Pramono
http://www.tempointeraktif.com/
Novel Max Havelaar menjadi karya paling berpengaruh dalam dunia sastra Belanda dan opini publik sejak diterbitkan 150 tahun lalu. Menurut Marita Mathijsen, profesor yang fokus pada literatur Belanda abad 19, Max Havelaar tak bisa dikalahkan literatur lain dan menempati urutan paling atas dalam daftar resmi literatur Belanda.
?Banyak novel ditulis pada abad 19, tapi kebanyakan dilupakan,? kata Mathijsen dalam peringatan 150 Tahun Max Havelaar di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Selasa lalu.
Max Havelaar, kata Mathijsen, memiliki keunikan dari sisi etika dan estetika. Novel yang dikarang Multatuli tersebut mampu menghadirkan realita sosial dalam penjajahan Belanda di Indonesia. Pengaruhnya begitu besar dalam perkembangan kebebasan berpikir, kaum feminis, sosialis, dan reformis.
Begitu berpengaruhnya novel ini, Max Havelaar menjadi nama sejumlah jalan dan sekolah. Namanya juga dijadikan penghargaan sastra. Museum Max Havelaar pun didirikan di Amsterdam, tempat kelahirannya, sebagai penghargaan masyarakat setempat. Bahkan, namanya dijadikan merek cerutu.
Max Havelaar adalah karya Eduard Douwes Dekker, asisten residen di Lebak, Banten, yang menggunakan nama samaran Multatuli. Douwes Dekker prihatin atas kesewenangan pemerintah Belanda dan terutama tindakan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanagara terhadap rakyat setempat.
Douwes Dekker mengajukan protes kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist. Tapi ia justru dipindahkan ke Ngawi, Jawa Timur. Douwes Dekker menolak pemindahan itu dan mengundurkan diri. Ia kembali ke Belanda dan mengarang Max Havelaar.