Jalan Lurus Polisi Kurus

Judul: Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa
Penulis: Aris Santoro, dkk
Penerbit: Bentang Yogyakarta
Cetakan: April 2009
Tebal: xvii+134 halaman
Peresensi: Rukardi
suaramerdeka.com

HANYA ada tiga polisi yang tidak mempan disogok: Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur. George Junus Aditjondro mengutip anekdot itu sebagai pembuka tulisannya, “Dapatkah Polisi Menjadi Ujung Tombak Kampanye Antikorupsi?” yang terangkum dalam buku ini.

Anekdot memang konyol dan hiperbolik. Namun, seperti pemaknaannya yang asali, anekdot senantiasa mendasarkan diri pada kenyataan. Sesuatu yang faktual, tak parkir di awang-awang. Demikian halnya dengan anekdot yang dikutip George. Meski mungkin ada polisi Indonesia lain yang bersih, tak ada yang selegendaris Jenderal Hoegeng Iman Santoso.

Ya, mantan Kapolri pada masa awal Orde Baru itu memang dikenal jujur dan bersih. Seperti tersebut pada anekdot di atas, dia tak mempan sogokan. Demikian lurusnya Hoegeng, hingga ketika pensiun tak punya banyak harta. Jangankan tabungan atau deposito berjuta-juta, rumah dan mobil pribadi pun tak punya. Tak tega melihat itu, sejumlah kapolda yang notabene mantan anak buah Hoegeng, iuran membelikan dia mobil bekas. Pun Kapolri penggantinya Jenderal M Hasan, atas nama kemanusiaan menganugerahkan rumah dinas yang ditinggali Hoegeng bersama keluarganya.

Pengalaman hidup Hoegeng yang terpapar dalam buku terbitan Bentang, Yogyakarta ini bagai cerita dari negeri dongeng. Banyak kisah yang jika diukur menggunakan logika “akal sakit” terasa mencengangkan. Bayangkan, seorang pejabat polisi yang dalam perjalanan kariernya acap menempati posisi “basah”, bisa kalis dari godaan duniawi. Sebelum menjadi Kapolri, Hoegeng pernah menjabat Kadireskrim Kantor Polisi (sekarang Polda) Sumatera Utara, Kepala Jawatan Imigrasi, Kepala Bea Cukai, Menteri Iuran Negara, dan Menteri Sekretaris Negara.

Saat bertugas di Sumut, lelaki kelahiran Pekalongan, 14 Oktober 1921 itu berhasil membersihkan Kota Medan yang dikenal sebagai sarang penyelundup. Dia dengan tegas menolak perabotan mewah pemberian para gembong penyelundup itu. Secara demonstratif Hoegeng mengeluarkan barang-barang yang telah ditata rapi di dalam rumah dinasnya.

Ketika menjabat Kepala Jawatan Imigrasi, dia menolak permintaan seorang pengusaha besar yang dikenal sebagai “anak emas” Bung Karno untuk membuatkan paspor diplomatik. Di luar itu, kebijaksanaan sikap Hoegeng berserak di banyak peristiwa. Taruh misal pengusutan kasus Sum Kuning dan tewasnya mahasiswa ITB Rene Louis Coenrad.

Ya, Hoegeng memang polisi yang bijak dan lurus. Namun, saking lurusnya penganjur penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor itu, hingga abai terhadap risiko. Suatu ketika, Hoegeng berkeras hati menangkap Robby Tjahjadi, penyelundup kakap yang disebut-sebut dekat dengan keluarga Cendana. Namun alih-alih beroleh dukungan, dia justru diberhentikan dari jabatannya sebagai Kapolri. Polisi bertubuh kurus itu juga menolak didubeskan di Belgia.

Selepas tugas, Hoegeng lebih mendalami hobinya melukis dan bermain musik. Bersama kelompok The Hawaiian Seniors, dia tampil berkala di TVRI. Kendati demikian, bukan berarti Hoegeng tak lagi punya kepedulian sosial. Suami Marie Roselina itu tetap memandu acara “Obrolan bersama Mas Hoegeng” di Radio Elshinta, tempat dia melontar kritik-kritik konstruktif terhadap pemerintah. Dia juga rutin menulis memo kepada para kapolri sesudahnya. Memo itu terutama berisi informasi mengenai keluhan masyarakat terhadap kinerja Polri.

Hoegeng juga menggabungkan diri dengan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB). Lembaga yang didirikan AH Nasution itu bertujuan melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional.

Pada Mei 1980, Hoegeng turut menandatangani Petisi 50. Sejak itu, seperti halnya para penandatangan yang lain, dia disingkirkan secara politik, ekonomi, dan sosial. Hidup pengagum tokoh Kresna itu pun terpenjara. Dia dilarang tampil di televisi, tak boleh hadir pada peringatan HUT Bhayangkara, dan yang lebih menyesakkan, Hoegeng tak boleh datang sebagai saksi pernikahan Prabowo Subianto, putra sahabatnya Soemitro Djojohadikusumo dengan Siti Hediyati, putri Soeharto.
***

INI merupakan buku kedua yang membabar kisah hidup Hoegeng Iman Santoso. Pada 1993 terbit Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan (Sebuah Autobiografi) yang ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan KH.

Meski tak sedetail buku pertama, buku yang diberi pengantar Asvi Warman Adam ini punya kemenarikan lain. Di dalamnya terangkum tulisan sejumlah tokoh yang berelasi dengan kehidupan Hoegeng. Selain George Junus Aditjondro, ada Ali Sadikin, Ramadhan KH, Kemal Idris, Aditya Soetanto (putra kedua Hoegeng), Jacob Oetama, Satjipto Rahardjo, Permadi, Panda Nababan, Adrianus Meliala, dan Teten Masduki. Dari tubuh Polri, ada tiga mantan kapolri, yakni Jenderal Da?i Bachtiar, Jenderal Widodo Budidarmo, dan Jenderal Kunarto.

Mereka memberi komentar, analisis, serta testimoni seputar kehidupan Hoegeng dan Polri. Paparan para tokoh itu kian menguatkan karakter Hoegeng sebagai polisi yang bersih, jujur, konsisten dan profesional.

Aditya misalnya, merasa bangga menjadi anak Hoegeng. Meski dulu acap merasa kecewa dengan idealisme sang ayah, kini dia bisa memahami dan memetik hikmahnya. Suatu ketika datang seseorang ke rumah membawa dua sepeda motor Lambreta. Itu motor jatah dari pengusaha untuk para pejabat. Aditya yang sejak lama ingin memiliki motor sempat berbunga-bunga. Namun mimpi itu sirna tatkala Hoegeng meminta ajudannya mengembalikan Lambreta kepada sang pengusaha. Meski anak pejabat tinggi, kehidupan Aditya dan dua saudaranya jauh dari mewah. Jangankan uang saku berlebih, untuk biaya tambahan kuliah saja, Aditya harus nyambi bekerja di toko suku cadang kendaraan.

Sementara, Satjipto Rahardjo menulis: untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan polisi, kita tak perlu membaca buku teori dan indoktrinasi Polri. Semua itu sudah terangkum dalam diri Hoegeng. Dia, kata Satjipto, contoh polisi profesional yang ingin membawa Polri terpisah dari militer.

Jenderal Koenarto menganggap Hoegeng sebagai teladan seluruh anggota Polri. Dia yakin, jika sejatinya banyak polisi muda yang berpotensi menjadi Hoegeng. Jika Hoegeng-Hoegeng muda itu mampu berkiprah secara sinergis dan sukses, Polri tengah bergerak menuju puncak kejayaan.

Terlepas dari kelemahan editing, buku ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi segenap elemen bangsa, utamanya mereka yang tengah memegang amanah penyelenggaraan negara.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป