Djoko Pitono *
jawapos.co.id
Health is not valued till sickness comes (Kesehatan tidak dihargai hingga sakit datang).
Pengarang Inggris Thomas Fuller (1608-1661)
Seorang jurnalis sebuah harian nasional di Kalimantan tiba-tiba meninggal dunia pada Juli 2010. Laporan-laporan awal menyebutkan, ada kemungkinan jurnalis itu dibunuh. Namun, kemudian polisi memastikan bahwa jurnalis berinisial S itu meninggal karena hipertensi.
”Dari fungsi organ dalam ditemukan pecah pembuluh darah otak atau di kepala bagian belakang akibat tekanan darah tinggi atau hipertensi,” kata Kapolres Balikpapan AKBP Aji Rafik.
Dalam waktu yang tak terpaut jauh sebelumnya di Mojokerto, seorang jurnalis lain meninggal dunia setelah mengalami gagal ginjal akibat penyakit darah tinggi alias hipertensi yang diidapnya. Sang jurnalis tersebut baru berusia 44 tahun.
Kematian akibat penyakit hipertensi memang sering datang tiba-tiba. Sebagian kalangan pun menyebutnya sebagai The Silent Killer, ”pembunuh diam-diam”. Gejalanya sering tidak tampak dan penderitanya sering pula tidak merasa kesakitan sebelumnya. Sebab, banyak penderita hipertensi yang menyepelekannya.
Beberapa kalangan mengemukakan tulisan tentang Sushruta pada abad ke-16 SM (sebelum Masehi) sebagai referensi pertama yang menyebut gejala penyakit seperti hipertensi. Namun, sebagian lainnya menunjuk deskripsi-deskripsi sebelumnya, bahkan 2.500 tahun sebelum masa Kristus. Tokoh-tokoh terkenal seperti Kaisar Kuning di Tiongkok, Cornelius Celsus, Galen, dan Hipokrates disebut punya resep penyembuhnya.
Dewasa ini penderita hipertensi luar biasa banyaknya. Penulis buku ini mencatat, hampir satu miliar orang di seluruh dunia menderita hipertensi. Setiap tahun penyakit ini menjadi penyebab nomor 1 di antara 7 kematian. Berdasar data WHO, dari 50 persen penderita hipertensi, hanya 25 persen yang memperoleh pengobatan dan hanya 12,5 persen yang dapat diobati dengan baik. Padahal, jika tidak segera diobati, hipertensi berpotensi merusak fungsi jantung, otak, saraf, dan ginjal.
Penulis juga mengutip data survei kesehatan rumah tangga (SKKT) pada 2000 bahwa kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah di Indonesia sebesar 26,3 persen. Sedangkan berdasar data di rumah sakit pada 2005 sebesar 16,7 persen kematian disebabkan hipertensi. Faktor risiko utama penyakit jantung dan pembuluh darah adalah hipertensi, di samping hiperkolesterolemia dan diabetes melitus.
Melihat potongan data-data tentang penyakit hipertensi itu saja, kemudian mendapati begitu banyaknya orang-orang sekeliling kita yang terpuruk kesehatannya akibat hipertensi, memang terasa mengerikan. Namun, buku ini akan membuat pembaca lebih waspada sekaligus percaya diri dalam menjaga kondisi kesehatannya.
Dalam 18 bab, dokter spesialis penyakit dalam yang meraih gelar PhD in Clinical Nephrology dari Graduate School of Medicine di Juntendo School of Medicine, Tokyo, itu menjelaskan secara rinci ihwal tekanan darah tinggi berikut seluk-beluknya yang berkaitan dengan tubuh manusia.
Djoko Santoso menyatakan, sebagian besar efek buruk hipertensi dapat dicegah jika tekanan darah dipertahankan ke tingkat normal dengan pendekatan farmako terapi (terapi obat-obatan) dan life style, termasuk pengendalian kebiasaan merokok, hiperkolesterolemia, dan diabetes.
Dia menjelaskan secara rinci pula organ-organ yang sering menjadi sasaran hipertensi, seperti otot jantung, pembuluh darah koroner, pembuluh arteri tubuh lainnya, otak, ginjal, dan mata. Dia memaparkan pula cara mengungkap hipertensi, tentang garam dan kaitannya dengan hipertensi, tentang obesitas, kolesterol, dan wanita hamil yang menderita hipertensi.
Bagi mereka yang merasa ngeri membayangkan orang yang terserang stroke, bab 3 buku ini sangat penting. Apalagi, dipaparkan pula soal gangguan otak, tiga jenis stroke, gangguan pada ginjal, dan komplikasi hipertensi. Di antara tiga jenis stroke itu, stroke hemorrhagic paling mengerikan.
Diterangkan, ketika tekanan darah cukup tinggi, pembuluh arteri dapat pecah sehingga mengakibatkan pendarahan ke otak. Tipe keluhan ini, menurut Djoko, sering berupa nyeri kepala hebat bahkan kadang tidak sadarkan diri diiringi suara napas ngorok. ”Karena tengkorak sifatnya tidak akan berubah, maka kebocoran cairan darah ke otak meningkatkan tekanan dalam rongga kepala dan mengakibatkan kerusakan otak secara langsung,” tulis Djoko.
Tipe stroke itulah yang tampaknya dialami jurnalis di Kalimantan seperti dikutip kasusnya di awal tulisan. Contoh lainnya tentu banyak. Bagi penggemar sejarah, mereka mungkin teringat sejumlah tokoh besar dunia yang meninggal dunia akibat stroke. Seorang di antaranya adalah Franklin D. Roosevelt (1882-1945), salah seorang presiden Amerika Serikat.
Petunjuk-petunjuk terapi dijelaskan penulis, antara lain, melalui obat-obatan dan modifikasi (perubahan) gaya hidup. Para penderita hipertensi yang merokok dan minum minuman keras, misalnya, harus menghentikan atau paling tidak mengurangi. Mereka yang biasa makan makanan yang gurih (bergaram tinggi) dan berkolesterol tinggi juga harus mengubahnya dengan prinsip makanan seimbang. Semua ditulis secara rinci, termasuk jumlah kalori, jenis makanan, jadwal makan, menu makanan dan minuman, serta pembatasan garam, alkohol, dan kafein.
Sebuah buku yang sangat penting, mudah diikuti pula. Buku yang mengingatkan kata-kata Hipokrates (460 SM-377 SM): ”Orang bijak hendaknya sadar bahwa kesehatan adalah berkah paling berharga bagi manusia dan dia belajar dengan pikirannya sendiri bagaimana memperoleh manfaat dari pengalaman sakitnya.”
Judul Buku: Membonsai Hipertensi
Penulis: Dr Djoko Santoso SpPD K-GH PhD
Penerbit: Jaring Pena, Surabaya
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xxii + 186 halaman
*) Peresensi: Djoko Pitono, Jurnalis dan editor buku.