Menggali Mutiara di Antara Politik Estetika

Sastra Indonesia 2007

Sihar Ramses Simatupang
sinarharapan.co.id

Di tengah politik perkubuan sastra, baik yang menyentuh persoalan intrinsik maupun ekstrinsik dari teks sastra atau bahkan mengarah pada kelompok atau sastrawan tertentu, kegemilangan sebuah karya akan terlihat dengan sendirinya.

Lonceng sastra terus digemakan oleh kumpulan puisi, kumpulan cerpen dan novel atau bahkan sebuah esai di lembaran kertas di media cetak maupun bentangan flat dari monitor CPU lewat sebuah situs maupun milis.

Beberapa novel yang lahir mengusung kemegahan kisah dan kenikmatan bahasa itu terus menggemakan suara dari sekumpulan ingar karya sastra yang dicap bernuansa seks atau tidak, peduli sosial atau tidak, berlindung dalam kerajaan komunitas sastra atau tidak.

“Kita kembali pada karya sastra saja,” ujar Yonathan Rahardjo, salah satu pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta. Karyanya adalah salah satu di antara pilihan juri yang mencengangkan publik sastra karena realisme hampir nampak dalam karya para pemenang ini.

Seakan kebangkitan realisme, demikianlah novel-novel itu membawa muatan berat dari zaman yang letih mengangkut sejarah. Kendati tak bisa diingkari, perdebatan tiap kubu baik Goenawan Mohamad dan Saut Situmorang atau antara Taufik Ismail dengan Hudan Hidayat, seperti menyadarkan tentang sebuah kotak pandora sastra yang kemudian mencengangkan (baca: mencemaskan) khalayak awam yang tak pernah sadar adanya politik dan ideologisasi di kesusastraan Indonesia. Selain itu, publik akhirnya menangkap sebuah pertengkaran estetika yang semakin kental.

“Penulis sekarang janganlah lepas dari sejarah sosial masyarakatnya. Bukan hanya dengan eksperimen dan permainan bahasa,” kira-kira begitulah tafsir lugas dari ungkapan Katrin Bandel, beberapa tahun silam di Pusat Dokumentasi HB Yasin, Jakarta, yang ternyata menjadi salah satu tonggak penting dalam sikap berkarya pada satu sisi kubu.

Lantas dimanakan peran estetika bahasa? Ketika kita membaca keagungan karya Leo Tolstoy yang indah namun tetap peduli sosial, pun Gabriella Garcia Marquez, pun narasi sosial yang tetap utuh pada John Steinbeck, kendati dia membuat permainan bahasa yang eksperimental.

“Banyak pengarang sekarang yang mengkhianati narasi, dan menjadi metafora seperti busa bir, berbuih namun lenyap tertelan angin malam, tak membawa ingatan pada pembaca seusai membaca. Bagaimana memuat estetika, sekaligus mengangkut narasi, sekaligus eksperimental, itulah masalahnya.

Kita seperti digiring, padahal pembaca tak akan bisa dibodohi mana karya yang baik,” ujar seorang sastrawan.

Di saat seperti itulah, karya terus berjuang merebut simpati pembacanya. Kita mencoba menengok beberapa karya yang juga muncul belakangan, tanpa kubu dan “tanpa nama besar”.

Nama Baru

Di luar gaung sastra DKJ, ada beberapa novel yang kemudian mulai diperbincangkan. Qaris Tajudin, misalnya, dalam novel Larasati, berhasil meramu backtracking yang unik, namun berkelindan sehingga tetap menjaga kestabilan pembacaan. Alur waktu yang dipertemukan di akhir novel sangat mengundang penasaran pembacanya. Gaya tuturan “aku” yang berpindah-pindah pada dua tokoh dan ditutup dengan “dia”-an di akhir novelnya.

Dengan efektivitas bahasa dan peristiwa, Qaris mengisahkan “seorang lelaki pecinta tanpa tempat berlabuh” menjelman “lelaki yang merasuk ke labirin kehidupan petualang bahkan terorisme”.

Fasih berkelana dari bumi Indonesia, Tunisia, mafioso Italia, Afghanistan hingga terdampar di sebuah kelompok nomaden suku Kuchi yang tegas dan bersahaja. Novel yang mengenyangkan nurani kita bahwa substansi kehidupan kembali kepada cinta, penghormatan sesama manusia dan kepada Tuhan.

Andrea Hirata, nama baru dalam jagat sastra kita lewat karya Laskar Pelangi-nya, menyadarkan kembali bahwa masih ada harapan pada pengarang dan teks sastra Indonesia terkemudian. Membuat tegangan identitas budaya Melayu dan dunia di dalam teks secara apik.

Energi yang kerap disuguhkan buat pembaca dari karya Hirata adalah kejenakaan yang halus juga cerdas dan pemaparan yang lancar juga jernih. Dari kisah unik seperti mengganti nama di saat seorang anak sakit sebagaimana kelaziman Timur hingga kisah tragis putra Indonesia yang mendapat beasiswa namun terjebak di antara sekarat dingin salju kota kecil Brugge di pinggiran Belgia.

Buku ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi ini nyatanya mampu menjadi teks tunggal dan otonom, kisahnya tetap menyuap kepuasan imaji bagi pembacanya.

Di kepenyairan ada nama yang tetap konsisten dan tetap mengusung obsesi “meminjam pendapat pengarang Budi Dharma” dan “deologi” meminjam pendapat Pramoedya Ananta Toer. Ada penyair Acep Zamzam Noer, Isbedi Stiawan ZS, Sony Farid Maulana, yang tetap setia menjaga konsistensinya.

“Di tengah pergeseran sejarah sastra, di tengah perkubuan atau politik sastra apa pun, kesetiaan dan keyakinan pada karya yang menjadi karakter kita itu penting. Itu yang tetap saya pertahankan ketika berkarya sejak dulu hingga kini,” papar Yanusa Nugroho, sastrawan yang kerap mengangkut muatan narasi pewayangan di novelnya, kepada SH, dalam sebuah perjalanan di antara Tol Jakarta-Ciawi.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป