Ananda Sukarlan, demi Musik Sastra

Mila Novita
http://www.sinarharapan.co.id/

Musik klasik, musik serius, ataupun musik seni, bagi Ananda Sukarlan tidak tepat untuk menyebut jenis musik yang ditekuninya. Pianis andal asal Indonesia yang kini menetap di Spanyol ini ingin memopulerkan nama musik sastra, istilah yang lebih tepat untuk jenis musik ini.

?Istilah musik klasik itu nggak benar, rancu, karena musik itu masih terus ditulis sampai sekarang. Yang benar musik sastra karena musik ini ditulis. Sampai abad kapan pun notnya tetap sama,? ujar laki-laki kelahiran 10 Juni 1968 ini ketika ditemui di Hotel Shangri-La Jakarta, pekan lalu.

Ananda memang tidak sekadar mengurus istilah untuk jenis musik yang ditekuninya ini. Lebih dari itu, ia adalah seorang praktisi yang telah melanglang buana hingga ke Eropa. Sangat disayangkan,
memang, ketika ada seorang musikus berbakat yang akhirnya tidak bisa menetap di Indonesia. ?Indonesia butuh sih butuh, tapi apa saya bisa hidup di sini? Untuk saya sendiri, saya nggak bisa hidup, karier saya juga nggak bisa berkembang,? ujarnya setengah bertanya.

Sejak awal menekuni musik, Ananda memang sudah merelakan hidupnya di negeri asing. Ketika masih kecil, ia mencari-cari sekolah musik di Indonesia. Namun ia tidak juga menemukannya.

?Karena ingin terus di musik, pada tahun 1980-an di sini belum ada sekolah musik tingkat tinggi akhirnya saya ke luar negeri,? tuturnya bercerita.

Ke Luar Negeri

Keluarganya yang sama sekali tidak ada yang menekuni dunia musik sempat tidak merelakan. Orangtuanya tetap meminta Ananda mengikuti ujian memasuki perguruan tinggi negeri, saat itu ia memilih Universitas Indonesia. Sambil menunggu hasil, ia tetap mencari-cari beasiswa untuk sekolah musik.

Usahanya tidak sia-sia, ia mendapatkan beasiswa menuju Belanda. Belum lagi selesai sekolahnya, beasiswa terputus karena masalah politik Indonesia-Belanda saat itu. ?Pilihannya ada dua, tinggal di sini dengan biaya sendiri atau pulang,? katanya mengenang.

Pilihan pertama tentunya dijalani Ananda hingga ia menjadi seperti ini. Entah apa jadinya jika saat itu ia memilih hidup enak dengan pulang ke Indonesia. Untuk mempertahankan hidup, ia bermain musik dari kafe ke kafe.

Itu bukan satu-satunya jalan keluar yang ia dapatkan waktu itu. Dengan modal kemampuannya, ia mengikuti berbagai kompetisi piano demi mendapatkan uang untuk membayar biaya sekolah.

Beruntung, pada kompetisi pertama ia meraih juara ketiga. Kompetisi-kompetisi selanjutnya terasa lebih mudah baginya. Dengan cara itulah akhirnya Ananda menyelesaikan pendidikannya di Royal Conservatory of the Hague (Koninklijk Konservatorium Den Haag).

Selepasnya dari sekolah itu, Ananda memutuskan pindah ke Spanyol, salah satu negara Eropa yang di mata Ananda mengalami banyak kemajuan di musik sastra. Padahal, di awal menekuni musik di Belanda, ia ingin kembali ke Indonesia untuk mengajar. Cita-cita itu memang tidak tercapai, tapi bersama dengan beberapa teman ia mendirikan sekolah musik Jakarta Conservatory of Music. Sekolah ini ditujukan bagi anak-anak Indonesia yang ingin belajar musik tanpa harus ke luar negeri.

Ayah dari Alicia Pirena Sukarlan (7) ini memang memiliki harapan besar terhadap perkembangan musik sastra di Tanah Air. Dalam setiap kesempatan tampil di Spanyol, atau negara-negara Eropa lainnya, ia sengaja membawakan karya komponis Indonesia, dari era Yazeed Djamin, Trisutji Kamal, sampai dengan Job Rusli.

Cita-citanya untuk mengajar di Indonesia juga tidak terlupakan begitu saja. Dalam satu tahun, ia menargetkan tiga kali kembali ke Indonesia. Pertama di awal tahun, setiap 1 Januari untuk mengadakan Jakarta New Year Concert.

Kedua dan ketiga kalinya tergantung kesempatan. Ia akan memanfaatkan kesampatan apa pun yang mendatangkannnya ke Indonesia, termasuk kedatangannya kali ini untuk berpentas di hadapan undangan A Musical Interlude di Hotel Shangri-La Jakarta, 29 Agustus ini.

Selain mengajar, kesempatan kembali ke Indonesia kali ini juga dimanfaatkan Ananda untuk menggarap proyek film musik-tari tentang mitos asal-usul Gemini yang dikerjakannya bersama dengan koreografer Chandra Effendy Paratan.

Ananda memang menekuni musik sastra yang akarnya berasal dari negeri Barat sana. Namun, kepeduliannya terhadap kebudayaan sendiri tidak juga rendah. Beberapa waktu lalu, misalnya, ia mendatangkan sekelompok penari kecak ke Valencia, Spanyol.

?Banyak respons artis yang menonton, mereka mengasimilasikan karya itu ke dalam karya mereka sendiri. Jadi, itu bisa jadi jalan untuk melestarikan budaya kita,? ujarnya. Tinggal di negara Eropa juga membuat semakinmenyadari betapa indahnya budaya tradisional negerinya. ?Orang Eropa lebih tertaik pada budaya kita dibandingkan dengan orang kita sendiri,? katanya lagi.

Ia tentunya berharap musik klasik berkembang di Indonesia, tapi ia lebih berharap jika kita mengebangkan kebudayaan sendiri terlebihy dahulu. ?Itu tugas pemerintah yang sama sekali nggak dijalankan,? kata suami perempuan berdarah Spanyol, Raquel Gomez, ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *