Peresensi: Ali Rif’an
Judul: Koridor: Renungan A Musthofa Bisri
Penulis: A Musthofa Bisri
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun: I, 2010
Tebal: xi + 247 halaman
oase.kompas.com
Barangkali, “Kata Pengantar” pada sebuah buku terkesan biasa-biasa saja, bahkan acap dilewati oleh sebagian besar pembaca. Namun menjadi berbeda jika “Kata Pengantar” tersebut dikompilasikan, lebih-lebih berasal dari seorang budayawan kenamaan.
Nama A Musthofa Bisri (Gus Mus) dalam peta kepenulisan Indonesia sudah tidak disangsikan lagi. Ia dikenal sebagai penulis dalam aneka genre sekaligus sosok yang berwawasan kompleks di berbagai bidang keilmuan. Selain kepak sayap kecerdasannya sebagai ulama penegak Syariat Islam, Gus Mus juga seorang yang berkompeten dalam bidang intelektual, jurnalistik, kebudayaan, serta kesusastraan. Tak ayal, julukan sebagai esais, kolumnis, cerpenis, dan penyair selalu melekat dalam dirinya.
Dalam bidang dakwah, ia adalah bintang panggung atau orator ulung. Dalam bidang sastra, ia sang peracik kata tanpa mengenal jeda. Diksi dan majas serta intonasi suara yang ia gunakan untuk menyampaikan dakwah di depan ribuan mata publik acapkali membuat para pendengarnya larut dalam kekhusyuan. Sementara letupan ‘gizi’ dalam setiap karyanya serasa memberi suntikan ruhani bagi kita.
Seperti kata Kompas, buku ini sesungguhnya berisi “penglihatan mata hati”. Ada jejak-jejak yang begitu cemerlang. Ada imaji yang mengetuk dinding hati. Inilah sebuah buku yang dapat menjadi penawar bagi kita yang mungkin sudah hampir kehabisan oksigen karena paparan polutan wacana.
Pada tulisan yang bertajuk “Aforisme Puitis Sang Sufi”, misalnya, Gus Mus mencoba mengulas terjemahan kitab Al-Hikam karya monumental Ibn ?Athaillah As-Sakandari. Simak kalimat ini, “Maksiat yang menumbuhkan rasa hina dan rendah diri lebih baik daripada taat yang menumbuhkan rasa unggul dan tinggi hati” (hlm. 57). Bagi Gus Mus, petikan syair di atas penting untuk dikontemplasikan (direnungkan), khususnya bagi meraka yang berlaku sombong dan bebal ketika diberi kelebihan atau kedudukan. Sebab, penyakit paling berbahaya di dunia ini justru ketika orang sudah mengaku dirinya pintar, paling kuat sendiri, sok benar, dan merasa diri paling disayang Tuhan.
Karena harus diakui, manusia kini memang banyak mengaku diri pintar dan modern, namun alpa jika mereka sesungguhnya masih primitif dalam hal kesadaran dan kedewasaan. Tak ayal, carut-marut kehidupan berbangsa ini terjadi tak lepas dari ketidakpekaan terhadap sekitar (lingkungan dan masyarakat) dan ketidakmampuan menata diri sendiri secara proporsional (menempatkan hak dan kewajiban). Sebab, acapkali jika seseorang mengorek orang lain maka yang dikemukakan adalah “pendekatan kewajiban”. Sementara, jika yang dibahas adalah kepentingan pribadi maka yang dipakai justru “pendekatan hak”.
Kesempatan untuk mengkritik diri sendiri hilang, namun kritik pada pihak lain tak henti-hentinya dilakukan. Melihat borok orang lain sangat lihai sementara melihat borok sendiri acapkali lalai. Peribahasa gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak adalah cermin dari pola pendekatan hidup bermasyarakat kita yang, barangkali, sudah semakin akut.
Begitu pula dalam tulisan berjudul “Bangsa Ini” (hlm. 236). Di sini, Gus Mus sengaja mencebur ke dalam sumbang saran ihwal dinamika politik nasional yang, baginya, patut untuk direnungkan. Bagi Gus Mus, meski secara dejure Indonesia sudah merdeka beberapa puluh tahun lalu, namun secara defacto Indonesia sesungguhnya belum merdeka, masih terjajah. Terjajah dari kapitalisme, korupsi, dan kekerasan.
Bahkan dalam pengamatan lebih mendalam, Indonesia sesungguhnya telah dan tengah dijajah oleh bangsa sendiri. Ini terlihat dari perkumpulan-perkumpulan dan partai-partai yang arah tujuannya lebih ke ranah individual-kelompok yang semakin tampak tidak punya kelindan dengan Indonesia.
Buku ini laik sekali untuk dibaca. Kumpulan jejak komtemplasi KH. A Musthofa Bisri tentang tokoh-tokoh Islam berpengaruh serta sahabat-sahabatnya ini akan mampu membuka mata batin kita. Ada cerita tentang KH Hasyim Asyari, Umar bin Abdul Aziz, Jeihan, Gus Dur, Danarto, Jaya Suprana, dan lain sebagainya.
Kecakapan Gus Mus dalam mencermati segala fenomena keagamaan dan kebangsaan membuatnya terlihat santun dalam menyikapi aneka persoalan, baik yang biasa-biasa sampai luar biasa, baik yang remeh temeh sampai yang aneh-aneh. Ibarat sebuah rumah, Gus Mus itu memiliki seribu pintu, setiap orang bisa masuk dan keluar darimana pun ia suka. Ia adalah kiai-budayawan yang mampu menciptakan revitalisasi, inovasi, dan kreasi untuk menghangatkan kembali seni tradisional ke dalam bentuk-bentuk ekspresi baru, atau mengakulturasikan seni pesantren atau lokalitas dengan seni moderen tanpa meninggalkan esensi dan substansinya.
Di gelanggang intelektual, Gus Mus pernah mendapat gelar Doktor Honoric Causa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di ranah sastra ia pernah mendapat anugerah dari Majelis Sastra Asia Tenggara. Kesetiaan dan keteguhannya dalam kerangka menegakkan Islam sebagai agama rahmatal lil alamin merupakan teladan bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Dalam konteks kehidupan berbangsa, Gus Mus berpesan, jika bangsa ini mampu menanamkan akar tradisi dan kebudayaan yang kuat dalam jiwa masing-masing anak bangsa, Indonesia akan menjadi bangsa berkarakter yang mempunyai daya kritis dalam menghadapi tantangan arus globalisasi yang menyelimuti seluruh belahan dunia.
*) Kader Muda Nahdlatul Ulama (NU). Alumnus Ma’had Raudlatul Ulum Guyangan Pati, Jateng.