Antara Liu dan Mario, Nobel Sastra dan Perdamaian

Agung Poku

Suatu hari pada tahun 1945. Seorang pemimpin besar komunis, Mao Zedong, mengeluarkan fatwa: “Setiap orang harus dibiarkan berbicara dengan bebas, siapa pun dia, asal saja bukan berasal dari anasir yang memusuhi kita.” (Pembantaian Tiananmen; Michael Fathers, Andrew Higgins).

Batasan yang jelas tentang kebebasan di negeri tirai bambu.

1989. Seorang pemuda 34 tahun, Liu Xiaobo, ikut turun ke lapangan Tiananmen, yang berdarah itu. Jelas dia melawan fatwa Mao, meskipun yang dihadapinya adalah pewaris Mao. Menuntut demokrasi Cina yang berujung tragedi yang selalu diperingati warga Cina. Sebuah pembantaian bagi mereka yang dianggap kontra revolusi.

Kontra revolusi bagi penguasa Cina. Tapi tidak untuk seorang Liu Xiaobo. Dia tetap membangkang, sebuah revolusi baginya. Manifesto 08 yang ikut disusunnya, mengantarkan kembali tubuhnya ke dalam pengap udara penjara. Sebelas tahun atas tuduhan subversi.

Atas dasar perjuangan itu pula, mengantarkan dirinya meraih Nobel Perdamaian, 2010. Tentu anda dapat menduga, Cina pasti kepanasan.

Mario Vargas Llosa

Nobel sastra 2010 diraih penulis asal Peru. Mario Vargas Llosa. Akademi Nobel Swedia menyebut kekuatan struktur dan gambaran “pertahanan, pemberontakan dan kekalahan” dalam karya Llosa. (BBC Indonesia).

Nampaknya Mario punya kesamaan dengan Pablo Neruda yang juga meraih nobel sastra, 1971. Mereka pernah menjadi kandidat presiden di negara masing – masing. Pilihan untuk menjadi pelaku politik, bisa dianggap sebagai sebuah realisasi atas idealisme yang tertuang dalam tulisan mereka. Mario juga cenderung mengusung tema realis dalam novelnya, terutama The Time of the Hero.

Seperti Pram, dengan tetralogi Buru-nya, The Time of The Hero juga diberanguskan oleh militer, karena dianggap memicu kontroversi. Ada juga sebuah kejadian menarik, tentang Mario yang pernah mengayunkan tinju kepada karibnya, Garcia Marquez.

Antara Liu Xiaobo dan Mario Vargas Llosa

Seperti yang pernah diungkapkan Jean Paul Sartre, ketika menolak nobel sastra 1964, bahwa itu adalah cara kaum borjuis untuk membekukan nilai – nilai mereka dalam sastra. Sejalan dengan itu, demikian juga Cina yang menentang nobel perdamaian untuk Liu Xiaobo. Menganggap itu adalah cara – cara kaum borjuis untuk mengintervensi dan memaksakan demokrasi di Cina. Terlepas dari perjuangan Liu untuk kebebasan, humanisme.

Antara Liu Xiaobo dan Mario Vargas Llosa, keduanya ada atau tanpa nobel, telah melakukan sesuatu yang indah untuk humanisme. Perjuangan pada lahan yang telah dipilihnya. Tetap mengusung dan mengacu pada realisme, sebagai titik tolak.

Sebagai orang Indonesia, tentu kita teringat kepada Pram, satu – satunya orang Indonesia yang namanya berkali – kali masuk dalam kandidat peraih nobel sastra. Dia sudah mati, namun namanya tetap harum, bukan sebagai pendongeng cinta atau pun penulis catatan pinggir kosong. Tapi sebagai seorang yang pernah berjuang. Apakah kita berniat meneruskan?

Jogja, Oktober 2010

Leave a Reply

Bahasa ยป