Maman S. Mahayana *
Teori sastra (literary theory)[1] di Indonesia secara praksis sering kali dipahami juga sebagai kritik sastra (criticism).[2] Sementara kritik sastra tidak jarang diperlakukan sebagai pendekatan (approaches to literature).[3] Dalam hal ini, kritik sastra dianggap merupakan pendekatan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk berbagai kepentingan penelitian terhadap karya sastra konkret. Demikianlah, dalam banyak perbincangan, baik teori sastra maupun pendekatan atau penelitian sastra, hampir selalu ditempatkan dalam pengertian sebagai kritik sastra. Atau di bagian lain, teori sastra dikatakan juga sebagai teori kritik sastra.[4] Jadi, pembicaraan mengenai strukturalisme atau semiotik, misalnya, dianggap sebagai bagian dari pembicaraan teori kritik sastra.
Terlepas dari pemahaman yang tampak tumpang-tindih itu, sejauh pengamatan, hampir semua bersepakat, bahwa teori-teori itu sepenuhnya berasal dari Barat. Oleh karena itu, orientasi teori sastra di Indonesia dipahami dalam dikaitkannya dengan perkembangan teori sastra Barat. Kesan itu muncul ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra Indonesia yang khas dilahirkan berdasarkan cara pandang dan ruh kebudayaan Indonesia sendiri. Kesadaran untuk menghasilkan teori sastra yang khas Indonesia dan tidak bergantung teori sastra Barat itu, muncul lantaran dunia akademi tempat para mahasiswa dan dosen mempelajari dan mengembangkan ilmu sastra, dianggap telah menempatkan teori sastra modern cenderung lebih bersifat formalistik. Sementara itu, pembicaraan mengenai karya sastra itu sendiri atau kritik langsung terhadap karya sastra, kurang mendapat perhatian. Akibatnya, teori ditempatkan sebagai teori an sich, dan bukan dijadikan sebagai alat untuk menganalisis karya sastra. Demikianlah, atas anggapan itu, muncul kemudian keinginan dari beberapa pengamat sastra untuk tidak secara bulat-mentah menerima teori sastra Barat.
Subagio Sastrowardoyo, misalnya, mengungkapkan, “… dengan menitikberatkan pada teori-teori yang bergerak pada tataran yang umum dan abstrak tentang kesusastraan, maka terdapat kecenderungan yang kuat untuk meninggalkan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra.”[5] Sebaliknya, ketika ada usaha untuk melakukan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra atau melakukan kritik langsung atas karya sastra, teori-teori yang mestinya menjadi alat analisis, tiba-tiba seperti gagal mengemudikan analisis dan interpretasi untuk mengungkap kekayaan makna karya sastra. Teori-teori itu seperti kehilangan relevansinya manakala hendak dioperasionalisasikan. Ia pada akhirnya seperti tempelan belaka yang seolah-olah sekadar memberi kesan ilmiah. “Penyelidikan sastra jadinya ditandai oleh ketiadaan teori dan metode yang jelas. Mungkin ada semacam teori dan metode, tetapi lebih merupakan teori dan metode yang bersifat ad hoc, disesuaikan dengan bahan yang ada.”[6] Itulah yang terjadi dalam banyak skripsi (tugas akhir kesarjanaan), mahasiswa fakultas sastra. Teori sastra jadinya sekadar hendak menegaskan kesan ilmiah belaka, sementara tugasnya sebagai alat analisis, interpretasi, dan evaluasi, tidak jelas ke mana arahnya.
Teori-teori sastra yang diperkenalkan dan diajarkan dalam dunia akademi di Indonesia, memang tidak lain bersumber dari teori sastra Barat. Dengan demikian, pembicaraan teori sastra (Indonesia) pada hakikatnya adalah teori sastra Barat. Itulah anggapan yang selama ini berkembang dalam sejumlah buku yang membicarakan kritik sastra Indonesia. Apakah sebelum itu, sama sekali tidak ada usaha-usaha untuk mencoba merumuskan semacam teori sastra (Indonesia) yang lebih sesuai dengan estetika kultur Indonesia sendiri? Bagaimana duduk masalah yang sesungguhnya, sehingga pemahaman tentang teori sastra (Barat) dan usaha untuk menerapkannya seperti tetesan minyak dalam air; terpisah sendiri dan sering kali gagal menjadi alat analisis, interpretasi, dan evaluasi?
***
Dalam ilmu sastra,[7] ada tiga bidang kegiatan penelitian yang berkaitan dengan sastra dan kesastraan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Keberadaan masing-masing bidang bersifat saling melengkapi, komplementer dan saling mendukung. Mengingat sifatnya itu, ketiga bidang itu dapat dimasukkan ke dalam tiga wilayah kegiatan penelitian yang bersifat teoretis (teori sastra –literary theory), historis (sejarah sastra –literary history), dan kritis (kritik sastra –literary criticism).
Dalam wilayah studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.[8] Teori sastra bekerja dalam bidang teori, misalnya penyelidikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian sastra, hakikatnya, jenisnya, dasar-dasarnya, kriteria dan berbagai hal tentang itu. Ia adalah studi prinsip-prinsip sastra, kategori-kategorinya, kriteria, dan sejenisnya. Teori sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra,[9] dan ia harus menciptakan dasar konsep yang universal, atau sekurang-kurangnya konsep umum, yang dapat dipakai untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fakta-fakta.[10] Dengan demikian, teori sastra merupakan salah satu cabang ilmu sastra yang berusaha merumuskan pengertian-pengertian tentang sastra, hakikat dan prinsip-prinsip sastra, melakukan pengklasifikasian terhadap jenis dan ragam-ragam sastra, serta menyodorkan bagaimana analisis, interpretasi dan evaluasi terhadap karya sastra konkret dapat dilakukan.
Sebagai salah satu cabang ilmu sastra, teori sastra dapat memberi kontribusinya bagi cabang ilmu sastra lainnya, yaitu kritik sastra dan sejarah sastra. Kritik sastra, misalnya, hanya mungkin dapat melakukan evaluasi terhadap karya sastra secara objektif, jika evaluasinya didasarkan pada teori sastra. Kritik terhadap karya sastra konkret hanya akan menghasilkan penilaian yang sangat subjektif dan tak berdasar, jika ia mengabaikan teori sastra sebagai landasan penilaiannya. Begitu juga, sejarah sastra hanya mungkin dapat menjalankan tugasnya dengan baik jika memperoleh bantuan teori sastra. Bagaimana mungkin sejarah sastra dapat mencatat terjadinya berbagai pembaruan dalam karya sastra jika ia tidak didukung oleh pemahaman mengenai teori sastra. Lalu, untuk apa pula teori sastra, jika ia tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kritik sastra. Begitu pula, kritik sastra yang tidak menggunakan teori sastra sebagai alat ukurnya, hanya akan menghasilkan interpretasi dan evaluasi yang terlalu subjektif. Di situlah, teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra, hadir dalam fungsinya yang saling melengkapi.
Dengan pemahaman bahwa yang dimaksud teori sastra itu merupakan studi prinsip, kategori, dan kriteria berdasarkan penyelidikan terhadap sejumlah karya sastra dengan tujuan menghasilkan dasar konsepsi yang berlaku secara universal atau paling tidak, berlaku umum, maka pandangan Rachmat Djoko Pradopo,[11] bahwa kritik sastra Indonesia tahun 1950-1970 belum menggunakan teori sastra, yang dimaksud teori sastra itu adalah teori sastra Barat. Demikian juga pernyataan Subagio Sastrowardoyo bahwa Indonesia selalu terlambat dalam menerima pengetahuan tentang teori-teori sastra yang bermunculan di dunia Barat,[12] menegaskan kembali betapa teori sastra (Barat) menjadi begitu penting dalam perkembangan teori sastra di Indonesia.
Lebih lanjut, dikatakan Sastrowardoyo bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama, jarak hubungan kultural dan intelektual antara Indonesia dengan benua Amerika dan Eropa. Kedua, pemasukan buku dan majalah yang bersifat akademis dari luar negeri yang belum lancar dan masih terbatas jenisnya. Ketiga, kemampuan dan penguasaan umum yang masih lemah dalam pemahaman bahasa asing, sehingga menghambat pendalaman ke dalam objek studi, khususnya teori sastra.[13]
Jika yang dimaksud keterlambatan menerima teori sastra, sebagaimana yang dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu, sebagai keterlambatan menerima teori sastra Barat, maka masalah sebenarnya berkaitan dengan perkembangan kritik akademi atau kritik ilmiah. Dengan demikian, keterlambatan itu merupakan sesuatu yang wajar saja, jika itu ditempatkan dalam konteks kritik akademi atau kritik ilmiah. Apalagi jika mengingat munculnya kritik akademi atau kritik ilmiah, baru memperoleh bentuknya yang lebih jelas selepas tahun 1970-an, sebagaimana yang kemudian diajarkan di fakultas-fakultas sastra berbagai perguruan tinggi. Kritik sastra –yang di dalamnya menyangkut pembicaraan teori sastra— kemudian juga menjadi bagian dari kurikulum nasional pengajaran sastra.
Meskipun demikian, keterlambatan seperti dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu sesungguhnya tidak juga sepenuhnya benar.[14] Anggapan terjadinya keterlambatan itu, sebenarnya cenderung lebih disebabkan oleh kelalaian membaca sejarah. Kritik dan teori sastra seolah-olah muncul tanpa sejarah. Itulah sebabnya, ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra sendiri –seperti yang pernah terjadi awal tahun 1980-an— pijakan pertama yang digunakan adalah teori sastra Barat, dan bukan lebih dahulu mencoba menyimak apa yang pernah terjadi sebelumnya. Atau, paling tidak, berangkat dari pertanyaan: apakah masalah itu sebelumnya pernah dibicarakan atau tidak. Dengan demikian, anggapan adanya keterlambatan penerimaan teori sastra Barat, boleh dikatakan muncul dari sikap apriori yang menafikan sejarah perkembangan teori dan kritik sastra Indonesia sendiri.
Jika melihat sejarah perjalanan kritik sastra di Indonesia yang justru sudah dimulai sejak zaman Pandji Poestaka,[15] maka dalam praktiknya, pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra, sebenarnya sudah dimulai sejak itu. Jadi, usaha-usaha ke arah perumusan teori sastra Indonesia sangat mungkin pula justru sudah muncul sejak zaman Pandji Poestaka dan kemudian semarak pada zaman Poedjangga Baroe. Lalu, apakah lantaran tulisan-tulisan itu masih tercecer dalam lembaran-lembaran suratkabar dan majalah, maka pembicaraan mengenai teori dan kritik sastra Indonesia hampir tak pernah mengungkap berbagai tulisan itu? Jadi, mengapa berbagai tulisan yang tersebar dalam majalah atau suratkabar itu hampir-hampir tidak pernah disinggung dalam konteks pembicaraan teori sastra (Indonesia)?
Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan berbagai tulisan dalam surat kabar dan majalah itu sering diabaikan dalam pembicaraan teori sastra.
Pertama, kecenderungan yang dilakukan para pengamat sastra Indonesia dalam menyusun sejarah sastra Indonesia mendasari penelitiannya pada karya-karya yang berujud buku, sementara karya-karya sastra yang masih tersebar di berbagai media massa sering kali diabaikan. A. Teeuw[16] dan Ajip Rosidi,[17] misalnya, menempatkan kelahiran kesusastraan Indonesia semata-mata berdasarkan karya-karya yang diterbitkan dalam bentuk buku. Akibatnya, awal kelahiran kesusastraan Indonesia, misalnya, dikatakannya berkisar pada kemunculan buku-buku terbitan Balai Pustaka. Padahal, cerita pendek, cerita bersambung (feuilleton), dan puisi, sudah sering bermunculan di berbagai suratkabar dan majalah pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dengan demikian, karya-karya yang disiarkan media massa itu kehadirannya justru mendahului buku-buku terbitan Balai Pustaka. Jadi, kelahiran kesusastraan Indonesia modern sesungguhnya tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan penerbitan suratkabar dan majalah.
Kedua, pemahaman kritik sastra –khasnya kritik sastra ilmiah atau kritik sastra akademi— dianggap hanya berkaitan dengan karya-karya ilmiah yang berupa karya kesarjanaan (skripsi, tesis, atau disertasi). Bahkan ada kesan bahwa kritik ilmiah atau kritik akademi, seolah-olah hanya berada di wilayah institusi pendidikan (fakultas sastra) dan tidak berada di luar itu. Kritik akademi jadinya memperoleh pemaknaan yang sempit dan dianggap yang hanya dapat dilakukan oleh para sarjana. Kritikus di luar itu, seolah-olah hanya menghasilkan kritik umum atau kritik impresionistik yang menekankan kesan subjektif kritikus, dan bukan menempatkan karya sastra sebagai objek penelitiannya. Akibat pemahaman itulah, kritik sastra akademi atau kritik sastra ilmiah lalu dibedakan dengan kritik impresionistik yang ditulis oleh sastrawan. Sementara kritik sastra umum yang terdapat di media massa, baik berupa resensi buku, maupun ulasan terhadap karya sastra konkret, cenderung tidak diperlakukan sebagai model kritik sastra ilmiah atau kritik akademi.[18]
Ketiga, kuatnya pengaruh kritik aliran Rawamangun[19] dalam institusi pendidikan sastra di Indonesia ikut pula mempengaruhi cara pandang dan perlakuan terhadap esai-esai yang disiarkan majalah atau surat kabar. Akibatnya, kritik atau ulasan terhadap karya sastra konkret yang disiarkan media massa itu, sering kali dianggap tidak ilmiah.
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan esai-esai (kritik sastra umum) yang disiarkan dalam suratkabar dan majalah kurang mendapat perhatian, bahkan terkesan seperti dibiarkan tercecer begitu saja. Untuk memberi gambaran, betapa pentingnya sejarah sastra –termasuk di dalamnya pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra— mengungkap tulisan-tulisan dan perbalahan yang terjadi di media massa, berikut ini akan dibincangkan berbagai tulisan dalam mengenai teori sastra yang pernah disiarkan Pandji Poestaka, Poedjangga Baroe dan beberapa majalah lain yang terbit kemudian.
***
Seperti telah disebutkan, kritik sastra di Indonesia, secara praksis telah dimulai sejak Pandji Poestaka membuka rubrik atau ruangan “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam rubrik itu, Alisjahbana banyak mengulas dan memberi tanggapan atas sejumlah puisi yang dikirim ke majalah itu, dan juga membandingkannya dengan syair. Di samping itu, ia juga menyampaikan pandangannya mengenai apa yang disebutnya sebagai “Kesusastraan Baru” dengan berbagai ciri-cirinya. Dengan konsep kesusastraan baru yang diajukannya itu, ia melakukan interpretasi dan evaluasi atas puisi-puisi yang dibicarakannya. Dengan begitu, Alisjahbana sesungguhnya tidak hanya sudah melakukan praktik kritik sastra, tetapi juga memulai pembicaraan mengenai teori sastra. Dalam ruang “Memadjoekan Kesoesasteraan” (Pandji Poestaka, edisi Mei 1932),[20] Alisjahbana menurunkan artikel berjudul “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe”. Ia mengawali tulisannya sebagai berikut:
Pastilah roebrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” ini boekan sadja goenanja oentoek memoeatkan boeah tangan peodjangga kita. Sekali-kali ada djoega faedahnja, kalau dikemoekakan beberapa pikiran atau timbangan jang berfaedah oentoek memadjoekan kesoesasteraan.
Sekali ini kami hendak menoeliskan beberapa pertimbangan tentang kiasan dalam karang-mengarang pada oemoemnja dan dalam poeisi atau sjair pada choesoesnja.
Dikatakan lebih lanjut, bahwa kiasan, ibarat, atau perbandingan sangat penting dalam puisi Indonesia, mengingat bangsa Indonesia sudah sangat akrab dengan gaya bahasa itu. Kecenderungan yang menonjol pemakaian kiasan atau perbandingan dalam puisi waktu itu adalah kiasan atau perbandingan yang sudah sering digunakan orang atau yang banyak terdapat dalam karya-karya sastra lama. “Pengarang harus melepaskan dirinya dari kebiasaan mengarang yang lama itu. Ia harus mengemukakan perasaannya sendiri, pikirannya sendiri, dan pemandangannya sendiri…. Sesungguhnyalah yang pertama sekali harus dilangsungkan oleh pujangga bangsa kita dewasa ini: melepaskan dirinya dari kungkungan yang erat mengikat dan kurungan yang lembab dan gelap, membunuh semangat.” Demikian penegasan Alisjahbana. Oleh karena itu, pemakaian kiasan dalam puisi, menurutnya, menuntut syarat-syarat tertentu.
Maka sesungguhnya perbandingan, kiasan, ibarat itu ada syarat-syaratnya.
Untuk menyelidiki betapa harusnya syarat kiasan dalam syair, haruslah kita mengaji dahulu apa yang dinamakan syair atau puisi.
Syair atau puisi ialah penjelmaan perasaan dengan perkataan.[21]
Dalam uraian selanjutnya, Alisjahbana mengungkapkan sejumlah kriteria mengenai ciri-ciri kiasan, ibarat, atau perbandingan yang menurutnya mencerminkan semangat kesusastraan baru. Dengan begitu, secara langsung Alisjahbana tidak hanya mencoba merumuskan apa yang dimaksud dengan puisi dan syair, pengertian kiasan, perbandingan, dan ibarat, tetapi juga menyodorkan sejumlah kriteria pemakaian kiasan atau perbandingan dalam puisi baru.
Menurutnya, puisi lama cenderung mementingkan bunyi daripada isi atau amanat yang hendak penyair, sedangkan puisi baru, tidak hanya mempertimbangkan bunyi, tetapi juga makna setiap kata. “Tiap-tiap perkataan mesti kena tempatnya dan nyata arti dan perasaan yang dikemukakannya.[22] Dalam puisi baru … yang terpenting ialah perasaan dan pikiran yang masing-masing melahirkan bentuknya sendiri, yang sesuai benar tentang ikatan, pilihan kata, susunan kalimat dan irama dengan perasaan dan pikiran itu.”[23]
Selain Alisjahbana yang gencar sekali menyuarakan semangat kesusastraan baru,[24] beberapa penulis lain, di antaranya, Armijn Pane, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Hoesein Djajadiningrat, Soewandhi, J.E Tatengkeng, juga mencoba membuat rumusan, kriteria, dan ciri-ciri tentang berbagai aspek kesusastraan. Dengan kata lain, para penulis itu secara sadar berusaha pula membincangkan persoalan “teori sastra”.
Armijn Pane dalam artikelnya “Kesoesasteraan Baroe”[25] mengungkapkan panjang lebar mengenai ciri-ciri kesusastraan Indonesia baru dan peranan pujangga (sastrawan) dalam membangun bangsanya. Meskipun artikel itu tidak secara langsung membicarakan teori sastra, setidak-tidaknya ada usaha Armijn Pane untuk menempatkan kedudukan sastrawan dalam masyarakat dan menyodorkan semacam kriteria, bagaimana seorang sastrawan menyampaikan gagasannya secara jujur, sesuai dengan hati nuraninya. “Seorang hamba seni jang sejati adalah hamba soekmanja…. Djadi bagaimana djoea, jang menjanji dalam sadjak, dalam gambaran seorang hamba seni jang sedjati, ialah soekmanja. Seorang hamba seni hidoep dalam masjarakat, djadi seorang achli masjarakat itoe. Ia adalah anak kepada masjarakat itoe, ia adalah gambaran dari pada masjarakat itoe.”[26] Dalam hubungan itulah, sastrawan tidak dapat melepaskan dirinya dari tanggung jawab sosialnya. Ia dapat dipandang mewakili masyarakat, mewakili kebudayaan dan daerahnya, juga mewakili semangat zamannya. “Setiap masjarakat lain seninja, setiap waktoe lain seninja.”[27] Bukankah hal itu pula yang dikatakan Rene Wellek dan Austin Warren, bahwa sastra sering dianggap sebagai potret sosial dan mengungkapkan semangat zamannya. “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat” (literature is an expression of society).[28]
Selain membicarakan hubungan sastrawan dengan masyarakat, Armijn Pane juga menyampaikan beberapa ciri puisi baru yang menurutnya merupakan bentuk baru dari pantun. “Peodjangga baroe boekan hanja memindjam dari bangsa asing[29] akan menimboelkan vorm baroe, tetapi kami djoega membaroekan vorm jang lama soepaja sesoeai, sehidoep dengan semangat baroe.” Untuk mendukung pernyataannya itu, Armijn juga menyampaikan beberapa ulasan atas puisi-puisi yang muncul pada masa itu. Berikut ini akan dikutip ulasan Armijn Pane yang mengambil contoh kasus sebuah puisi karya Imam Soepardi yang dimuat Soeara PBI, Oktober 1932.
Kalau tidak karena sinar boelan
Tidaklah malam terang tjuatja
Beta termenoeng
Karena bingoeng
Kalau tidak karena kesadaran
Tidaklah kira, poetra bekerdja
Beta berloetoet
Ingin bersoedjoet
Dengan sepandang mata soedah kita ketahoei bahwa ini boekan pantoen, tetapi waktoe membatjanja, tiadalah tersingkirkan perasaan dari pada kita, bahwa ini jalah pantoen. Ritmenja, perasaannja, semangatnja sama dengan pantoen.
Itulah yang dimaksud Armijn Pane sebagai vorm baru, bentuk baru, yang membedakannya dengan pantun. Bukankah yang dilakukan Armijn Pane ini sebagai usaha untuk mengungkapkan ciri-ciri puisi baru dan merumuskan bentuknya sebagai gambaran dari semangat sastrawan pada masa itu? Dalam kerangka pemikiran Barat, bukankah itu termasuk sebagai bagian dari pembicaraan teori sastra?
Artikel lain yang juga memperlihatkan semangat untuk merumuskan kekhasan ciri-ciri kesusastraan Indonesia yang berbeda dengan kesusastraan Barat, dilakukan Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat. Pada peringatan 9 tahun berdirinya Sekolah Hakim Tinggi di Betawi, Hoesein Djajadiningrat menyampaikan pidatonya yang bertajuk “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib.”[30]
Selain menyatakan keheranannya atas pandangan G.H. Werndly yang tidak menyinggung pantun dalam pembicaraannya mengenai sajak dalam bahasa Yunani dan Arab dan memperbandingkannya dengan persajakan Melayu, Hoesein Djajadiningrat juga menolak beberapa pendapat tentang pantun yang dikemukakan William Marsden, John Crawfurd, serta dua sarjana Belanda, W.R. van Hoevell dan L.K. Harmsen.. Menurutnya, Werndly telah salah menyebutkan “Pantun Speelman” sebagai “Syair Speelman”, sedangkan kekeliruan John Crawfurd terletak pada anggapannya yang menyebutkan pantun sebagai teka-teki. Adapun penolakan Djajadiningrat atas pendapat dua sarjana Belanda menyangkut isi pantun yang dalam dua baris pertamanya dikatakan sebagai “memberi keterangan yang bukan-bukan.”
Hal yang juga penting yang dilakukan Djajadiningrat adalah usahanya melacak asal-usul kata pantun. Menurutnya, kata pantun berasal dari perubahan kata paribahasa menjadi paribasan. Kata pari dalam bentuk yang lebih dihaluskan lagi kemudian menjadi pantun. Arti kata itu sendiri adalah umpama, seloka, paribahasa atau kiasan. Jadi, pantun adalah “suatu kuplet yang sebagian mengandung kiasan atau sesuatu yang kurang terang, yang dijelaskan oleh bagian yang lain, tiada peduli apa isinya, meskipun telah selayaknya kiasan yang dipakai demikian mempunyai semangatnya sendiri.”[31] Ia juga menyebutkan ciri-ciri yang melekat pada pantun, yaitu terdiri dari empat baris, tiap baris terdiri dari empat kaki, dan tiap kaki terbagi dua atau tiga suku kata dengan pola persajakan a-b-a-b. Sifatnya khas, karena setelah dua baris pertama, sekonyong-konyong datang perubahan arti kata-kata. Sementara inti pesannya terletak pada dua baris terakhir, yaitu isi suatu klanksuggestie,[32] yaitu bunyi yang memberi penunjuk bagi kedua baris yang akhir.
Ringkasnya, Djajadiningrat menegaskan bahwa pandangan para sarjana Barat cenderung keliru memahami pantun, karena ukuran yang digunakannya tidak lain dari persajakan Barat. Dengan membandingkan pantun dengan parikan dan wangsalan Jawa atau sisindiran dan wawangsalan Sunda, disimpulkan bahwa pantun merupakan puisi khas Melayu yang ciri-cirinya tidak akan dijumpai dalam sajak-sajak Barat. Oleh karena itu, pemahaman ciri-ciri sebuah kuplet disebut pantun atau syair dan syarat-syarat yang menyertainya penting artinya untuk menempatkan kekhasan pantun sebagai bentuk persajakan Melayu yang berbeda dengan bentuk persajakan lainnya.
Dalam Poedjangga Baroe, No. 9, Th. II, Maret 1934, Amir Hamzah juga membicarakan “Pantoen”.[33] Isinya, meski tidak seluas artikel Hoesein Djajadiningrat, menegaskan kembali kekhasan pantun sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia. “… bentoek pantoen Indonesia jang biasa itoe ja’ni, bahwa ia terdjadi dari empat baris dan doe baris jang diatas itoe pada sekali pandang tiada bersangkoet paoet dengan doea boeah kalimat jang dibawah. Inilah kegandjilannja pantoen Indonesia.” Seperti Djajadiningrat, Amir Hamzah juga mengingatkan, bahwa untuk memahami pantun, “hendaklah kita mengetahoei kehidoepan pikiran serta kesoesasteraan anak Indonesia, maka baharoelah moengkin kita menerangkan sangkoet paoet kalimat pantoen itoe.” Dengan perkataan lain, usaha untuk memahami pantun hanya mungkin dapat dilakukan lebih tepat jika pendekatannya berdasarkan ruh kebudayaan Indonesia sendiri.
Kritik terhadap pandangan para peneliti Barat terhadap pantun, juga dilakukan Intojo.[34] Mengingat begitu banyak terjadi kesalahpahaman dalam memahami pantun, Intojo mengingatkan:
… karena itu bangsa Indonesia mempunjai hak sepenuhnja untuk membanggakan tjiptaan nasionalnja: pantun ketjil jang memantjarkan keindahan jang halus dan menarik; jang mengandung gugusan asosiasi, lambang dan langgam aneka-ragam, jang bersilih-ganti bersahadja dan djelita. Karena itu orang Indonesiaberhak mengharap dari kawan-kawannja bangsa Eropah, supaja mereka menjelidiki pantun itu dan beladjar memahaminja lebih baik dari jang sudah; berbareng dengan itu orang Indonesia berkewadjiban membantunja dalam pekerdjaan jang tidak gampang itu.[35]
Dengan mengutip karangan seorang sarjana Italia, Dr. Giacomo Prampolini yang meneliti pantun dan membandingkannya dengan puisi-puisi berbagai bangsa, Intojo menolak anggapan bahwa pantun: hasil improvisasi (karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan dengan percintaan). Menurut Intojo, amoreus justru bukan sifat umum pantun, mengingat ada juga pantun anak-anak, pantun orang tua, dan pantun nasihat yang sama sekali tidak amoreus. Kekeliruan itu terjadi karena pantun dianggap sama dengan persajakan di belahan bumi yang lain yang menggunakan pola a-b-a-b. Jadi, menurut Prampolini, setiap sajak yang berpola a-b-a-b dapatlah dikatakan sebagai pantun.
Uraian Intojo selanjutnya menegaskan bahwa bagaimanapun juga, pantun memang memperlihatkan bentuk persajakan yang khas Melayu (Indonesia) yang justru tidak tidak terdapat dalam persajakan lain di dunia ini. Adanya kemiripan, tidaklah berarti sama persis atau identik. Dalam hal ini, menurut Intojo, pantun memang lahir dari tradisi kebudayaan Melayu (Indonesia). Oleh karena itu, ia punya kekhasannya sendiri yang membedakannya dengan puisi dalam kesusastraan bangsa lain.
Mencermati artikel-artikel tentang pantun yang ditulis Hoesein Djajadiningrat, Amir Hamzah, dan Intojo, tampaklah bahwa ketiganya secara tegas menolak pandangan keliru tentang pantun yang ditulis para sarjana Barat. Pertanyaannya kini: bukankah yang dilakukan ketiga penulis itu menyangkut kritik dan teori sastra, khasnya teori tentang pantun? Mengingat pantun menunjukkan kekhasan persajakan Melayu, bolehlah kiranya kita mengatakan, bahwa pembicaraan dalam ketiga artikel itu merupakan bagian dari pembicaraan teori sastra, khasnya mengenai teori sastra tentang pantun Melayu?
***
Penulis lain yang membincangkan masalah teori sastra, terutama yang muncul dalam majalah Poedjangga Baroe, antara lain, Sanusi Pane,[36] Soewandhi,[37] Armijn Pane,[38] Amir Hamzah,[39] dan teristimewa Alisjabahana.[40] Di antara para penulis zaman Pujangga Baru itu, Alisjahbana yang paling gencar menawarkan gagasan tentang konsep puisi baru. Menurutnya, “letak sari pembaroean poeisi Indonesia adalah hidoep-saktinja kembali perasaan, kembalinja poeisi kepada asalnja, jaitoe djiwa bernjanji.”[41]
Melalui pembicaraan sejumlah puisi yang muncul pada masa itu, Alisjahbana menyimpulkan ciri-ciri umum puisi Indonesia, yaitu: (1) kuatnya suara sukma penyair yang disebutnya dengan frase: djiwa bernjanji. (2) Lirik sebagai curahan kalbu individu penyair. Oleh karena itu juga bersifat individualisme. (3) Munculnya berbagai macam bentuk aliterasi. (4) Kecenderungan kuatnya insiatif penyair untuk memanfaatkan pilihan kata yang tepat. (5) Kecenderungan pengungkapan alam sebagai sumber inspirasi penyair. Meskipun beberapa ciri yang dilihat Alisjahbana menunjukkan adanya kesamaan dengan ciri-ciri romantisisme, tidaklah berarti kesamaan itu identik. Ciri individualisme dan pemanfaatan alam sebagai sumber inspirasi, misalnya, dikatakannya tidak dalam kerangka individualisme yang mementingkan diri pribadi. Dalam hal ini, individualisme yang dimaksud Alisjahbana sebatas pada kekhasan pribadi style penyair yang tercermin dalam karyanya. Sedangkan dalam kehidupan kemasyarakatan, seorang penyair tetap dituntut untuk memberi pencerahan kepada masyarakat. Jadi, ia menolak pendirian seni untuk seni, dan menganjurkan pendirian seni untuk masyarakat.[42]
Sementara mengenai pengungkapan alam sebagai sumber inspirasi bagi penyair didasarkan pada pandangan bahwa kekayaan alam Indonesia telah banyak memberi inspirasi atau ilham kepada para penyair, dan bukan lantaran para penyair itu prihatin pada eksploitasi alam, sebagaimana yang terjadi di Eropa. Dengan demikian, alam sebagai sumber inspirasi penyair Indonesia, justru dalam konteks pengagungan, dan bukan didasarkan pada keprihatinan atas keserakahan manusia memanfaatkan alam.
Demikianlah, para sastrawan zaman Pujangga Baru telah berusaha merumuskan sejumlah konsep atau pengertian yang menurut pengertian Rene Wellek dan Austin Warren, bukankah itu termasuk ke dalam pembicaraan teori sastra. Bahkan di antaranya, sebagaimana yang telah dilakukan Sutan Takdir Alisjahbana, mencoba pula mencari dan menyodorkan estetika puitik terhadap kecenderungan karya-karya sastra, terutama puisi, yang muncul pada masa itu. Pertanyaannya kini: dapatkah tulisan-tulisan itu dimasukkan ke dalam pembicaraan kritik dan teori sastra? Bukankah tulisan-tulisan itu juga menyangkut penyelidikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian sastra, hakikat, jenis, dasar-dasar, kriteria dan berbagai hal tentang itu. Begitu juga apa yang dilakukan Alisjahbana tentang puisi dan Hoesein Djajadiningrat dan Intojo tentang pantun, bukankah pembicaraan yang demikian itu termasuk studi prinsip-prinsip sastra, kategori-kategori, kriteria, dan sejenisnya yang kemudian menghasilkan konsep umum yang berlaku dalam puisi Indonesia masa itu dan konsep umum tentang pantun?
***
Pada zaman pendudukan Jepang (1942—1945), semua kegiatan sastra dan budaya dan semua yang berkaitan dengan kegiatan publikasi, berada di bawah pengawasan Jawa Syimbun Kai, sebuah lembaga sensor pemerintah pendudukan Jepang yang bertanggung jawab atas segala kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan dan pementasan. Dengan begitu, gagasan dan pemikiran mengenai konsepsi sastra dan berbagai hal yang berkaitan dengan itu, juga berada di bawah pengawasan lembaga itu.[43] Meskipun pada masa itu, dalam beberapa suratkabar dan majalah, seperti harian Asia Raja dan majalah Djawa Baroe, kita masih dapat menjumpai artikel-artikel yang membicarakan karya sastra konkret (kritik sastra) atau konsepsi sastra (teori sastra) menurut kepentingan pemerintah pendudukan Jepang, pengaruhnya bagi usaha merumuskan konsepsi sastra sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Pujangga Baru, dapat dikatakan tidaklah cukup signifikan. Oleh karena itu, usaha melihat perkembangan teori sastra pada zaman Jepang, agak payah dilakukan. Walaupun begitu, apa yang dilakukan H.B. Jassin yang berusaha memetakan kesusastraan pada zaman Jepang, sedikit banyak cukup membantu kita untuk memahami model estetik sastra Indonesia pada masa itu.[44]
***
Memasuki dasawarsa tahun 1950-an, pembicaraan mengenai konsepsi (:teori) sastra semarak kembali setelah pada tahun 1947, terbit majalah mingguan Siasat dan Mimbar Indonesia. Pada bulan Maret 1948, majalah mingguan Siasat membuka ruangan kesusastraan “Gelanggang” yang mencerminkan semangat para pengelola rubrik ini untuk mengusung sikap kulturalnya.[45] Pada awalnya fokus pembicaraan dalam sejumlah artikel yang dimuat dalam ruangan “Gelanggang” berkisar pada konsepsi estetik Generasi Gelanggang. Penamaan Generasi Gelanggang sendiri pada akhirnya kalah populer setelah muncul penamaan Angkatan 45.[46] Konsepsi estetik Angkatan 45 inilah yang kemudian hampir mendominasi perbincangan kesusastraan Indonesia pada masa itu.
Dalam majalah Siasat, 22 Oktober 1950, dimuat sebuah dokumen penting yang diberi nama “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang bertarikh 18 Februari 1950. Surat Kepercayaan Gelanggang inilah yang kemudian dipandang sebagai sikap dan dasar konsepsi estetik Angkatan 45. Jassin kemudian menafsirkan dan merumuskan konsepsi itu dengan apa yang disebutnya konsep humanisme—universal. Dalam penjelasannya, Jassin mengungkapkan: “Angkatan 45 tidak mengabdi kepada sesuatu isme, tapi mengabdi kepada kemanusiaan yang mengandung segala yang baik dari sekalian isme… Angkatan 45 mempunyai konsepsi humanisme universal.[47]
Penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universal itu ternyata bukan tanpa masalah. Paling tidak, setelah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) –sebuah lembaga kesenian yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) berdiri 17 Agustus 1950, penentangan terhadap penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universalnya, gencar dilakukan oleh golongan sastrawan Lekra yang mengusung humanisme proletariat. Bagi Lekra, kebudayaan –termasuk di dalamnya kesusastraan—haruslah berpihak kepada rakyat. Dengan demikian, kesenian pun harus berpihak kepada rakyat.
Terjadinya polemik antara kelompok Angkatan 45 dan golongan Lekra pada awalnya justru memberi sumbangan berarti bagi usaha-usaha perumusan konsep-konsep sastra yang dalam kerangka kritik sastra dapatlah dimasukkan sebagai pembicaraan teori sastra. Kondisi itu bertambah semarak saat muncul majalah-majalah kesusastraan. Maka, berbagai pemikiran mengenai teori sastra telah berkembang semarak pada masa itu.
Dalam majalah Indonesia,[48] misalnya, banyak dimuat berbagai artikel mengenai konsep-konsep sastra, seperti hubungan sastra dan politik, definisi dan konsep sastra, masalah angkatan, kriteria sastra pornografi, sastra bertendens, tanggung jawab sosial sastrawan, keindahan dan kebaruan dalam sastra, dan sejumlah artikel lain yang mencoba memberi penjelasan atas berbagai hal yang berkaitan dengan kesusastraan.[49] Puncak pertentangan itu terjadi tahun 1965, ketika Lekra bersama organ PKI lainnya melakukan serangan dan teror terhadap para penanda tangan Manifes Kebudayaan yang mendukung konsep humanisme universal. Itulah masa khaos sastra Indonesia.
***
Pembicaraan mengenai teori sastra, mulai marak kembali setelah kritik dan teori sastra menjadi bahan pengajaran di fakultas sastra. Pengajaran teori dan kritik sastra dalam pengertian kritik ilmiah di Indonesia, seperti dimulai kembali.
Terjadinya kekacauan dalam kehidupan sastra Indonesia awal tahun 1960 sampai tahun 1965, menyadarkan kaum akademi bahwa campur tangan politik dalam kehidupan kesusastraan dan kebudayaan, telah berdampak sangat buruk.[50] Anggapan bahwa penilaian terhadap sastra hanya boleh dilakukan berdasarkan ideologi politik, seperti yang dilakukan sastrawan Lekra,[51] ternyata telah melahirkan kritik tanpa kriteria dan ukuran. Kritik jadinya seperti caci-maki karena tak ada teori yang digunakan sebagai landasan. Penilaian terhadap karya sastra menjadi relatif dan subjektif. Akibatnya terjadi kekacauan dalam kehidupan kesusastraan Indonesia secara keseluruhan.[52] Maka, agar sastra Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, kritik sastra harus dipisahkan dari kepentingan politik. Ia juga harus didasarkan atas landasan teori untuk menghasilkan penilaian yang objektif sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiahnya.
Sementara itu, praktik kritik sastra yang ditulis sastrawan cenderung menekankan pada kesan subjektif, tanpa menggunakan teori atau ukuran dan kriteria tertentu. Dalam hal ini, berlaku pula anggapan “sepuluh kritikus akan menghasilkan sepuluh penilaian”.
Itulah beberapa masalah yang melatarbelakangi lahirnya kesadaran untuk mencari identitas dan ukuran yang jelas dalam kritik dan teori sastra. Guna mencapai tujuan itu, diselenggarakan Simposium Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, 27 Oktober 1966, yang melibatkan peneliti dan sastrawan. Kegiatan serupa diselenggarakan lagi dalam rangka peringatan penyair Chairil Anwar, 30 April 1967.[53] Selepas terjadi perbalahan mengenai kritik sastra yang diwakili kelompok sastrawan dan peneliti sastra yang diselenggarakan 31 Oktober 1968, perbincangan kritik dan teori sastra menjadi isu penting.[54]
Selepas terjadi polemik antara pendukung kritik ilmiah atau kritik akademis (Aliran Rawamangun) dan pendukung kritik sastra melalui metode ganzheit (Metode Kritik Ganzheit),[55] teori-teori sastra Barat terus mengalir memasuki institusi-institusi pendidikan. Sejak simposium tahun 1968 itu, pengajaran kritik dan teori sastra di FSUI sendiri mulai mendapat perhatian serius dengan mencoba merumuskan prinsip dan ukuran yang boleh digunakan di dalam menilai karya sastra. Sejak itu pula, pengajaran kritik sastra di dalamnya mencakupi pembicaraan teori sastra. Secara eksplisit, dasar pijakan kritik sastra Aliran Rawamangun berlandasan pemikiran strukturalisme, seperti dikatakan Hutagalung. Pusat perhatian utama adalah karya itu sendiri (ergosentris). Maksudnya menempatkan karya sastra sebagai objek kajian. Dengan demikian, maka posisi karya sastra tidak lagi digeser oleh aspek eksternal di luar karya sastra tersebut.
Strukturalisme dan Aliran Kritik Baru (New Criticism) jelas berada di belakang pemikiran Aliran Rawamangun. Meski begitu, para pendukungnya tidak menunjukkan kesamaan sikap dalam menempatkan otonomi sastra dalam hubungannya dengan pengarang. Kritik Jassin, cenderung apresiatif dengan tetap menempatkan keberadaan dan latar belakang pengarang sebagai hal yang penting di dalam usaha memahami karya.[56] Hutagalung masih merasa perlu menggunakan ilmu lain (psikologi) untuk menganalisis karya sastra,[57] dan menempatkan pengarang sebagai bagian penting dalam memahami karya sastra.[58] Hal yang sama dilakukan Boen S. Oemarjati[59] dan J.U. Nasution.[60] Sementara Saleh Saad di dalam kuliah-kuliahnya selalu menekankan agar kritikus tidak berhubungan dengan pengarang jika ia hendak memahami sebuah karya. Jadi, di antara para pendukung Aliran Rawamangun, Saleh Saad yang secara tegas menempatkan karya sastra sebagai kenyataan otonom dan menolak menghubungkannya dengan pengarang.[61]
Tak dapat dinafikan pengaruh Aliran Rawamangun dalam pengajaran teori dan kritik sastra di berbagai universitas di Indonesia. Dengan begitu, teori-teori sastra Barat juga terus mengalir ke berbagai institusi pendidikan. Ada beberapa hal yang mendukung kuatnya pengaruh Aliran Rawamangun ini.
Pertama, adanya penataran-penataran sastra yang diselenggarakan atas kerja sama FSUI dan Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa yang pesertanya berasal dari berbagai universitas di Indonesia, telah ikut mempercepat penyebaran pengaruh aliran ini.
Kedua, dimasukkannya mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra di Indonesia, telah mengharuskan semua institusi (Fakultas Sastra di berbagai universitas di Indonesia) menyertakan kuliah kritik sastra. Dalam hal ini, mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu mata kuliah wajib yang berlaku dalam kurikulum nasional.
Ketiga, diterbitkannya sejumlah skripsi (tugas akhir kesarjanaan) ikut pula mendukung dan mengukuhkan pengaruh kritik sastra Aliran Rawamangun.
Keempat, adanya penyeragaman istilah-istilah di bidang sastra, makin meluaskan penyebaran pengaruhnya.[62] Dalam hal itu, sumbangan Aliran Rawamangun, penting artinya dalam merumuskan istilah sendiri, meski dasar pemikirannya dari teori Barat.
***
Kini perkembangan teori sastra di Indonesia seperti menyerap begitu saja teori-teori sastra dari Barat. Sebutlah, semiotik, feminisme dan gender, sampai sastra populer, cultural studies[63] dan New Historicism.[64] Ada dua hal yang diabaikan: Pertama, sejarah perjalanan pemikiran sastra, di dalamnya tentu saja berkaitan dengan persoalan konsepsi dan rumusan teoretis. Kedua, pemikiran yang berkembang dan tercecer di berbagai media massa. Akibatnya, sejak Aliran Rawamangun memperkenalkan Kritik Baru Amerika dan strukturalisme, teori dan kritik sastra Indonesia seperti berjalan tanpa sejarah.
Sementara institusi pendidikan seperti tersihir mengagumi teori sastra Barat, kita sendiri memang tak dapat mengabaikan keberadaan dan kontribusinya. Meski begitu, membutatulikan diri pada usaha-usaha yang telah dicoba oleh para pemikir kita, juga tidaklah elok. Oleh karena itu, sambil kita mempelajari segala teori sastra dari Barat itu, seyogianya kita juga membuka sejarah dan pemikiran yang tercatat dalam berbagai media massa. Siapa tahu, dari tumpukan sejarah dan ceceran lembaran majalah dan surat kabar, kita menemukan teori sastra yang khas milik bangsa sendiri, seperti yang ditunjukkan Hoesein Djajadiningrat, Amir Hamzah, dan Intojo mengenai pantun.
Dengan demikian, pengenalan teori dan kritik sastra Barat itu, sekadar alat yang boleh digunakan dalam mengenalisis karya-karya sastra Indonesia. Jika tidak cocok, tentu saja kita boleh menggunakan teori lain yang lebih tepat, atau kita cobakan teori yang kita rumuskan sendiri. Paling tidak, usaha-usaha ke arah itu memang sudah pernah dilakukan.
Demikianlah gambaran umum perjalanan sejarah teori dan kritik sastra Indonesia.
Mkl/teori-sastra/msm/28/11/02
[Makalah Persidangan Teori dan Pemikiran Melayu, “Menjana Tamadun Melayu” diselenggarakan Dewan Bahasa dan Pustaka Wilayah Selatan Johor Bahru bekerja sama dengan Institut Pendidikan Nasional Universiti Nanyang Singapura dan Dinas Pendidikan Tanjung Balai Karimun, Riau, 12—14 Desember 2002].
***
CATATAN KAKI:
[1] Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1955, hlm. 27), menyebutnya dengantheory of literature sesuai judul bukunya. Istilah literary theory digunakan juga Rene Wellek dalam “Literary Theory, Criticism, and History,” Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967), hlm. 1—20. Boleh jadi istilah ini digunakan untuk memberi tekanan yang sama penting pada tiga bidang ilmu sastra, yaitu teori sastra (literary theory), sejarah sastra (literary history), dan kritik sastra (literary criticism). Dalam istilah yang berbeda, M.H. Abrams (A Glossary of Literary Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981, hlm. 35) menyebutnya dengan theoretical criticism untuk membedakannya dengan criticism. Istilah yang juga digunakan C. Hugh Holman & William Harmon (A Handbook to Literature, New York: Macmillan Publishing Company, 1980, hlm. 502).
[2] Dalam diskusi dan kuliah kritik sastra, misalnya, buku Ann Jefferson & David Robey (Ed.), Modern Literary Theory, (London: Batsford, 1982), dan Terry Eagleton, Literary Theory, (Oxford: Basil Blackwell, 1983), menjadi buku wajib, berdampingan dengan buku Paul Hernadi,What is Criticism (Bloomington: Indiana University Press, 1981), buku David Lodge (Ed.), 20th Century Literary Criticism (London: Longman, 1985), dan buku Rene Wellek, Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967). Dalam hal ini, pengertian kritik sastra di dalamnya mencakupi juga teori sastra.
[3] Wilfred L Guerin, et al (A Handbook of Critical Approaches to Literature, New York: Harper & Row Publishers Inc., 1979), misalnya, menguraikan sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian sastra. Di dalamnya disebutkan adanya pendekatan formalistik, psikologi, sosiologi, strutktural, dan feminisme. Jadi, kritik sastra digunakan sebagai alat (pendekatan) untuk melakukan penelitian sastra.
[4] Teori kritik sastra adalah istilah yang digunakan Rachmat Djoko Pradopo untuk menyebut kritik sastra teoretis (theoretical criticism), sekaligus untuk membedakannya dengan kritik praktik (practical criticism) atau kritik terapan (applied criticism).
[5] Subagio Sastrawardoyo, “Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri,” Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 53.
[6] Umar Junus, “Teori Sastra dan Kreativitas Sastra,” Mitos dan Komunikasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1981) hlm. 8—9.
[7] Istilah ilmu sastra mula diperkenalkan A. Teeuw dalam ceramah-ceramahnya mengenai berbagai penelitian sastra –termasuk teori sastra— di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada dan pada penataran di Tugu tahun 1977. Sebelum itu bidang ini masih sering disebut penelitian sastra atau studi sastra sebagaimana yang digunakan William Henry Hudson (An Introduction to the Study of Literature, London: George G. Harrap, 1922) atau teori sastra jika mengacu pada buku Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature, New York: Harcourt, Brace and Company, 1955). Dengan mengambil model penelitian bahasa yang disebut ilmu bahasa atau penelitian terhadap aspek kesenian atau ilmu seni dan estetika, maka bidang yang membicarakan teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra dalam kerangka kegiatan ilmiah dikatakanlah sebagai ilmu sastra. Tulisan-tulisan A. Teeuw itu disusun kembali lebih komprehensif yang kemudian diberi tajuk, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
Meskipun demikian, jauh sebelum itu, Amir Hamzah dalam artikelnya, “Kesoesasteraan” (Poedjangga Baroe, No. 12, Djoeni 1934, hlm. 363, dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 21) memakai istilah “ilmu sastra” dalam konteks kekayaan khazanah kesusastraan Indonesia. Sementara Sutan Takdir Alisjahbana dalam artikel “Kesoesasteraan di Zaman Pembangoenan Bangsa,” (Poedjangga Baroe, Nomor Peringatan Poedjangga Baroe 1933—1938, hlm. 43—60, dimuat juga dalam Sutan Takdir Alisjahbana,Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 49—67) menyebut kesusastraan sebagai cabang seni, dan ilmu kesusastraan telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang seni puisi. Jadi, istilah “ilmu sastra” atau “ilmu kesusastraan” menurut Sutan Takdir Alisjahbana, telah muncul sejak zaman Pujangga Baru, meskipun pada masa itu, belum ada kejelasan wilayah cakupan serta rumusan atau definisi mengenai beberapa konsep dan istilah di dalam kesusastraan.
[8] Rene Wellek dan Austin Warren, Theory of Literature (New York: Harcourt, Brace and Company, 1955), hlm. 27. Lihat juga, Rene Wellek, “Literary Theory, Criticism, and History,” Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press, 1967), hlm. 1—20.
[9] Ibid.
[10] D.W. Fokkema & Elrud Kunne-Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh, terj. J. Praptadiharja & Kepler Silaban (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm. 12.
[11] Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
[12] Subagio Sastrowardoyo, “Keterlambatan Kita dalam Teori Sastra,” Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 44.
[13] Ibid., hlm. 45.
[14] Dalam Nomor Peringatan Poedjangga Baroe 1933—1938 yang antara lain memuat artikel Soetan Sjahrir, “Kesoesasteraan dan Ra’jat,” Soewandhie, “Masjarakat dan Bahasa,” Sutan Takdir Alisjahbana, “Kesoesasteraan di Zaman Pembangoenan Bangsa,” dan M. Amir, “Djiwa Poedjangga,” tampak jelas bahwa mereka juga tidak dapat menghindar dari pengaruh Barat. Beberapa konsep dan definisi mengenai sastra, puisi, prosa, pujangga, mereka kutip dari sumber-sumber Barat, termasuk dari karya William Henry Hudson, An Introduction to the Study of Literature, London: George G. Harrap, 1922.
[15] Kritik sastra di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak awal tahun 1932 ketika majalah Pandji Poestaka menyelenggarakan sebuah rubrik yang bertajuk “Memadjoekan Kesoesasteraan”. Sutan Takdir Alisjahbana tercatat sebagai salah seorang redaksinya. Dalam rubrik itu, Alisjahbana mengulas puisi-puisi yang dikirim ke majalah itu. Di samping itu, ia juga sering kali menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya para sastrawan untuk mengungkapkan gagasannya secara bebas, tanpa harus terikat oleh bentuk-bentuk kesusastraan lama. Dalam Pandji Poestaka edisi 5 Juli 1932, Th. X, misalnya, dimuat sebuah artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel inilah yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam perjalanannya, selepas Alisjahbana keluar dari majalah Pandji Poestaka dan bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane menumbuhkan majalahPoedjangga Baroe, tulisan-tulisan yang bersifat kritik dan teori sastra, makin ramai bermunculan dalam majalah itu.
[16] Buku A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1980), misalnya, sama sekali tidak menyinggung karya-karya sastra yang disiarkan majalah atau surat kabar. Akibatnya, banyak nama sastrawan Indonesia yang luput dari pengamatannya dan tak tercatat dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia.
[17] Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Bina Cipta, 1976), juga melakukan hal yang sama, yaitu tidak menyinggung khazanah karya sastra dalam majalah atau suratkabar. Dalam hal ini, baik Teeuw maupun Ajip Rosidi mengandalkan objek penelitiannya berdasarkan karya-karya yang telah diterbitkan sebagai buku.
[18] Berdasarkan media dan cara pengungkapannya, kritik sastra dapat dibagi ke dalam dua jenis kritik yaitu (1) kritik akademi atau kritik ilmiah dan (2) kritik sastra umum. Kritik akademi secara ketat menggunakan metodologi dan kerangka teori tertentu, sebagaimana yang disyaratkan dalam penulisan skripsi atau karya ilmiah dan karya kesarjanaan lainnya, sedang kritik umum yang memanfaatkan media massa (surat kabar dan majalah) sebagai wadahnya lebih menekankan pada aspek informasinya yang ditujukan kepada khalayak pembaca yang lebih luas. Dalam kritik sastra umum, kadangkala konsep dan istilah-istilah teknis, terpaksa harus disederhanakan, agar dapat dipahami masyarakat umum.
[19] Kritik sastra aliran Rawamangun adalah kritik sastra yang menekankan segi ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok peneliti sastra ini sangat dipengaruhi oleh strukturalisme dan Kritik Baru Amerika (New Criticism). Para pendukung aliran ini diwakili oleh J.U. Nasution, S. Effendi, M. Saleh Saad, H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, dan Lukman Ali. Yang dimaksud kelompok peneliti sastra ini adalah dosen-dosen FSUI dan peneliti di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Karena gedung kampus FSUI waktu itu letaknya bersebelahan dengan gedung Pusat Bahasa di kawasan Rawamangun, Hutagalung kemudian menyebutnya sebagai “Aliran Rawamangun”.
[20] Dimuat kembali dalam Sutan Takdir Alisjahbana, Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 16—48.
[21] Ejaan dalam kutipan ini disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Tampak di sini, Alisjahbana mencoba mendefinisikan konsep puisi. Menurut definisi sastra secara umum, rumusan Alisjahbana itu dapat dimaknai sebagai “gagasan yang lahir berdasarkan pengalaman –langsung atau tidak—ditambah imajinasi yang kemudian diungkapkan dengan bahasa sebagai medianya. Jadi, yang dimaksud perkataan menurut Alisjahbana, dapat dimaknai sebagai “bahasa sebagai medianya.”
[22] Sutan Takdir Alisjahbana, “Puisi Baru dan Lama,” Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 36. Dalam artikelnya yang berjudul “Puisi Baru sebagai Pancaran Masyarakat Baru,” yang dijadikan semacam pendahuluan buku Puisi Baru Jakarta: Dian Rakyat, 1975; Cet. 1: 1946), Alisjahbana mengemukakan, bahwa terjadinya pertemuan antara bangsa Indonesia dengan bangsa Eropa, telah membawa perubahan besar dalam cara pandang dan sikap masyarakat, termasuk cara pengungkapan dalam puisi. Itulah salah satu ciri yang kemudian membedakan puisi lama dan puisi baru.
[23] Sutan Takdir Alisjahbana, “Puisi Lama dan Puisi Baru,” Poedjangga Baroe, Djoeli—Agoestoes 1940. Dimuat juga dalam Perjuangan Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 79—82.
[24] Beberapa artikel Sutan Takdir Alisjahbana berikut ini memperlihatkan betapa sesungguhnya Alisjahbana telah berusaha membuat semacam teori sastra, khasnya yang berkaitan dengan ciri-ciri dan kriteria kesusastraan baru. Adapun artikel-artikel yang dimaksud adalah sebagai berikut: “Menoedjoe Seni Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 1, Th. I, Djoeli 1933), “Tidak ada jang dinanti,” (Poedjangga Baroe, No. 3, Th. I, September 1933), “Menghadapi Keboedajaan Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 12, Th. I, Djoeni 1934), “Poeisi Indonesia Zaman Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 3, 4, 5, 6, 7, dan 9, Th. II, September, Oktober, November, Desember 1934, Januari dan Maret 1935, No. 1, Th. III, Djoeli 1935, No. 9 dan 10, Th. III, Djanoeari dan Febroeari 1936, No. 3—4, Th. IV, September—Oktober 1936, No. 10, April 1937).
[25] Dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 1, 2, 3, 4, 5, Th. I, Djoeli—November 1933.
[26] Ibid., hlm. 9—10.
[27] Ibid.
[28] Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 109—110.
[29] Yang dimaksud Armijn Pane dengan “memindjam dari bangsa asing” adalah bentuk soneta yang digunakan Muhammad Yamin dan beberapa penyair lainnya waktu itu.
[30] Dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 6, Th. I, November 1933, No. 8 dan 9, Th. I, Pebroeari—Maret 1934.
[31] Ibid., hlm. 197.
[32] Belakangan, ciri-ciri pantun dinyatakan terdiri dari empat baris (larik) yang terbagi dalam dua bagian, yaitu dua larik pertama berupa sampiran, dan dua larik terakhir berupa isi, yang menurut Hoesein Djajadiningrat menyampaikan isi suatu klanksuggestie (citraan bunyi).
[33] Dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 49—59.
[34] Intojo, “Pantun,” Indonesia, No. 4 dan No. 7, Th. III, April dan Djuli 1952.
[35] Ibid., hlm. 55.
[36] Sanusi Pane, “Menghadapi Kolotisme,” Poedjangga Baroe, No. 3, Th. I, September 1933. Artikel ini lebih menegaskan lagi dukungan sejumlah intelektual Indonesia waktu itu atas penerbitan majalah Poedjangga Baru sebagai salah satu sarana ekspresi bagi pujangga (sastrawan) baru.
[37] Soewandhi (“Mentjari Bentoek Baroe,” Poedjangga Baroe, No. 10, Th. I, April 1934) mengungkapkan terjadinya perubahan berkesenian di Barat saat itu, juga terjadi di Indonesia. Menurutnya, semangat yang melatarbelakangi Poejangga Baroe adalah semangat romantik angkatan 80-an Belanda.
[38] Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe,” Poedjangga Baroe, No. 1, 2, 3, 4, 5, Th. I, Djoeli—November 1933.
[39] Amir Hamzah, “Kesoesasteraan,” Poedjangga Baroe, No. 12, Th. I, Djoeni 1934, No. 2, 3, 4, 5, 6, 7, Th. II, Agoestoes, September, Oktober, November, Desember 1934, Djanuari 1935. Dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 21). Meski Amir Hamzah membicarakan kesusastraan Indonesia dalam kerangka masuknya pengaruh kesusastraan Timur ke Indonesia, paling tidak, Amir Hamzah hendak menegaskan bahwa kesusastraan Indonesia tak dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh kesusastraan India dan kesusastraan Timur lainnya.
[40] Selain artikel-artikel yang telah disebutkan dalam catatan kaki 24, Alisjahbana secara khusus mencoba membuat semacam kajian estetik puisi-puisi yang muncul pada zaman itu. Meski sesungguhnya yang dimaksud puisi Indonesia zaman baru lebih merupakan harapan dan cita-cita Alisjahbana sendiri yang begitu menggelora, dalam artikel “Poeisi Indonesia Zaman Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 3, 4, 5, 6, 7, 9, Th. II, 1934, No. 1, Th. III, Djoeni 1935) –beberapa di antaranya pernah dimuat dalam Pandji Poestaka—Alisjahbana mencoba melihat kecenderungan puisi pada masa itu.
[41] Ibid., hlm. 79.
[42] Masalah seni untuk masyarakat dan seni untuk seni itulah yang kemudian melahirkan polemik antara Alisjahbana dan Sanusi Pane. Belakangan, masalah ini muncul kembali pada tahun 1960-an ketika Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat—Partai Komunis Indonesia) menganjurkan seni untuk rakyat dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan menolak pendirian itu dan menganjurkan paham seni untuk seni.
[43] Maman S. Mahayana, “Sikap Pemerintah Jepang di Bidang Sastra dan Budaya (1942—1945): Studi Kasus Harian Asia Raja” Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Depok: FSUI, 1994.
[44] Periksa Kata Pengantar dan Bagian Pendahuluan buku H.B. Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang (Djakarta: Balai Pustaka, 1948) dan Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948). Dalam Kata Pengantar dan Bagian Pendahuluan kedua buku itu, Jassin mengupas secara mendalam kecenderungan estetik kesusastraan Indonesia pada zaman Jepang dan awal kemerdekaan. Di samping itu, Jassin juga melihat perkembangan kesusastraan Indonesia masa itu dengan membandingkannya dengan kesusastraan zaman Pujangga Baru.
[45] Dalam Mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang dikatakan bahwa “Generasi Gelanggang” lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Generasi ini hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk dan berani menantang pandangan, sifat dan anasir lama ini untuk menyatakan kekuatan baru. Lihat H.B. Jassin, “Pendahuluan” Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948), hlm. 12.
[46] Penamaan Angkatan 45 pertama kali dilansir Rosihan Anwar dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949, sedangkan menurut Sitor Situmorang, nama Angkatan 45 justru datang dari Chairil Anwar. Lihat Maman S. Mahayana, Akar Melayu (Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 184—185.
[47] H.B. Jassin, Angkatan 45 (Djakarta: Balai Pustaka, 1951), hlm. 6.
[48] Majalah Indonesia pertama kali terbit Januari 1950. Majalah yang terbit bulanan ini banyak memuat artikel yang membicarakan konsep sastra dengan berbagai isu aktual mengenai kesusastraan.
[49] Pembicaraan agak lengkap mengenai polemik terhadap sejumlah konsep kesusastraan dalam kaitannya dengan ideologi sastrawan dalam kesusastraan Indonesia tahun 1950-an, periksa Maman S. Mahayana, Akar Melayu, khususnya dalam pembicaraan Bab 4 “Konflik-konflik Ideologis” (Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 181—239.
[50] Dalam tahun 1960–1965, kegiatan politik di Indonesia sudah sangat mengganggu berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Slogan “Politik adalah Panglima” telah menempatkan kegiatan politik lebih penting daripada kegiatan apapun juga. Akibatnya, lapangan kehidupan yang lain, seperti ekonomi dan kebudayaan, termasuk di dalamnya kesusastraan, mengalami kekacauan.
[51] Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah sebuah badan atau organisasi kebudayaan, khasnya kesenian yang berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam lapangan kesusastraan, Lekra menganjurkan faham realisme sosialis. Menurut fahaman ini, kesusastraan harus berpihak kepada rakyat. Oleh karena itu, Lekra menganut fahaman seni untuk rakyat dan menentang fahaman seni untuk seni. Penelitian Yahaya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan Lekra di Indonesia (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1972) mengungkapkan secara lengkap mengenai masalah ini.
[52] Puncak kekacauan itu terjadi ketika Presiden Soekarno, pada tanggal 8 Mei 1964 melarang Manifes Kebudayaan; sebuah pernyataan sikap seniman dan budayawan Indonesia yang menentang keterlibatan politik dalam lapangan kebudayaan dan kesenian. Mengenai pertentangan para pendukung Manifes Kebudayaan dan golongan sastrawan Lekra, selain penelitian Yahaya Ismail, lihat juga D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya (Bandung: Mizan, 1995). Periksa juga Maman S. Mahayana, Akar Melayu (Magelang: Indonesiatera, 2001), hlm. 181–223.
[53] Lukman Ali (Ed.), Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978), hlm. ix.
[54] Kelompok sastrawan diwakili Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Salim Said, dan beberapa sastrawan dari Dewan Kesenian Jakarta. Kelompok peneliti sastra diwakili J.U. Nasution, S. Efendi, Saleh Saad, Jassin, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, dan Lukman Ali. Hutagalung, Op. Cit., hlm. 16–18.
[55] Metode Kritik Ganzheit adalah sebuah metode kritik (seni) yang diajukan Arief Budiman. Menurutnya, Metode Kritik Ganzheit merupakan suatu proses partisipasi aktif dari sang kritisi terhadap karya seni yang dihadapinya. Dalam hal ini, hubungan atara kritikus dengan karya seni melahirkan pertemuan dialogis. Berdasarkan pengalaman estetik terhadap karya seni, kritkus mengungkapkan pengalamannya itu. Lahirlah sebuah kritik seni. Lebih lanjut, lihat Arief Budiman, “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni” (Horison, April 1968).
[56] Periksa H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I–IV (Jakarta: Gunung Agung, 1955, 1962, 1967.
[57] M.S. Hutagalung, Jalan tak ada Ujung: Mochtar Lubis (Jakarta: Gunung Agung: 1963).
[58] M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani (Jakarta: Gunung Agung: 1967).
[59] Boen S. Oemarjati, Roman Atheis Achdiat Karta Mihardja: Suatu Pembicaraan (Jakarta: Gunung Agung, 1962).
[60] J.U. Nasution, Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek (Jakarta: Gunung Agung, 1963).
[61] Belakangan diketahui, Saleh Saad sangat mendukung gagasan Roland Barthes mengenai kematian pengarang (“The Death of the Author,” Roland Barthes, Image-Music-Text. London: Routledge, 1977). Mengingat mata kuliah kritik sastra diselenggarakan M. Saleh Saad, maka sejak awal tahun 1970-an sampai awal tahun 1980, pengaruhnya masih sangat kuat bagi mahasiswa peserta mata kuliah ini.
[62] Beberapa istilah yang berhasil dibakukan, di antaranya, istilah Plot menjadi alur, setting menjadi latar, character menjadi tokoh, narrator menjadi pencerita, dll. Buku Panuti Sudjiman (Ed.), Kamus Istilah Sastra (Jakarta: Gramedia, 1986), merupakan contoh salah satu usaha penyeragaman istilah sastra itu.
[63] Memasukkan kajian budaya (cultural studies) dalam pengajaran kritik sastra didasarkan pada pertimbangan pentingnya peranan kritik sastra dalam menganalisis karya sastra dan mengkaitkannya dengan persoalan budaya. Dalam hal ini, karya sastra diperlakukan sebagai salah satu produk budaya. Mengenai materi ini, yang menjadi buku pegangan adalah antologi artikel yang dihimpun John Storey (Ed),Cultural Theory and Popular Culture (New York: Harvester Wheatsheap, 1994) dan karya Tony Bennet, Popular Fiction: Technology, Ideology, Production, Reading (London: Routledge, 1990).
[64] New Historicism adalah sebuah gerakan kesadaran sejarah baru yang muncul sebagai reaksi atas pengaruh New Criticism. Di dalam kritik sastra, New Historicism mencoba memanfaatkan berbagai macam aliran, mazhab, dan teori. Yang menonjol dari aliran ini adalah usahanya untuk memanfaatkan berbagai disiplin ilmu lain (interdisipliner). Dalam pandangan aliran ini, Kritik Baru dianggap telah mengisolasi karya sastra dari segala macam unsur di luar sastra. Mengenai hal ini, lihat H. Aram Veeser (Ed.), The New Historicism (New York: Routledge, 1989).
***
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
Perumusan misi dan visi sastra Indonesia memerlukan pra-pemahaman yang komprehensif mengenai lingkaran budaya sastrawan, penerbit, dan media massa sebagai lembaga yang melakukan reproduksi karya sastra, pelajaran sastra di sekolah sebagai ujung tombak pembudayaan apresiasi sastra, dan kritik sastra sebagai salah satu sarana penyehatan dan dinamisator kehidupan kesusastraan Indonesia. Perjalanan bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan sesungguhnya telah mempunyai sejarah yang panjang. Terjadi tarik-menarik antara bahasa Melayu dan Bahasa Belanda. Sistem politik kolonial Belanda telah menempatkan bahasa Melayu dalam dunia pendidikan sebagai pengantar yang tidak penting, tetapi golongan terpelajar Indonesia mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia.