Agus Sulton
Radar Mojokerto, 1 Nov 2009
Apa itu sastra buruh? Istilah ini adalah suatu yang baru?belum satupun para ahli yang mendefinisikan pengertian sastra buruh itu sendiri. Mungkin sastra buruh adalah sastra yang ditulis dari kalangan buruh (kasar) atau aktivis gerakan buruh atas dasar resisitensi atau semacam propaganda. Walaupun dalam konteksnya?sastra buruh sudah lama ada, namun perkembangannya kurang begitu meluas. Bisa juga karena pengaruh, sastra buruh lebih ditekankan dari latar belakang buruh. Meski begitu, beberapa waktu lalu Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Tanggerang pernah mengguncang sastra Indonesia, sebagai pusat dari bendera sastra buruh, dan Wowok Hesti Prabowo dinobatkan sebagai presiden penyair buruh dengan roda-roda puisi badayanstitut Tanggerang, budaya buruh Tanggerang, dan teater buruh Tanggerang?yang sengaja dibentuk.
Tidak dapat ditelisik kapan kronologis munculnya sastra buruh, tapi bisa dipastikan karya-karya mereka patutu diacungi jempol. Seperti dalam buku yang sempat dihasilkan oleh para buruh Indonesia: Aku Ingin Menjadi Peluru, Mencari Tanah Lapang (Wiji Tukul), Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati), Nyanyian Imigran (Lik Kismawati, dkk), Majikanku Empu Sendok (Denok K. Rokhmatika), Perempuan Negeri Beton (Wina Karnie), Hongkong Namaku Peri Cinta (Wina Karnie dan FLP Hongkong), Peri Naga Kecil (Tarini Sorrita). Dan banyak lagi jajaran penulis dari kalangan buruh atau sama sekali tidak menjadi buruh, tetapi karya yang dihasilkan mencerminkan semangat perjuangan buruh.
Kepedulian terhadap nasib kaum buruh merupakan spirit tersendiri dari non-buruh untuk memainkan ironi, paradoks, dan parodi ke dalam karyanya. Dalam hal ini, karya sastra adalah karya seni yang berbicara tentang masalah hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1980). Secara implisit, sastra sebagai tonggak perjuangan kaum buruh secara tidak langsung. Efektivitasnya bisa dirasakan?paling tidak mampu mengendor-ngendor sisi kemanusiaan. Tidak sebagaimana dalam dunia politik, dimana ada partai yang mengatasnamakan buruh tapi herannya, nasib buruh tetap berbanding terbalik dengan nasib mujur politisi yang jadi legislator. Sebagaimana biasa, kebanyakan politisi macam ini tidak pernah sama sekalai merasakan getir-pahitnya menjadi seorang buruh. Ah !!!
Sastra dari kalangan buruh kebanyakan menggambarkan sisi kemanusiaan atau tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai problem fundamental. Begitu juga, banyak mengorek sisi eksistensi negara, sistem hukum dan implementasinya. Ketika pembahasan memasuki lingkup implementasi ini, maka kontruksi negara ini yang disebut sebagai negara hukum, juga ikut dipersoalkan. Negara hukum ikut dipertanyakan eksistensinya, misalnya ketika suatu negara berpayung hukum, ternyata lebih warga bangsanya mempertontonkan perilaku yang berlawanan dengan hukum dan hak dasar manusia..tuh kan !!!!
***
Sastra buruh bukan hanya mengungkap perasaan dan kegelisahan buruh itu sendiri, tetapi kegelisahan banyak warga negeri ini yang terjepit. Seperti dalam kumpulan sajak JJ. Kusni (yang monumental) ?Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan?, meskipun bukan dari latar belakang buruh, tapi cendekiawan ini selalu gelisah terhadap hal-ihwal yang terjadi di dalam kehidupan manusia, terutama terhadap kehidupan kaum ekonomi lemah, segsara, dan tertindas. Terlebih, penindasan itu dilakukan oleh penguasa yang tahtanya di atas telaga keringat dan darah rakyat.
Dalam kumpulan sajak JJ. Kusni, banyak mengangkat sisi anti-kebiadaban disatu pihak, sedangkan dipihak lain?mendambakan kebenaran, kebebasan, keadilan, dan kehidupan manusia yang manusiawi.
Hal lain yang bisa diungkap dari sastra buruh adalah estetika sastra yang diusung sangat berbeda dengan perkembangan dan menjadi arus utama perkembangan sastra Indonesia. Hanya beberapa media surat kabar yang memberikan ruang untuk keberagaman estetik, dengan resiko akan dinilai tidak mencerminkan wajah sastra Indonesia yang sesungguhnya.
Seperti apa yang dikatakan Mustofa Ismail dalam ?Estetika Sastra Buruh? (Seputar Indonesia. Minggu, 20 Juli 2008) bahwa, kondisi yang semacam itu memperlihatkan betapa politik sastra masih begitu kuat mewarnai perjalanan sastra. Sebuah ?aliran? mainstream menghegomoni aliran sastra yang tumbuh disekitarnya yang mencoba mencari cara ucap lain. Puisi-pun jelas menjadi suatu wajah, satu warna, satu arus estetika. Arus estetika lainnya tidak berkesempatan tumbuh karena para ?elit? sastra cenderung memaksakan arus estetika yang dianutnya. Ini sebuah ironi !!!.
Walaupun sudah menjadi dasar bentuk perwujudan yang berbeda, tapi selayaknya tidak dijadikan suatu permasalahan. Karena sastra yang dikobarkan mereka adalah sastra sebagai alat perjuangan, sastra untuk menuntut ketidakadilan dan penindasan pada wong cilik (kaum kromo) oleh pihak kapitalis. Seperti apa yang dilakukan Buruh Migran Hongkong; Etik Juwita (penerima anugrah Pena Kencana 2008 dengan cerpennya ?Bukan Yem?), Mega Vriastian (pernah meraih ESSO Wanni Aword) untuk sebuah puisinya ditahun 2005, Kristina DS. (artikelnya banyak dimuat di surat kabar Hong Kong).
Meskipun sastra buruh migran Indonesia sempat mendapat perlakuan tidak mengenakkan dengan sebutan ?sastra babu?, namun tidak menyurutkan langkah mereka untuk tetap menulis ide-ide cemerlang yang mereka miliki, dengan berprinsip; pengkotak-kotakkan status sastra bagi Buruh Migran Indonesia tidak berpengaruh. Menulis tetap menulis, entah dapat perlakuan sebagai sastra babu atau sastra kiri. Akan tetapi, sastra yang mereka suarakan adalah memiliki visi dan misi yang jelas, yaitu dapat mencerahkan pola pikir pembacanya tanpa harus mengurangi maksud (nilai) atau memetik hikmahnya.
Yang mereka dongengkan dalam sajak-sajak dan cerpen bukanlah budaya marxis. Kalau orang politik-kiri berhasil menipu dan mengendalikan buruh (pekerja kasar) dan akhirnya memasang untuk menarik gerobak?akan disulap menjadi manifesto raksasa?monumen-monumen yang jelek (ala Soekarno) dan bangunan berarsitek soviet, berisi ratusan gerakan buruh, pemuda, waria, dan pelacur. Hanya sang buruh yang tahu perjuangan itu semua, bukan berpihak pada juragan kapitalis dan bukan menjadi budak kaum marxis, tetapi mereka menuntut hak-hak dasar yang dimiliki sebagai kaum buruh. Dan pendidikan untuk kaum buruh bisa diperoleh diantaranya melalui karya sastra; puisi, cerpen, dan dongen yang lainnya.
Banyak kekerasan atau diskriminasi yang diterima kaum buruh, sehingga dari organisasi buruh sendiri lebih cepat untuk berfikir ulang?menentang tipu muslihat yang dimainkan oleh pelopor-pelopor tua. Bukan bermaksud untuk eigenricthing (menghakimi sendiri) dan merusak budaya dasar Indonesia; budi luhur, ramah-tamah, sopan-santun, dan akhirnya menjadi masyarakat yang homo homini lupus (keras dan brutal). Lebih dalam lagi?hak asasi manusia-lah yang mereka suarakan.
Sastra buruh adalah sastra perjuangan, tetapi bukan bermaksud untuk membawa profesi pada karya yang diciptakannya?adalah tindakan yang berbau ?rasis?. Rasisme dalam konteks ini mengandalkan kelompok tertentu (kaum buruh) dan menganggap remeh karya bukan dari latar belakang jalan pikiran buruh.
Sastra buruh adalah sastra murni nyastra?atas dasar perjuangan, bukan karya picek yang tidak mau serius mendalami karya sastra buruh. Bukan juga karya yang mati estetika, struktur harmoni, atau ritme. Jakob Sumardjo dalam buku Filsafat Seni (2000) menjelaskan, penghayatan seni terbagi dalam dua bagian; (1) Philistin, maksudnya sebuah karya atau seni yang lebih menekankan pada unsur pemujaan isi, (2) Formalis, di sini sebuah karya sastra lebih ditekankan pada unsur estetik atau keindahan. Dari kedua bentuk tersebut, orang dari sastra buruh bukan termasuk di antara kedua itu, walaupun ada juga pengikut philistin.
Tetapi menurut banyak data yang penulis dapatkan, sastra buruh jelas philistin, tetapi bentuk formalis juga ditekankan?lihat saja pada karya Wiji Tukul, Dingul Rilesta, Husnul Khuluqi, dan Mahdiduri.
Seni-sastra memang saatnya untuk didekatkan pada siapapun, termasuk kalangan yang selama ini dalam kondisi termarjinalkan, yaitu buruh (kasar/kontrak) sebagai mata rantai tertindas dari hubungan produksi kapitalis, dan memperindah ?iman? perjuangan kaum buruh itu sendiri. Sebagaimana seni-sastra kapitalis selalu memperkuat ideologi dan tatanan material kapitalis, maka seni-sastra buruh juga niscaya mengekspresikan kepedinan nasib buruh dan menguatkan perjuangannya menuntut keadilan.
Kecenderungan manusia untuk mengekspresikan diri dalam sebuah karya sastra bersifat universal selama ada kondisi yang memungkinkan untuk berkarya. Entah, genre baru atau bukan, karena bisa dipastikan sastra buruh itu muncul dari kalangan buruh tulen?dalam kondisi kungkungan atau ketidakpuasan pada karya-karya yang ada. Sehingga karya-karya mereka meledak atas dasar kondisi diri dan sosialnya, tetapi bukan bermaksud sastra dikaitkan dengan profesi. Betapa runyamnya kalau akhirnya sastra dikaitkan dengan suatu profesi atau golongan: ada sastra buruh, sastra becak, sastra pengusaha, sastra wartawan, dan sebagainya.
Jadi, sastra adalah sastra, tidak boleh dilacurkan terlalu kering pada determinasi-determinasi profesi. Mereka boleh dari kalangan buruh, dan isi karyanya banyak mendeskripsikan nasib terpuruk buruh (protes), tetapi tidak bermaksud rasisme atau mengencangkan istilah sastra buruh. Tidak lain hanyalah ekspresi buruh dan perjuangan atas hak-haknya (protes-aspirasi), dengan meminjam karya sastra sebagai mediumnya.
*) Tinggal dan berkarya di Jombang. Email: soeketboe@yahoo.com