Lia Octavia
http://entertainment.kompas.com/
Memasuki sebuah jeda dari rutinitas sehari-hari, dunia yang sibuk dengan berbagai hiruk pikuknya, sebuah ruang lengang, yang mengajak kita untuk keluar sejenak dari rutinitas dunia. Demikian komentar Jamal D. Rahman, Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison, pada kata-kata pembukanya saat ia membedah buku puisi Ruang Lengang karya Epri Tsaqib yang diselenggarakan pada Jumat, 25 Juli 2008 di Balai Sangrini, Jakarta Selatan.
Hampir semua puisi-puisi Epri menyajikan ruang yang lengang. Kosong. Puisi-puisi yang terasa sepi, sendiri, berupa bisikan yang sangat halus saat ia menyelami dirinya sendiri. Epri melihat ke dalam, ke kedalaman kemanusiaan, karena kedalaman kemanusiaan itulah yang sebenarnya memiliki keluasan yang tidak terbatas, lebih luas dari dunia luar kita. Dunia dalam diri kita yang penuh kesunyian. Sepi. Lengang. Suara-suara sunyi dalam diri manusia.
Jamal D. Rahman mulai membedah puisi Epri yang pertama dalam buku ini yang berjudul Di Ruangan Itu:
Di Ruangan Itu
di dasar ruang hatimu kutanam sunyi
sebuah tempat yang selalu bisa kudatangi
kapan saja aku mau termangu
hari ini aku datang ke situ
memandangi kamu yang galau
lalu aku tulis sebuah sajak yang tak selesai
kuletakkan di salah satu dindingnya
kau boleh melengkapinya kapan saja
atau membiarkannya basah sendirian
dengan tetes airmatamu
Puisi ini bercerita tentang dunia di dalam manusia yang memiliki banyak kemungkinan. Banyak hal yang belum selesai di dunia dalam diri kita, menunggu untuk diselesaikan. Sajak yang belum selesai. Yang semuanya tergantung pada kita karena jarang kita mau menyelesaikan hal-hal di dunia dalam diri kita.
Kemudian Jamal beralih pada puisi berikutnya yang berjudul Pergi:
Pergi
Aku pergi menulis
kamu lambaikan tangan
lalu bilang,?Selamat jalan,
hatihati ya!?
Padahal aku pergi
ke dalam ruang sepi
hatimu
Suatu saat kalau kau
sudah sadar, kau mungkin
akan bilang,?Selamat
datang, kau betah
di sini kan sayang??
(2007)
Sebuah penegasan yang mengajak pembaca masuk ke dalam dunia batin, dunia dalam dirinya, yang terungkap dengan jelas pada kalimat padahal aku pergi ke dalam ruang sepi hatimu. Epri juga mengajak pembacanya melihat serta menyadari betapa terbatasnya kesadaran kita pada dunia di dalam kita di dalam bait-bait suatu saat kalau kau sudah sadar, kau mungkin akan bilang, ?Selamat datang, kau betah di sini kan sayang??
Kemudian sebuah pembahasan Jamal D. Rahman yang sangat menarik terutama mengenai tipografi pada puisi Epri yang berjudul KAU:
KAU
L S T
a e e
n r r
g i s
k n e
a g o
h k
k
u
terluka dalam perih
sungguh aku tak peduli
bila KAU masih ada
: di setiap
t a m
e i a
t r t
e a
s k
u
(Desember 2006)
Tipografi pada puisi hanya dapat dinikmati pada dunia tulis, bukan pada dunia lisan. Tipografi mengandung satu cakrawala yang dapat menimbulkan penafsiran pembaca dan pada saat pembaca membaca puisi maka terjadi pertemuan dua dunia yaitu dunia teks dan dunia puisi. Pertemuan dua cakrawala. Pertautan dunia luar dan dunia dalam manusia.
Bila diterjemahkan secara individual dari kata langkahku yang ditulis vertikal ke bawah, sering yang ditulis vertikal ke bawah, dan terseok yang ditulis meliuk, maka berarti untuk mencapai sesuatu yang tinggi tidaklah mudah. Banyak halangan dan rintangan yang menyebabkan jalan menuju ke sana sering terseok.
Sedangkan bila diterjemahkan dalam arti sosial politik: kebijakan dari atas sangat menentukan langkah di bawahnya, apakah yang ada di bawahnya akan terseok atau berjalan lancar.
Kalimat terluka dalam perih yang ditulis secara horisontal, secara individual berarti keperihan adalah sesuatu yang bersifat horizontal, keperihan yang dirasakan bersama. Sedangkan dalam arti sosial politik yaitu kebijakan-kebijakan dari atas berdampak secara horisontal terhadap masyarakat, masyarakat yang berada di bawah merasakan langsung dampak tersebut sedangkan orang-orang yang berada di atas tidak terkena dampaknya. Contoh konkritnya dalam hal kenaikan BBM.
Kemudian kata KAU yang ditulis menggunakan huruf besar, dalam hal ini mungkin diimplikasikan sebagai Tuhan tetapi bila diasosiasikan sebagai Tuhan, maka puisi ini menjadi sangat skeptis terhadap Tuhan. KAU yang diasosiasikan angkuh, sombong, sok besar. Menurut Jamal D. Rahman, KAU lebih diasosiasikan sebagai KAU yang angkuh, tidak kupedulikan apakah KAU masih ada di setiap tetes air mataku. Sedangkan dalam arti sosial politik yaitu kebijakan yang diambil di tingkat elit berdampak secara horisontal terhadap masyarakat, dan aku (sebagai bagian dari masyarakat) tidak peduli apakah KAU masih peduli terhadap duka lara kami (masyarakat).
Dalam puisi ini, Epri menarik dunia luar ke dalam dunia dalam diri kita, mengeritik realitas sosial yang terjadi saat ini di dunia luar kita, sehingga di dunia dalam diri kita, kita dapat lebih tajam melihat dunia yang berada di luar sana.
Sehingga, ketika hal-hal yang terjadi di dunia luar kita, meretas menjadi warna warni di ruang lengang di dunia dalam kita, dan kemudian menjadi pelangi saat kita kembali melihat dunia:
Warna
katanya kamu kuning
mengapa sunyi begitu menggantung di matamu?
katanya kamu biru
tapi tawamu membuat dunia tak sungguh senyap
katanya kamu hijau
kenapa langit tibatiba menjadi begitu kusam?
katanya kamu ungu
masih suka melamun di pojok situ?
katanya kamu merah
ahh? pandainya kamu menempel di sudutku
katanya kamu putih
kuharap kau sekapas yang melayangi anganku
katanya kamu hitam
Apakah kau ingin menyatu denganku?
(2007)
Jakarta, 30 Juli 2008 pukul 11.30 pagi
Didedikasikan bagi Mas Epri Tsaqib untuk peluncuran buku puisi pertamanya ?Ruang Lengang?