Putu Satria Kusuma
http://www.balipost.co.id/
Dalam suatu kesempatan diskusi tentang sastra di sekolah, yang diselenggarakan Balai Bahasa Denpasar pada 29 Maret 2004 dalam rangka HUT ke-400 Singaraja, penulis mencoba memulai perjumpaan itu dengan pernyataan bahwa peta sastra di sekolah sudah mati. Hal ini besar kemungkinan dialami juga oleh para pengambil keputusan di pemerintahan.
JIKA dulu raja sebagai pengendali pemerintahan tradisional merasa bangga memiliki sastrawan dan memahami karya sastra sekaligus kreator sastra yang unggul (contoh Cokorda Mantuk Ring Rana), maka pengendali pemerintahan kini terkesan jauh dari dunia sastra. Mekipun demikian, pada masa lalu mereka kerap mengeluarkan pelarangan penerbitan karya sastra. Mungkin sekali hal ini disebabkan pada masa menjadi siswa mereka juga mengalami kebutaan terhadap sastra.
Sinyalemen “peta sastra di sekolah sudah mati” sebenarnya hasil diskusi pendek yang diselenggarakan oleh Komunitas Jurnalis Buleleng (KJB) 2003 dalam rangka pemberian hadiah pemenang lomba penulisan puisi. Atas sinyalemen ini, penulis sangat berharap para pengajar menyanggahnya. Namun, tak ada sanggahan yang meyakinankan terhadap permasalahan yang cukup memprihatinkan ini.
Akhirnya tak bisa dibantah, di sekolah siswa hanya mengetahui nama-nama sastrawan serta beberapa sinopsis karyanya. Itupun dari angkatan tertentu. Padahal, perkembangan sastra modern Indonesia sudah pesat. Sejumlah sastrawan muda lahir dan sempat diproklamirkan diri sebagai angkatan 2000. Gaya penggunaan kalimatnya pun beragam, dari yang puitis seperti “Saman”-nya Ayu Utami sampai yang kasar seperti “Air Kaldera”-nya Joni Ariadinata. Bahkan sejalan dengan era Reformasi di mana tiada lagi pelarangan penerbitan, banyak karya sastra diterbitkan oleh penulis yang sudah tersohor seperti Pramudya Ananta Toer, maupun oleh sastrawan muda seperti Oka Rusmini, Putu Fajar Arcana, Sitok Srengenge, Arif B.Prasetyo, sampai Alit S Rini. Kabarnya, beberapa sastrawan Bali dalam waktu dekat akan diterbitkan karya sastranya oleh penerbit nasional, di antaranya Warih Wisatsana dan Tan Lioe Ie. Sementara beberapa penyair Bali telah pula menerbitkan karyanya dengan cetakan sederhana seperti GM Sukawidana, Mas Ruscita, Lilik Mulyadi, Hartanto, Stiraprana, Ngurah Parsua, sampai Gde Artawan.
Seluruh karya yang dihasilkan sastrawan Indonesia modern ini, jika tak diapresiasi oleh siswa, tentunya patut disesalkan. Sebab, sebagaimana diketahui karya sastra tak hanya memberi hiburan berupa cerita tetapi dapat juga menumbuhkan dan menajamkan rasa kemanusiaan, kemasyarakatan, budaya, mengembangkan daya imajinasi, memberi bekal estetik kata-kata serta memberi pengalaman berbahasa sebagai pembanding terhadap kecenderungan berbahasa yang dihadirkan oleh serentetan teks pidato para birokrat. Bahkan pada masa lalu, karya sastra tak hanya dianggap teks yang mengandung nilai-nilai luhur, juga dipercaya memiliki kekuatan spiritual yang ikut membentuk dan mempengaruhi watak manusia.
Pelajaran dan Sanggar
Yang paling sering terlontar sebagai penyebab matinya sastra di sekolah adalah jam pelajaran sastra yang terbatas. Untuk menghadapi ini, penulis mencoba memberikan pemecahan secara praktis saja. Guru sebaiknya mencoba melakukan teknik bercerita untuk mengenalkan karya-karya sastra kepada siswanya selama beberapa menit sebelum jam pelajaran yang dituntut kurikulum dilakukan. Sambil bercerita, diperlihatkan juga wajah sejumlah buku sastra dari berbagai angkatan, terutama dari sastrawan mutakhir, sehingga siswa tak hanya mengenal Marah Rusli, Sutan Takdir, Chairil Anwar, Rendra, tetapi juga satrawan Joko Pinurbo, Joni Ariadinata, Ayu Utami, Oka Rusmini, Sunaryono Basuki KS, dll. Sebagai pembanding dapat pula siswa mulai dikenalkan dengan karya sastrawan dunia seperti Tagore, Khalil Gibran, Yukio Mishima, sampai Oktavio Paz.
Teknik mengenalkan sastra ini pernah dilakukan oleh sastrawan dan dosen STKIP Singaraja, I Wayan Artika M.Hum di sekolah SMUN 4 Singaraja, dan hasilnya cukup berhasil memancing siswa untuk mengenal buku-buku sastra (Bali Post Minggu, 11 Maret 2001). Hal lain bisa dilakukan adalah menugaskan siswa membawa sebuah novel sastra atau sebuah cerpen ke sekolah dan meminta pada siswa menceritakan isinya.
Usul penulis berikutnya adalah membentuk sanggar sastra di sekolah untuk menjawab jam pelajaran sastra yang terbatas. Kegiatannya meliputi mengupas/mengapresiasi karya-karya sastra dan belajar menulis sastra. Metode mengapresiasi sastra bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti membiarkan siswa membaca puisi atau cerpen, lalu mendiskusikan secara bersama-sama. Variasi dari kegiatan ini, siswa bisa diajak membaca puisi atau cerpen ke radio-radio.
Selanjutnya dalam hal menulis, jika merasa kesulitan membimbing, guru bisa meminta bantuan dari sastrawan dikenalnya untuk memberikan bimbingan penulisan kreatif, dan tak perlu takut tak punya biaya, sebab banyak juga sastrawan bisa dimintai bantuannya secara cuma-cuma. Lalu jika sudah banyak dan dianggap layak, karya-karya sastra siswa dimuat. Cobalah mengirim karya sastra siswa itu ke media yang menyediakan rubrik untuk sastra sekolah, salah satunya adalah ke majalah Horison yang menyediakan lembaran sastra sekolah “Kaki Langit”. Atau bisa juga diusahakan penerbitannya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh GM Sukawidana, guru SMPN 1 Denpasar, yang menerbitkan kumpulan puisi karya para siswanya yang tergabung dalam Sanggar Cipta Budaya. Penerbitan serupa pernah pula dilakukan oleh Teater Angin SMAN 1 Denpasar.
Perpustakaan Sekolah
Selanjutnya, peran perpustakaan sekolah. Yang mula-mula mencintai perpustakaan, utamanya koleksi buku sastranya adalah para guru bahasa dan sastra. Alangkah ironis jika seorang pengajar sastra justru tak mengetahui koleksi buku sastra di perpustakaan sekolahnya. Tanpa dipelopori serta promosi guru, peningkatan perhatian siswa terhadap koleksi buku sastra di sekolahnya kurang meningkat. Jika buku sastra di perpustakaan memang minim, guru bisa memohon pada sekolah untuk melengkapi dengan cara membeli maupun meminta sumbangan dari siswa yang telah lulus sebagai kenang-kenangan.
Kemudian, memberdayakan peran perpustakaan. Sering terlihat siswa yang mengunjungi perpustakaan lebih banyak membaca novel atau cerpen pop daripada novel sastra. Hal ini mungkin disebabkan kekurangpahaman siswa terhadap perbedaan novel pop dengan novel sastra. Memang dalam beberapa hal, cukup sulit membedakan bacaan pop dengan sastra. Sebab, pemisahan sebagai karya pop dengan sastra baru lahir dan merebak sekitar 1970-an. Sastra populer cenderung menghibur, ringan, klise, tanpa perenungan, mudah dinikmati, lebih banyak mengejar selera pembaca, meskipun tak tertutup kemungkinan sastra pop juga mengandung nilai literer tinggi. Sebaliknya novel serius atau karya sastra menghadirkan kehidupan dengan berbagai kemungkinan, rumit dan memiliki dimensi berlapis-lapis yang tak hanya menghadirkan unsur cerita, juga perenungan yang dalam.
Mengatasi ketidaktahuan siswa tentang perbedaan bacaan pop dan sastra, guru dapat meminta bantuan pegawai perpustakaan agar secara aktif memperkenalkan buku sastra yang dimiliki. Salah satu caranya adalah memajang buku sastra dengan cara yang menarik serta memberikan label pembeda antara novel pop dengan sastra, bukannya meletakkan buku-buku sastra pada rak tersembunyi.
Namun, menghidupkan peta sastra di sekolah agaknya perlu penanganan terpadu, guru perlu mendekonstruksi cara-cara mengajar sastranya dan peran sastrawan juga patut dituntut andilnya. Untuk itu, pola apresiasi sastra yang pernah dilakukan oleh penyair Umbu Landu Paranggi dari satu sekolah ke sekolah sekitar tahun 1970-1990-an layak dihidupkan lagi. Tanpa semua komponen itu, peta sastra di sekolah akan tetap terkubur. Akibatnya, karya sastra modern Indonesia hanya menjadi milik pengarangnya yang terasing di lingkungan yang melahirkannya.