Para buruh pabrik geram melihat maraknya sastra erotis
Reiny Dwinanda
http://www.infoanda.com/Republika
Tinggal di kota besar, apalagi di ibukota, waktu seperti berjalan lebih cepat dari yang sebenarnya. Dihadapkan pada aktivitas rutin yang menyita waktu, warga kota pun hanya punya sedikit kesempatan untuk dirinya sendiri. Sempatkah mereka berkesenian, atau membaca karya sastra?
Kesenian boleh jadi menduduki nomor urut kesekian pada agenda harian masyarakat kota. Meski begitu, bukan berarti mereka tak dapat mengapresiasi seni dan sastra. Dengan ‘rayuan’ yang pas, warga kota rela menyediakan waktunya untuk mengapresiasi seni dan sastra.
Sedikit banyak, fenomena itulah yang terjadi di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Alia Swastika memotret gambarannya di Yogya. Dia adalah pemerhati studi kultural sekaligus penggerak Rumah Seni Cemeti.
Alia melihat ide kesenian yang coba ditampilkan seniman tak berhasil dibaca jelas oleh masyarakat. Cap elitis menempel erat pada profesi seniman. Kondisi itu diperparah oleh ketidakbiasaan masyarakat melihat seni selain lukis dan patung.
”Sementara, yang Rumah Seni Cemeti tampilkan adalah seni rupa kontemporer berupa grafis, drawing di atas kertas, serta seni instalasi,” kata Alia.
Rumah Seni Cemeti tak membiarkan kondisi itu berkepanjangan. Kampanye yang menyentuh langsung masyarakat lantas digelar silih berganti. ”Dari kampanye ini, pasar seni rupa kontemporer akhirnya terbentuk,” kata Alia, pemakalah pada Konferensi Internasional HISKI dengan tema Sastra dalam Konteks Perkotaan: Industrialisasi dan Urbanisme, yang digelar di FIB UI, Depok, 8-10 Agustus 2007.
Pelibatan warga suburban Bantul, Yogyakarta, dalam proses produksi karya seni rupa merupakan bagian dari kampanye Rumah Seni Cemeti. Dari situ, masyarakat kemudian mendapat pencerahan tentang seni rupa kontemporer. ”Diajak terlibat dalam penciptaan seni instalasi dari bambu, warga Bantul mendapatkan pemaknaan baru dan teknik baru dalam mengolah bambu,” kata Alia.
Seniman Rumah Seni Cemeti juga berhasil menggandeng masyarakat untuk mendesain sebuah area taman main anak di Bantul. Program ini berjalan bukan tanpa kendala. Persoalan persepsi taman main mencuat. Orang-orang tua menginginkan anaknya bisa bermain di taman seperti dirinya dulu.
Namun, dalam pengamatan para seniman, fasilitas taman main seperti itu tidak mendorong anak untuk banyak bergerak dan mengasah kreativitasnya. ”Dengan kekuatan argumentasinya, seniman mampu menyamakan ide dengan warga Bantul untuk menciptakan taman main yang lebih dari sekadar lahan berisikan patung-patung binatang yang bisa ditunggangi,” kata Alia.
Sastra juga merupakan bagian ranah seni yang cukup berhasil menjaring minat warga kota. Fenomena itu tidak terjadi begitu saja. Dorongan yang kuat dari para sastrawan telah membuat mata masyarakat terbuka dan akhirnya mencintai aktivitas baca dan tulis.
Kesadaran itulah yang menggugah penulis sastra Islami, Helvy Tiana Rosa, beserta relawan Forum Lingkar Pena (FLP), untuk bergerak. Mereka kemudian menularkan kemampuannya menulis kepada masyarakat luas. ”Di tahun 2003 saja anggota kami sudah mencapai 5000 orang. Tujuh ratus di antaranya tercatat sebagai penulis produktif,” kata Helvy, pada forum yang sama.
Selain berhasil menjaring peminat baca dan tulis di kota-kota besar, FLP juga menyapa warga Indonesia yang tinggal di luar negeri. Buruh migran yang rata-rata berprofesi sebagai pembantu rumah tangga di Hongkong dan Arab Saudi cukup banyak yang menemukan keasyikan menulis. Mereka lantas menerbitkan antologi cerpen bersama.
FLP termasuk gerakan fenomenal komunitas sastra. Mereka membuat lingkaran jejaring calon pengarang, penerbit, dan pembaca. ”Karya sastranya ditulis oleh kalangan sendiri, diterbitkan sendiri, dan diserap oleh pasar anggota FLP,” tutur Helvy, mantan pemimpin redaksi majalah Anida.
Selama 10 tahun kehidupan FLP, sudah 600 buku dihasilkan awaknya. Yang belum laik terbit juga banyak. Genrenya tak melulu Islami seperti yang digulirkan Helvy, Asma Nadia, dan Mutmainah — tiga penggagas FLP. ”Ada yang menggarap tema Islam, sekuler, seks yang dituturkan secara metafora, sampai fiksi ilmiah,” Helvy membeberkan.
Kendati beda-beda genre, para awak FLP terekatkan oleh satu kesamaan. Mereka merupakan orang-orang yang menulis untuk pencerahan diri dan masyarakat. ”Seburuk apapun tulisan mereka, tak ada satupun yang memberikan kontribusi pada perusakan moral anak bangsa,” tegas Helvy yang kini menjadi anggota Majelis Sastra Asia Tenggara.
Kalangan pekerja pabrik juga bisa tampil sebagai penyair atau sastrawan yang patut diperhitungkan. Mereka banyak menerbitkan buku dan kini ikut melahirkan Jurnal Sastra Boemipoetra yang menemani Jurnal Kalam dan Majalah Sastra Horison, dan mencoba membangun tradisi sastra yang lebih sopan dengan ikut menggulirkan gerakan anti sastra seksual, yang kini ramai dipolemikkan.
Sejak tahun 1995, komunitas sastra buruh tersebar di pinggir-pinggir kota. Mereka berkibar di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Solo, Kudus, dan kota-kota sentra industri lainnya. ”Kantong-kantong kesenian macam inilah yang justru dapat berperan besar dalam meningkatkan apresiasi sastra di masyarakat,” kata Wowok Hesti Prabowo, penyair buruh.
Di mata Wowok, saat ini Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Komunitas Utan Kayu (KUK) cenderung bergerak mendominasi standar estetik dan ideologi komunitas sastra di Tanah Air. Polah tersebut dianggapnya justru memberangus keberagaman. ”Keberagaman harus dihargai,” katanya.
Bagi buruh, lanjut Wowok, sastra adalah perjuangan, meski tak seefektif pemogokan. Itu pula yang membuat mereka geram melihat munculnya sastra erotis yang cenderung mengeksploitasi seks bebas dan tubuh perempuan. ”Ketika itu ditulis, disebarkan, dan dipuji sebagai yang bagus dan moderen, berati sudah menjadi ideologi. Itu berbahaya,” tegas Wowok.