Paulus Mujiran
http://www.lampungpost.com/
Genap setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Setahun lalu pasangan ini menebarkan harapan memperbaiki keadaan dan kondisi bangsa yang kian terpuruk. Masyarakat begitu yakin pasangan ini mampu membawa perubahan dengan pilihan yang mutlak. Sebuah kemenangan yang tentu saja amat monumental di era pemilu langsung.
Tragisnya, belum genap setahun usia memerintah situasi sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan tidak lebih baik. Terorisme, kekerasan massa akar rumput, kekerasan beragama hingga kian merajalelanya korupsi merupakan potret kegagalan pemerintah.
Maraknya aksi kekerasan harus ditangkap ada sekelompok orang yang dimarginalkan dalam pembangunan. Kemiskinan adalah persoalan laten yang sejak era Orde Lama menjadi jualan politik pemerintah. Permainan angka-angka kemiskinan juga sudah cukup membius rakyat untuk memberi dukungan kepada penguasa politik pada pemilu. Dalam sebuah negara miskin yang abai terhadap rakyat, gangguan berupa konflik, pertikaian, gesekan sosial akan terus terjadi. Masalahnya tidak ada bukti bahwa pemerintah serius mengatasi masalah-masalah itu secara saksama.
Kondisi perekonomian juga dapat dikatakan bak panggang jauh dari api. Meskipun indikator-indikator perekonomian seperti diklaim pemerintah menunjukkan tren membaik fakta di lapangan membuktikan rakyat yang kian susah. Sulitnya lapangan kerja, mahalnya biaya hidup, harga yang terus meningkat merupakan kondisi yang menekan rakyat terutama kalangan bawah. Cerita bagaimana rakyat bawah mencoba bertahan hidup adalah kisah-kisah memilukan. Kepercayaan pemerintah dalam menyejahterakan rakyat layak digugat dan dipertanyakan.
Janji untuk menciptakan lapangan kerja tidak menjadi kenyataan. Begitu pun janji untuk mengatasi kemiskinan hanya berhenti pada retorika belaka. Tidaklah mengherankan kejenuhan rakyat dan frustrasi sosial kian memuncak. Salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyat adalah ketika kesejahteraan mendapat perhatian memadai. Ini membuktikan manakala visi pembangunan tidak diarahkan untuk kesejahteraan rakyat. Pembangunan memang diarahkan untuk kemajuan ekonomi tetapi bukan demi rakyat kecil, melainkan melayani kepentingan pemodal besar dan kaum kapitalis.
Dalam pengelolaan lingkungan tetap setali tiga uang. Mungkin orang sudah bosan berulang-ulang mendiskusikan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Namun itu potret dosa pemerintah yang terbesar. Betapa tidak, rakyat yang tidak berdosa diusir dari tanah tumpah darahnya untuk tumbal pembangunan. Bangsa Indonesia mestinya malu dengan pengalaman luar negeri yang berhasil menghentikan semburan minyak atau pengalaman Cile yang membebaskan 34 petambang yang terjebak reruntuhan.
Terhadap tragedi lingkungan seperti Lapindo pemerintah seperti hilang keberanian dan kekuatan. Rakyat mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk menuntaskannya. Begitu pun banjir bandang di Wasior, Papua Barat, meskipun tidak secara langsung berhubungan dengan pembalakan liar dapat menjadi bukti bahwa pembangunan memang hanya menguntungkan sekelompok elite. Bahkan momentum bencana dapat menjadi ajang untuk memulihkan citra dan tebar pesona pemerintah.
Dalam konteks yang lebih besar rasa persaudaraan dan nasionalisme kebangsaan layak digugat dan dipertanyakan. Egoisme dan rasa primordialisme justru kian menguat ketika usia kemerdekaan bangsa ini semakin dewasa. Munculnya kekerasan bernuansa keagamaan, bentrok massa akar rumput, noda korupsi dalam pemerintahan mencerminkan rasa berbangsa dan bernegara kian terkoyakkan. Hidup berbangsa dan bernegara kian krisis ideologi. Martabat sebagai bangsa layak digugat. Alih-alih meneladan semangat para pendiri bangsa yang sebentar lagi kita peringati dalam Sumpah Pemuda, yang ada dapat ikut menjarah apa dari kekayaan bumi Indonesia yang kaya ini.
Untuk apa pembangunan ketika yang dilahirkan adalah kesenjangan sosial baru? Apa artinya kemerdekaan kalau yang tersemai adalah benih-benih pertikaian dan balas dendam di kalangan akar rumput? Ini semua terjadi karena rapuhnya keteladanan, melemahnya soliditas kebangsaan, dan hilangnya perasaan berbangsa dan bernegara. Banyak bukti membuktikan elite politik dan kekuasaan tidak mampu menjadi teladan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Bagaimana mungkin mengutamakan kepentingan bangsa yang lebih luas ketika yang mengedepan adalah kepentingan partai, ideologi dan kelompoknya sendiri. Bagaimana mungkin membangun bangsa ketika semua orang yang dicari adalah kekuasaan dan keuntungan diri sendiri dan kelompoknya?
Dalam kondisi bangsa yang kian karut-marut seperti sekarang ini, harapan akan masa depan bangsa yang lebih baik memudar. Harapan untuk membangun sebuah negeri yang tata titi tentrem karta raharjo, adil makmur sentosa hanyalah utopia dan khayalan belaka. Sejalan dengan itu disertai dengan hilangnya rasa bangga sebagai warga negara kepulauan bernama Indonesia. Tentu ini menjadi tantangan penting setahun usia SBY-Boediono memerintah. Wacana penggulingan kekuasaan sebagaimana dilontarkan Menko Ekuin Hatta Rajasa bukanlah isapan jempol belaka ketika melihat fakta kian termarginalkannya rakyat dalam beragam permasalahan bangsa dan negara belakangan ini.
Ketika situasi kian sulit yang muncul adalah rasa benci terhadap pemerintah. Pemerintah dapat jatuh ke dalam krisis legitimasi ketika rakyat sebagai pemilik kekuasaan justru ditelantarkan dan diabaikan. Pemimpin tidak perlu takut untuk ?turun? jika memang tidak mampu atau gagal membawa amanah rakyat.
Pembangunan yang tidak memihak justru menyebabkan rakyat merasa asing di negerinya sendiri. Alih-alih pembangunan yang menyejahterakan. Pembangunan yang justru memperkuat paham kesukuan dan menguatnya ego kelompok. Harus menjadi pemikiran serius dari elite bangsa bahwa pembangunan memang harus berpihak dan berdampak utamanya bagi kesejahteran rakyat.
*) Alumnus Pascasarjana Undip, Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Sosial di Semarang.