Prosa-Prosa Ahmad Syauqi Sumbawi

Bayang Diri

Sebuah gedung bertingkat empat. Di lantai paling atas, laki-laki itu seorang diri. Berdiri menyandarkan bagian depan tubuhnya pada tembok pembatas. Bagian atap yang menjorok ke depan di atasnya, melindungi dirinya dari sinar matahari yang menambahkan tajam menyilaukan mata bersama hari yang menanjak siang.

Cukup lama laki-laki itu berdiam diri. Seperti tengah menepikan diri, ia memperhatikan keseharian di bawahnya, di mana orang-orang bertebaran pada arahnya sendiri-sendiri. Langkah-langkah yang terburu, langkah-langkah yang seperti mau jatuh, langkah-langkah yang pelan tak berbeban. Dan sebagainya. Semuanya.

Benar. Itulah sisi yang jahat pada diri manusia, seperti bayang-bayang hitam yang menyertai setiap langkah mereka, gumamnya pelan lalu kembali terdiam.

Sejenak laki-laki itu mengangkat tubuhnya dari tembok pembatas, mengarahkan perhatiannya ke depan. Jauh pada pandangan matanya, beberapa ekor burung terlihat terbang dari hamparan padi yang hijau kekuningan di persawahan.

Gerimis Tiba Membawa Jeda

Menanjak malam. Gerimis jatuh membiaskan mega, memerah jingga. Udara gerah. Di sebuah tempat parkir lokasi ziarah, air bergemerisik di atap seng pos penjaga. Di depannya, seorang penjaga bercengkerama bersama seorang kenalannya yang baru lewat di sana. Sebuah perjumpaan ketika gerimis tiba membawa jeda.

Sementara kami menepi di bangunan ini. Menunggu teman-teman yang tak juga-juga datang dari membaca doa. Entah gerimis, entah apa. Mengakrabi jenuh penantian kami, pada perjalanan selanjutnya.

Rupanya di saat seperti ini, menjadi jelas ayat-ayat yang terpampang, yang tak terhiraukan dalam keseharian. Seperti garis-garis gerimis yang jatuh di bawah lampu pelataran, yang memendekkan langkah dan menunda untuk sementara.

Sebentar dari masjid terdengar suara adzan. Mengumpul pada gerimis.

“Lho,? sudah Isya’. Jangan-jangan?,” kata salah seorang kami tak dilanjutkan. Sungguh, waktu begitu cepat berlalu.

“Kita shalat di sini saja,” kata salah seorang kami yang tiba-tiba datang untuk memberitahu. Tanpa kuasa, rencana pun mudah berubah.

Sarang Laba-laba di Rumah Tua

Tepat di hadapan kami, rumah peninggalan kakek berdiri. Bangunan tua berbentuk limas dan cukup besar. Seperti pada umumnya rumah-rumah tak berpenghuni, rumah itu kusam, kotor berdebu, dan tak terawat. Sawang-sawang bergelantungan di banyak bagian pada langit-langit beranda.

Perlahan daun pintu kayu jati yang tampak berat dan tebal itu terbuka disertai bunyi derit. Seperti menjerit, bersama debu-debu yang bersemburan. Sejenak melangkah ke dalam, maka tampaklah lebih banyak lagi sawang-sawang bergelantungan di ruangan itu.

“Tampaknya, hari ini kita akan bekerja keras membersihkan rumah ini,” kata Lik Seno ?seorang kerabat yang selama ini dititipi untuk memegang kunci? tersenyum.

“Sepertinya begitu, Lik,” sahutku.

Lik Seno kemudian pamit pergi mengambil peralatan bersih-bersih.

Seorang diri, kuedarkan pandangan pada ruangan itu lagi. Dekat pada sebuah pilarnya dari empat pilar yang menyangga atap genteng, kutemukan sarang laba-laba tergelar cukup lebar. Tepat di bawah bagian atap genteng yang hilang, memberi terang.

Dalam diam memperhatikannya, tiba-tiba aku teringat pada rangkaian kata-kata. Entah. Aku lupa siapa yang menaruhnya di saku ingatanku. Kalau tak keliru, beginilah kata-kata itu: “Dalam hidup manusia, nafsu ibarat laba-laba yang mula-mula datang berkunjung, kemudian menjadi tamu rutin, lantas menjadi tuan rumah pada diri manusia…”

“Ayo, kita mulai bersih-bersih,” kata Lik Seno yang telah kembali dengan peralatan. Sebuah sapu panjang kemudian diulurkannya kepadaku.

“Kalau bersih, ‘kan nyaman untuk tinggal di sini,” lanjutnya seraya membuka daun-daun jendela.

Sebentar cahaya matahari menyeruak ke dalam ruangan, memperlihatkan debu-debu yang membikin pengap udara pagi itu.

_____________________
Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan.

Leave a Reply

Bahasa »