, mahasiswa, dan siswa cukup tinggi terbukti terjadi interaksi yang cukup hangat tentang sejarah musikalisasi puisi, sarana yang digunakan, pemilihan puisi, sampai pada perkembangan tradisi lisan “musikalisasi” Mahabharata dan Ramayana dari India, ke Jawa, dan ke Bali. Tan melengkapi “sosialisasinya” dengan contoh soal musikalisasi dengan menampilkan musikalisasi puisi “Kuda Putih” karya Umbu Landu Paranggi.
Jika kemudian acara berakhir, paling tidak Kepala Dinas Pendidikan Buleleng membawa PR untuk menyusun strategi guna meladeni kegairahan pada pengajar sastra yang hadir pada acara kesastraan hari itu agar lebih kreatif, atau mengingatkan guru pengajar sastra yang lain untuk memberi kecintaan dan ruang yang proporsional pada sastra. Sehingga, pujian cerdas dari guru-guru tidak hanya pada anak yang nilai ilmu eksatanya sembilan, tetapi juga ditujukan untuk anak yang karya sastra atau pembacaan sastranya bagus. Sekarang harus dicari guru-guru yang seperti itu.
***