Ahmad Fatoni *
Pelita.or.id
Sastra sufi atau sastra yang bercorak sufistik mulai mengemuka dalam sejarah sastra Indonesia sejak 1970-an. Hangatnya perbincangan tentang lahirnya sastra jenis ini, kala itu, tidak lepas dari kegigihan salah seorang penggiat dan pembelanya, penyair Abdul Hadi WM, yang pada 1980-an berhasil memopulerkan gaya sastra sufistik melalui berbagai bentuk tulisan.
Menurut Abdul Hadi (1985), beberapa tokoh utama sastra sufistik 1970-an, di antaranya para prosais seperti Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, dan juga para penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain.
Mereka ini selain menciptakan karya-karya dengan ciri-ciri sufistik, juga memelajari ajaran-ajaran tasawuf dan kesusastraannya secara serius serta getol menerjemahkan karya-karya para penyair sufi. Kecenderungan sufistik para sastrawan 1970-an kemudian berlanjut hingga 1980-an pada penyair-penyair seperti D Zawawi Imron, Afrizal Malna, Heru Emka, dan Emha Ainun Nadjib.
Karya sastra sufistik, masih menurut Abdul Hadi, sebenarnya telah dirintis oleh Amir Hamzah si Raja Penyair Pujangga Baru pada 1930-an. Karya-karya Amir Hamzah dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi merupakan dokumen pencarian dan perjalanan ruhani Amir hamzah menuju Yang Satu. Dalam perjalanan mengarungi perjalanan ruhani itulah sang penyair menemukan dirinya yang sejati. Munculnya karya-karya sastra yang mencari akar ke tasawuf, tampak menarik untuk dicermati.
Sebagaimana kita maklumi, tasawuf yang ekstrem dapat memicu pendapat yang kontradiktif antara satu dengan yang lain. Maka tidak mengherankan jika kehadiran karya-karya yang bertolak dari sufisme di negeri ini selalu menyisakan polemik.
Dalam tulisan ini tentu saya tidak ingin terlibat dalam pro dan kontra, tetapi lebih melihat peran sastra sufistik sebagai karya yang dapat menohok kesadaran manusia di hadapan Tuhannya. Seperti dikatakan Danarto bahwa pengarang atau penyair mencipta bukan karena adanya pantun atau syair, namun karena kesadaran akan pengetahuan yang dianugerahkan Tuhan.
Sejalan dengan Danarto, Taufik Ismail menegaskan, bentuk sastra apa pun yang digunakan tidaklah penting, melainkan bobot karya itu sendirilah yang paling penting. Dengan demikian, keindahan estetis tidak lebih merupakan akibat dari kesadaran religius, sebab pada dasarnya, kesadaran religius secara kodrati telah memiliki kualitas estetis.
Dalam hal ini pula penyair Iqbal pernah berujar, keindahan itu jangan dicari di luar diri sebab ia berada dalam diri. Seorang sastrawan yang berpegang teguh atas prinsip ini menemukan keindahan bukan karena mencari, tapi merupakan hasil pergulatan batinnya dalam mengakrabi Tuhan dan ciptaan-Nya. Penghayatan terhadap nilai-nilai Ketuhanan secara intens akan sangat penting untuk membentuk karakter pribadi yang mulia, terutama ketika dekadensi moral mengoyak-ngoyak peradaban manusia.
Berangkat dari kesadaran ini para sastrawan membutuhkan Tuhan yang bisa diajak dialog dengan penuh kekhusyukan. Akan tetapi, tidak setiap sastrawan bisa langsung menggeluti sastra sufistik dari awal. Chairil Anwar, contohnya. Dia mengawali kepenyairannya dengan sikap seperti binatang jalang lalu akhirnya menyerah kepada Tuhan:
Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling/ (Doa). Sedangkan Sutardji Calzoum Bachri memulai bersajak dengan memanggil Tuhan dengan cara yang agak liar: /rasa yang dalam/ datang Kau padaku/ aku telah mengecup luka/ aku telah membelai aduhai/ aku telah harap-harap/ aku telah mencium aum/ aku telah dipukau au/ aku telah merasa celah lobang pintu/ aku telah tinggalkan puri pura-puraMu/.
Dimensi sufistik Sutardji juga tampak dalam petikan sajak berikut: /Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?/. Berondongan kata dalam sajak ini hendak menegaskan bahwa jalan takdir yang ditempuh manusia tidak akan terelak.
Keunikan Sutardji ialah ketika ia membacakan sajak-sajaknya sambil minum bir. Mabuk baginya sesuatu yang fardhu sebagai anggur cinta kepada Tuhan. Saat itu Sutardji memang masih diterjang gelombang gelisah yang meguasai jiwanya. Lalu dalam sajak Mari, Sutardji berusaha mengungkapkan ekspresi perubahan jiwa dengan daya yang amat keras.
Ia melukiskan botol merupakan suatu penampungan berbagai perasaan. /……mari pecahkan botol-botol/ ambil lukanya/ jadikan bunga/ mari pecahkan tik-tok jam/ ambil jarumnya/ jadikan diam/ (Mari). Sajak-sajak Sutardji, ungkap D Zawawi Imron, nilai religiusnya sangat kuat meski belum jelas sosok keislamannya, kalau tampak masih terlalu implisit. Tapi karena sejak semula Sutardji lahir sebagai muslim (sekalipun menyukai bir) maka Tuhan yang disebutnya ialah Tuhan dalam konsep tauhid.
Bahkan perkembangan terakhir dari kepenyairan Sutardji ialah kutukannya terhadap alkohol yang diinsyafi sebagai kesalahan: /…..Maka pagi ini/ Kukenankan ziarah la ilaaha illallah/ Aku pakai sepatu sirathal mustaqim/ Aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat ied/ Aku bawa masjid dalam diriku/ Kuhamparkan di lapangan/ Kutegakkan sholat/ Dan kurayakan kelahiran kembali di sana/.
Berbeda dengan Taufiq Ismail yang sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan keluarga sakinah yang islami, dia sudah mulai menulis sajak di antaranya berbunyi: /jika ada orang yang harus kau agungkan/ ialah hanya rosul Tuhan/ jika ada kesempatan memilih mati/ ialah syahid di jalan Ilahi. Taufiq Ismail mengatakan, standar estetika sastra sufistik ialah mengingatkan orang kepada Pencipta alam semesta.
Karya-sarya sastra yang hanya mengingat dunia, terlena, atau mabuk kepayang, tidak memenuhi syarat sastra sufistik. Standar kedua adalah bahasa, pemilihan kata dan hal-hal konvensional lainnya. Salah satu sajak Taufiq yang mencerminkan itu:
/ada sejadah panjang/ dari kaki buaian/ sampai ke tepi kuburan/ (Sejadah Panjang). Kendati ditulis dengan berbagai ekspresi dan bentuk pengucapan, mengutip Tjahjono Widarmanto (Pikiran Rakyat 6/9/2008)., sastra sufistik memiliki karakteristik kecenderungan estetika yang sama. Kecenderungan estetika sastra sufi itu di antaranya adalah ekspresi kerinduan kepada Allah. Para penyair selalu tertarik pada wilayah sunyi. Sunyi akibat merasa jauh dari kekasih hatinya, yaitu Allah.
Ketertarikan pada dunia sunyi yang penuh jeritan rindu kepada Tuhannya itu, bisa diamati begitu dominan pada puisi-puisi Amir Hamzah, Acep Zam-Zam Noor, dan Jamal D. Rahman. Untuk menggambarkan kerinduan, pencarian, dan kecintaan (mahabbah) pada Tuhannya itu, para penyair sufi sering menggunakan simbol burung (pada puisi-puisi Jamal D.Rahman), kekasih (digunakan Amir Hamzah, Emha Ainun Nadjib, Acep Zam-Zam Noor), gadis atau dara, api, dsb.
Dan muara gelombang sunyi itu bagi para penyair sufi ini adalah berakhir pada kepasrahan. Kepasrahan ini menyiratkan betapa para penyair sufi ini mengakui kehinaan dan kekerdilan dirinya sebagai makhluk yang tak berdaya di hadapan Tuhannya. Pengakuan ini jelas tergambar dalam ekspresi Jamal D Rahman:
/mengetuk pintu demi pintu. jam berdetak/ di lantai. dinding pun terjaga. dan ombak bangkit/ dari jendela. aku tersungkur lewat pintu-pintu itu,/ angin mengusung zikirku dari alif ke alif, dan asmamu/ mengerang di padang-padang sembahyang/ (Di Padang Sembahyang).
Karakteristik estetika sufi yang lain adalah ekspresi khas sufi tentang penyatuan hamba dengan Tuhannya. Dalam tasawuf dikenal dengan istilah wihdatul wujud, suatu konsep kesatuan dalam kegandaan serta kegandaan dalam kesatuan. Tuhan tidaklah dihayati sebagai Dia yang berada di sana namun juga hadir bersama manusia. Tuhan memang tak terjangkau tapi bisa didekati sebab Dia juga Mahadekat.
Sebagai penutup, penulis minta maaf sebab tidak dapat mengulas semua karya-karya yang bernafaskan sufistik seperti Khotbah di Atas Bukit karangan Kuntowijoyo, Anak Laut Anak Angin karya Abdul Hadi WM, 99 untuk Tuhanku tulisan Emha Ainun Nadjib dan lain-lain. Namun yang penting dicatat bahwa sufisme turut mewarnai karya-karya sastra Indonesia.
*) Penulis adalah penyair, analis pada Laboratorium Bahasa Arab UMM.