S Prasetyo Utomo
http://suaramerdeka.com/
TAK diketahuinya, telah berapa lama Sukmo kabur dari kota tempat tinggalnya. Lelaki muda itu merasa sudah waktunya meninggalkan telaga warna dan goa persembunyiannya. Alangkah lega bila terbebas dari kesunyian hutan pinus, lembab gua, semerbak bunga-bunga liar, dan suara burung hantu di tengah malam berkabut. Ia sempat bimbang, bila kembali ke kota, masih setiakah istri dan anaknya di rumah mereka?
Terakhir Sukmo melihat Ratri, istrinya, sehari setelah pelariannya dari kota, menempati gua tak jauh dari telaga warna. Rembang petang, istrinya hamil tua, diseret paksa tiga lelaki bersenapan. Ia mendekam dalam persembunyian, menggigil, sehabis hujan. Menyaksikan penyiksaan terhadap istrinya. Kalong-kalong berseliweran, menghambur dari dahan-dahan pohon, terbang rendah, dengan bentangan sayap yang menimbulkan suara gesekan angin.
Dalam keheningan kabut, Sukmo mendengar bentakan kasar seorang lelaki bersenapan, ?Di mana suamimu sembunyi??
?Ia bilang, tinggal di sini!? sambut Ratri, ?Ia mau hidup menyepi di telaga ini!?
?Jangan harap ia bisa lari! Dia mesti selesaikan perkara penggelapan uang di perusahaan!? seru lelaki bersenapan yang lain. Ia berteriak lantang. Menyerukan agar Sukmo keluar dari persembunyiannya. Yang menghambur dari persembunyian malah kalong-kalong. Terbang rendah di atas telaga warna. Sukmo menahan diri. Gelap petang hari, dalam gua persembunyian, samar-samar ia melihat perlakuan tiga lelaki bersenapan terhadap istrinya yang hamil tua: mendorong, memaki-maki.
Sukmo merasa tak tahan menyaksikan perlakuan kasar pada istrinya. Dalam perut istrinya yang membuncit terkandung bayi, tinggal menunggu saat kelahiran. Tertikam kebimbangan, Sukmo terpaksa menahan diri, ingin meninggalkan persembunyiannya dalam gua. Tak dipikirkannya lagi keselamatan diri, biar ditangkap atau dipenjarakan. Mungkin ini akan lebih baik bagi keselamatan istri dan bayi dalam kandungannya. Tapi ia tak berani beranjak dari rongga gelap dan lembab berlumut gua hingga kabut menutup permukaan telaga warna. Dari kepekatan sunyi rimba, suara burung hantu terdengar paling nyaring di antara irama serangga. Ia selalu disertai burung hantu, ke mana pun pergi.
***
MASIH remang pagi berkabut, Sukmo beranjak pelan-pelan dari mulut gua. Turun ke telaga warna. Ia membasuh muka. Dingin. Di atas permukaan air telaga warna, ia memandang bayangan wajah lain: lelaki tua berjenggot. Ia melihat sosok wajah yang bukan wajahnya. Dari bayangan air telaga itu, ia paham, ini wajah lelaki lain, yang sungguh tak disangkanya, menghuni dataran tinggi di lereng pegunungan yang hampir-hampir tak terjangkau manusia.
Sukmo menoleh. Ia terkesiap. Berjongkok di sisinya seorang lelaki tua, berewok, dengan sepasang mata jernih, tengah membasuh wajah di telaga warna. Ia tak menduga, seorang lelaki tua berdiri penuh perhatian. Ia ingin lari, meninggalkan telaga warna, dan kembali memasuki persembunyiannya di gua. Tapi senyum lelaki tua itu alangkah teduh. Senyum tanpa prasangka. Bahkan si tua mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.
Tergetar tubuh Sukmo menyambut uluran tangan lelaki tua. Ia tak yakin akan bersua manusia di dataran tinggi ini. Untuk mencapainya, ia mesti menyusuri jalan setapak selama beberapa jam. Menembus hutan pinus, kabut tebal, dan hujan yang sesekali turun tak terduga.
Menyambut uluran tangan lelaki tua itu, Sukmo masih diguncang kebimbangan. Lelaki tua itu meminta, ?Datanglah ke rumahku. Kita bisa minum teh bersama,? suaranya penuh kerinduan untuk berbincang-bincang. Sukmo sangsi, tak ingin terperangkap bujukan. Tak mau ia tertangkap tiga lelaki bersenapan, yang berakhir dengan penangkapan, pengadilan, dan penjara. Ia teringat kekasaran yang dilakukan ketiga lelaki bersenapan itu terhadap istrinya. Ia menolak ajakan minum teh lelaki tua . Buru-buru meninggalkan lelaki tua bermata jernih, yang tetap mengembangkan senyum tulus terpendam di bibirnya dalam kesendirian.
Kembali Sukmo ke dalam gua. Memandangi gerak-gerik lelaki tua di tepi telaga. Lelaki tua itu kini sibuk memasang umpan kail, memancing ikan. Tenang sekali ia duduk di atas pohon yang tumbang, menjorok ke permukaan air telaga. Menanti kehangatan matahari dan getar ikan memangsa umpan kailnya.
***
MENCECAP hangat secangkir teh, mengunyah ubi rebus, dan mempersiapkan bara untuk membakar ikan hasil pancingannya dari telaga warna, Jiwo ?lelaki tua yang mengasingkan diri dari kehidupan kota besar? merasakan keanehan perjumpaannya dengan lelaki muda yang menghindar datang ke rumah. Apakah lelaki muda yang berdiam dalam gua itu juga mencari ketenangan jiwa?
Kini Jiwo mesti kembali merenung, setelah sekian lama meninggalkan kota, istri, dan empat anaknya yang senantiasa berebut menguasai perusahaan yang dibesarkannya. Hanya anak bungsunya, Ragil, yang sering mengirim bahan makanan melalui seorang utusan, menyusuri jalan setapak di hutan pinus, hingga mencapai sebuah rumah kayu ?yang dibangun Jiwo beberapa tahun silam, untuk menyepi? di tepi hutan pinus. Jiwo tak pernah lagi berbincang-bincang dengan manusia, kecuali saat dikunjungi utusan Ragil dari kota. Selebihnya, seluruh waktu sisa hidupnya digunakan menikmati kesunyian, kesendirian, dan kebisuan.
Pagi ini Jiwo merasa aneh, ketika bertemu lelaki muda itu di tepi telaga warna. Lelaki muda itu gemetar berjabat tangan. Buru-buru meninggalkan telaga warna. Memasuki gua persembunyiannya. Ada beberapa gua di tepi telaga warna, yang bisa digunakan untuk tinggal, meski gelap dan lembab.
Apa lelaki muda itu seorang pelarian dari kota? Jiwo tak peduli, siapa lelaki muda itu. Ia hanya ingin mengundangnya minum teh, makan ubi rebus, dan berbincang-bincang dalam hangat cahaya matahari, sebelum pada siang nanti mendung bergelantung, dan hujan berkabut turun sepanjang malam hingga pagi.
Jiwo berharap, lelaki muda itu mau meninggalkan persembunyiannya. Telah diperolehnya tiga ekor ikan, dalam waktu cukup lama, masih juga lelaki muda itu bersembunyi dalam gua. Ia ingin mendapat sahabat yang menghangati pagi dengan bincang-bincang, menghabiskan ubi rebus yang dipanen dari kebun samping rumah kayu.
***
TAK tahan bersembunyi, mendekam dalam gua gelap dan pengab, Sukmo ingin turun ke kota, menengok istrinya ?yang menurut hitungannya, tentu sudah melahirkan. Ingin sekali ia melihat bayinya. Ingin menggendongnya. Laki-laki? Atau perempuan? Ini anak pertama. Tentu menggemaskan. Menggetarkan.
Semalam Sukmo dalam kegelisahan. Bayinya telah menggoda seluruh syarafnya, yang menyebabkannya senantiasa nyalang dalam gelap gua. Ia tak sabar menunggu rekah fajar, sirnanya kabut di atas permukaan telaga warna. Masih gelap, kabut masih pekat, Sukmo mencebur ke dalam telaga warna. Dingin. Menggigilkan. Tapi dia ingin melihat rumahnya, ingin melihat bayinya. Aneh. Dia sangat ingin bersua lelaki tua yang suka memancing dengan duduk di atas pohon tumbang. Tiap pagi ia melihat lelaki tua itu, wajahnya sangat tenteram. Wajah yang penuh kedamaian. Tak sedikit pun terbersit rasa sedih dan ketakutan pada perangainya.
Sukmo yang digetarkan rasa takut dan cemas, merasakan kecemburuan: bagaimana mungkin seseorang bisa sedemikian damai dalam kesendiriannya? Kemunculan lelaki tua itu, yang selalu menebar senyum terpendam di bibirnya, setiap pagi duduk di atas pohon tumbang yang menjorok ke permukaan telaga, telah memberinya pengalaman aneh.
Ia ingin berpamitan sebelum turun ke kota. Siapa tahu, ia tertangkap tiga lelaki bersenapan. Ia telah melakukan penggelapan uang perusahaan untuk keperluan pribadi. Ia memilih lari meninggalkan perusahaan, menunggu saat ia bisa kembali ke kota dengan aman.
Tapi Sukmo merasa tak sanggup terus-menerus bersembunyi dalam gua. Ini serupa penjara yang menciptakan ketakutan dalam alam terbuka di tepi telaga warna.
***
MALAM yang aneh dan menggelisahkan bagi Ratri. Ia seperti mencium aroma tubuh Sukmo, suaminya, di sekitar rumah. Ingin ditunjukkannya bayi laki-laki kesayangan mereka. Belum diberi nama. Ia masih menunggu suaminya pulang. Tapi ia tak yakin, apakah suaminya akan berani pulang. Sewaktu dibawa paksa ketiga lelaki bersenapan hingga mencapai tepi telaga warna, diperlakukan kasar, ia yakin, tentu suaminya menyaksikan semua kebrutalan itu dari dalam gua.
Samar-samar Ratri mencium aroma tubuh suaminya, kadang pekat kadang menghilang.
Ia sangat sadar akan kebiasaan suaminya pulang, pelan-pelan mengetuk pintu dan menyelinap masuk ke dalam rumah menjelang dini hari. Saat seperti itu orang-orang tertidur nyenyak. Kini belum lagi memasuki tengah malam. Tapi ia merasakan tanda-tanda kedatangan Sukmo. Dadanya tergetar. Ia cemas. Takut dan penuh harap, bila suaminya benar-benar pulang. Karena itu ia berdiri di depan pintu ruang tamu yang dibentangkan. Menerangi ruang tamu.
Terdengar suara burung hantu yang biasanya menjadi pertanda kepulangan Sukmo. Seseorang seringkali takut mendengar suara burung itu. Ratri malah tergetar dadanya, mendengar suara burung hantu: membangkitkan kembali harapan bertemu Sukmo, dengan penuh rasa cemas. Biasanya tak berlangsung lama pertemuan mereka. Sukmo buru-buru meninggalkan rumah sebelum fajar. Tak pernah diketahuinya kapan lagi akan pulang. Ratri kembali menanti kehadiran Sukmo dalam ketidakpastian. Kadang, tengah malam datang ketukan pintu lelaki kekar bertato, berkacamata hitam, berjaket hitam. Lelaki misterius itu mencari suaminya, lalu buru-buru pergi.
Kini Ratri tak yakin bila Sukmo berani menyelinap dalam rumah. Lelaki itu, mungkin, pikir Ratri, hanya ingin melihat bayi mereka. Suara burung hantu kembali meniti kelam dari pohon asam tepi jalan. Ia mendekat ke arah pintu depan, membawa bayi lelakinya, mengayun-ayunkannya, dan bercanda dengannya. Lagi-lagi suara burung hantu menembus kelam. Ratri, yang dilahirkan tengah malam, sangat peka suara-suara burung malam. Ia bisa merasakan kehadiran Sukmo. Memang tak terlihat. Terlindung gelap malam dan pepohonan asam tepi jalan. Ia yakin, lelaki itu tak jauh dari rumah.
Terkesiap Ratri, ketika sebuah taksi berhenti di tepi jalan raya. Ratri tak perlu lagi menduga, siapa yang datang: salah seorang dari ketiga lelaki bersenapan yang menyiksanya di tepi telaga warna. Dialah lelaki yang tertua di antara mereka bertiga, lelaki yang paling bernafsu menangkap Sukmo.
Seketika pucat wajah Ratri. Gugup. Tersipu-sipu. Ia mesti bersikap ramah pada lelaki setengah baya, dengan pistol menggantung di pinggangnya. Ia menutup pintu ruang tamu. Mematikan lampu. Menahan kenyerian liang luka dalam dada.
***
DUDUK di atas batang pohon yang tumbang menjorok ke permukaan air telaga warna, merasakan hangat cahaya matahari, menahan geram, Sukmo menanti Jiwo. Sukmo ingin menatap lelaki tua yang berwajah tenteram, dengan bibir senantiasa memendam senyum. Ingin sekali Sukmo memandangi wajah itu, agar tenteram perasaannya.
Tercium aroma harum di atas permukaan telaga warna menyentak kesadaran Sukmo. Ia bangkit, menelusuri asal aroma harum. Bukan dari permukaan telaga warna. Kadang aroma harum itu tercium pekat. Kadang samar. Menyusuri jalan setapak, langkah Sukmo seperti dituntun ke suatu tempat. Tibalah ia di pelataran rumah Jiwo, mendekati ambang pintu rumah kayu yang terbentang. Ia masuk pelan-pelan. Aroma harum itu lenyap.
Di balai-balai, lelaki tua yang dirindukan Sukmo terbaring. Bersedekap. Tenang. Mata terpejam. Langkah Sukmo terhenti di sisinya. Tak menyapa. Lelaki tua itu masih tersenyum, dengan mata terpejam, serupa orang tertidur.
***
MENGENANG Jiwo, lelaki tua yang telah dimakamkan di belakang rumah kayu, Sukmo mengail ikan, duduk di atas pohon tumbang. Ia masih teringat wajah bening lelaki tua yang tak menaruh dendam. Ia ingin menjinakkan amarah dalam dada, raungan-raungan dahsyat, yang meronta-ronta dalam jiwanya: keinginan melawan lelaki setengah baya berpistol yang menyusup ke dalam rumahnya. Tiap tengah malam ia digelisahkan suara burung hantu.
Menikmati teh, mengunyah ubi rebus yang dipanen dari ladang samping rumah kayu, makan dengan ikan bakar, Sukmo ingin sekali melacak kehidupan sehari-hari lelaki tua di tepi telaga warna. Telah beberapa hari ini ia tinggal di rumah kayu yang tak lagi dihuni. Bila keinginan pulang menengok anak tak lagi bisa ditahannya, ia pergi memancing, menanti aroma harum mengambang di atas permukaan telaga warna, yang berasal dari makam lelaki tua itu.
Pandana Merdeka, Januari 2010