I Nyoman Suaka
http://www.balipost.co.id/
NAFAS otonomi daerah yang kini digulirkan dalam birokrasi pemerintahan, sebenarnya sudah sejak lama dikenal dalam analisis karya sastra. Gerakan otonomi karya sastra dalam analisis puisi, cerita pendek (cerpen) dan novel meniru semangat pendekatan struktural yang dicetuskan dalam teori-teori sastra di negara Barat. Pendekatan struktural di negara maju tersebut, khususnya di Amerika, mementingkan analisis karya sastra dari segi bentuk (struktur). Penganut aliran ini menilai karya sastra sebagai suatu benda yang mandiri dan bersifat otonom, bebas dari ikatan sejarah kemasyarakatan.
Walaupun dunia kesusastraan telah mengakui otonomi sastra sudah dipraktikkan sejak dulu, tetapi sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip otonomi yang disosialisasikan dalam jajaran pemerintah. Guru Besar Universitas Leiden Belanda pakar dalam sastra Indonesia dan Melayu, Arnold Teeuw (1983) mengatakan, pendekatan struktur tidak lain merupakan gerakan otonomi karya sastra. Kendatipun aliran struktural ini berkembang pesat, Teeuw menilai, gerakan otonomi sastra ini memiliki dua kelemahan pokok yaitu, melepaskan karya sastra dari kerangka sejarah sastra, dan mengasingkan karya sastra dari lingkungan sosial budaya.
Terkait dengan kelemahan yang disebutkan terakhir itu, mengasingkan aspek sosial budaya, justru konsep otonomi pemerintahan memberi peluang yang besar terhadap nilai-nilai sosial budaya yang ada di masing-masing daerah. Dalam otonomi karya sastra, yang menekankan kajian strukturalisme, potensi-potensi budaya diabaikan, bahkan boleh dikatakan ditolak. Hanya mementingkan struktur yaitu unsur-unsur pembangunan karya sastra seperti alur cerita, latar, penokohan, pengisahan serta gaya bahasa. Komponen karya sastra ini lebih populer diistilahkan sebagai unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik seperti terkait dengan sejarah, agama, filsafat psikologi, ekonomi, sosial dan budaya yang sering muncul dalam karya sastra, tidak pernah disentuh dalam setiap analisis. Semata-mata yang diperhatikan adalah teks sastra, sehingga hasil kajiannya agak terbatas dan kurang memberi penghargaan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.
Tulisan ini tidak bermaksud mengulas otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22 tahun 1998, tetapi lebih memfokuskan pada kesusastraan. Analisis struktural yang menekankan otonomi teks sastra, menurut Teeuw, belum merupakan teori sastra. Bahkan tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap sehingga dapat membahayakan pengembangan teori sastra. Analisis berdasarkan konsep otonomi karya sastra juga menghilangkan konteksnya dan fungsinya. Akibatnya, karya sastra itu “dimenaragadingkan” dan akan kehilangan relevansi sosial budayanya.
Makna karya sastra (puisi, cerpen, novel) tidak hanya ditentukan oleh struktur itu sendiri, tetapi juga latar belakang pengarang, lingkungan sosial budaya, politik, ekonomi dan psikologis pengarangnya. Faktor-faktor ekstrinsik yang disebutkan tadi memberikan andil yang besar kepada pengarang untuk melahirkan karyanya. Mengingat sastra tidak bisa dilepaskan dengan realitas kehidupan masyarakat, maka faktor-faktor lingkungan, kebudayaan dan semangat zaman, tak bisa diabaikan. Dengan demikian, gerakan otonomi karya sastra berarti menempatkan pada ruang yang terpencil.
Pendekatan karya sastra dengan kajian ekstrinsik di Indonesia masih tergolong langka. Skripsi kesarjanaan (S1) yang mengambil program studi sastra Indonesia, sebagian besar berpedoman pada karya sastra bersifat otonomi. Mengingat seorang sastrawan dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya yang amat beragam, maka pendekatan otonomi itu dapat ditinjau lagi untuk mengarahkan dengan pendekatan lain seperti pendekatan sosial budaya.
Sebagai “pisau” untuk “membedah” karya sastra dilihat dari unsur ekstrinsik, telah pula diimbangi dengan teori-teori sastra yang mapan seperti sosiologi sastra, strukturalisme genetik, postmodernisme, hermeneutik, resepsi dan lainnya. Semua teori-teori ini diadopsi dari dunia Barat karena di dunia sana mengalami perkembangan yang pesat. Bagaimana dengan di Indonesia?
Awal 1980-an banyak peneliti dan pengamat sastra mengusulkan perlunya diadakan diskusi di tingkat nasional untuk menyusun teori sastra yang khas untuk situasi di Indonesia. Opini tersebut kurang mendapat perhatian. Justru lahir polemik yang berkepanjangan dari sastrawan dan budayawan tentang sastra konteksual. Pro-kontra pun muncul antara sastra dalam tradisi teks dengan sastra kontekstual. Polemik dalam diskusi, seminar dan tulisan di media massa waktu itu berhasil dibukukan Ariel Heryanto dengan judul “Perdebatan Sastra Kontekstual” (1985).
Asyik berdebat, teori-teori sastra khas Indonesia sampai kini belum muncul. Analisis dan kritik sastra akademis sebagian besar tetap bertahan dengan memandang karya sastra yang bersifat otonom. Kalau ada yang menyinggung dari sudut luar (kontekstual), pembahasannya bersifat sambil lalu dan sepintas. Padahal telah terbukti, karya sastra yang bermutu selalu dikaitkan dengan aspek kontekstual zamannya, baik menyangkut sejarah, agama, politik, sosial budaya dan lain-lain.
Penelitian sastra berdasarkan struktur yang mandiri dan otonom sudah saatnya dialihkan pada aspek ekstrinsik kontekstual untuk menghindari keterpencilan dunia kesusastraan di Indonesia. Sebab penelitian dengan prinsip karya sastra memiliki otonomi, kurang memberikan tantangan untuk memanfaatkan disiplin ilmu yang lain. Selain itu, juga kurang mengungkapkan kekayaan karya sastra itu secara maksimal.