Sutan Iwan Soekri Munaf
suarakarya-online.com
Membangunkan Dulah?
Rifai tampak enggan. Pasalnya, membangunkan adiknya ini seperti mengangkat batu besar yang jatuh ke dalam sumur. Alang kepalang susahnya. Tidur Dulah mirip orang mati. Jika pun terbangunkan, dia duduk sejenak di tepi ranjang dengan mata tetap tertutup, namun beberapa saat saja, sudah terlentang, melanjutkan tidurnya.
“Waktu tinggal setengah jam lagi, Nak,” ujar Emak dengan tatapan mata tajam ke arah Rifai.
“Biarkan saja Dulah tak sahur, Mak,” jawab Rifai sambil bersungut, namun tak beranjak dari duduknya.
“Mana kuat. Nanti ada alasan pula tak puasa,” kata Emak sambil meneruskan menyiapkan meja.
“Apa dia tak malu, sudah kelas empat masih tak puasa?”
“Ayolah. Jangan membantah saja. Bangunkan adikmu.”
Rifai pun bangkit dari kursi, menuju kamar.
Dan sebagaimana biasanya, setelah dibangunkan, Dulah enggan.
Kuapnya panjang. Bergeser duduk ke pinggir ranjang.
Tak berapa lama antaranya, terlentang lagi. Pulas.
“Waktu setengah jam lagi ke imsak,” kata Rifai sambil terus menyadarkan Dulah dari tidurnya.
Dicoleknya kaki Dulah. Dulah tak merespons.
“Sahur! Sahur!” teriak Rifai keras-keras.
Dulah pun bangun sambil bersungut.
“Ah,” kata Dulah seraya bangkit dari ranjang dan menapakkan kakinya ke lantai.
“Hei, cuci mukamu ke sumur,” seru Rifai saat melihat Dulah langsung berjalan menuju meja makan.
Dulah tidak memperdulikan seruan kakaknya.
Emak hanya tersenyum melihat tingkah si bungsunya.
“Ini sahur hari pertama pada Ramadhan. Memang berat, ya?” kata Emak sambil menyandukkan nasi ke piring Dulah.
Dulah masih bersungut.
“Ramadhan tahun lalu aku boleh tak puasa pada hari pertama,” kata Dulah dalam bersungut.
“Tahun ini kau sudah kelas empat. Temanmu pasti puasa semua,” Emak menerangkan dengan sabar.
* * *
Kenangan tigapuluh tahun itu masih membayang dalam benak Rifai. Hal seperti itu terjadi kembali berturut-turut sepanjang dua tahun kemudian.
Tiap sahur pertama, Dulah selalu susah dibangunkan.
Terkadang Rifai malas membangunkan adiknya itu, namun dia sungkan menolak permintaan Emaknya.
Ya, semenjak Ayah wafat saat Dulah kelas dua SD, Rifai selalu ingin membesarkan hati Emaknya. Tak ingin Rifai membantah permintaan Emaknya.
Rifai tak mengetahui lagi bagaimana sahur pertama Dulah, karena Rifai sudah menamatkan SMAnya, dan melanjutkan kuliah ke ITB di Bandung.
Setahun sekali, selagi libur semester panjang, barulah Rifai pulang kampung. Dan tak pernah pula dalam liburan itu berjumpa dengan Ramadhan.
Kini adalah sahur pertama pada Ramadhan ini. Kenangan tiga puluh tahun itu membekas.
Namun Dulah terbaring di ranjang, dengan seperangkat infus dan tranfusi darah.
Wajahnya kuyu. Badannya kurus kering. Rifai duduk di kursi di samping ranjang.
Sedangkan di seberangnya, duduk Emak dan Rohani, istri Dulah.
“Bang Fai pulang saja. Ini sahur pertama,” kata Dulah dengan suara kering.
“Hahaha Ya, sebentar lagi waktu sahur, tapi imsak masih lama,” timpal Rifai dengan tenang.
“Aku boleh tak puasa, ya, Emak?” Tanya Dulah sambil mencoba memalingkan wajahnya ke arah Emak. Namun Dulah tak kuasa.
“Sudah. Dulah terlentang saja, Nak. Emak izinkan tak puasa. Allah juga tahu, keadaan Dulah tak dapat puasa,” terasa getaran suara Emak.
Rifai terdiam.
Rohani matanya berkaca-kaca.
Rifai tahu, biar pun selalu dibangunkan Emak untuk pergi sekolah, namun Dulah membalasnya dengan juara kelas. Bahkan setamat SMA, si bungsu Emak ini melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi Unpad. Setamat kuliahnya, Dulah menjadi pegawai negeri di kampung. Karirnya meningkat bagus. Bahkan sebelum masuk rumahsakit, Dulah menjabat Sekretaris Wilayah Daerah. Tapi enam bulan terakhir, badannya susut drastis. Penyakit diabetes militus membuat dia tak berdaya.
“Maafkan kelakuanku selama ini, Emak. Juga Bang Fai,” kata Dulah terbata.
“Sudah. Sudah kumaafkan,” timpal Rifai.
“Tak ada kesalahanmu lagi, semua sudah Emak maafkan,” jawab Emak agak tersendat.
Wajah Dulah bersinar, bahagia.
“Bang Fai dan Emak pulanglah.
Biar Rohani menjagaku. Dan tolong Bang Fai singgah ke Jalan Kramat, belikan makanan untuk sahur anak-anak kami di rumah,” kata Dulah lagi.
Rifai dan Emak menatap ke arah Dulah yang terbaring.
“Tak apa, Emak. Besok Emak dan Bang Fai datanglah. Ajak juga Kak Nurjanah, ya Bang.”
Emak dan Rifai dengan berat hati meninggalkan kamar Dulah.
* * *
Kuap panjang Rifai terjadi juga. Namun tetap diusahakannya untuk melaksanakan kewajibannya di kantor.
Dia ingin memberikan contoh ke bawahannya, bahwa puasa tak akan mengganggu aktivitas pekerjaan.
Dia memeriksa beberapa berkas. Teliti sekali, walaupun diiringi kuap panjang.
Ada ketukan dari pintu. “Masuk. Tak terkunci,” seru Rifai.
Yanti pun masuk.
“Ada apa, Yan?”
“Aku Cuma mengingatkan Bapak, orang Malaysia itu akan datang pukul 1 nanti. Mereka ingin melihat pabrik kita.”
“O” jawab Rifai, “Baik. Sudah dikatakan ke Pak Sugito dan Pak Samsul?”
“Sudah, Pak. Pak Gito akan menunggu di pabrik. Dia kan diruktur operasional.
Pak Samsul membawa berkas keuangan, akan berangkat bersama Bapak.”
“Bagus.”
“Bapak puasa, ya?
Loyo amat,” ujar Yanti.
“Ehm.”
Tiba-tiba terdengar suara telepon genggam Rifai berbunyi.
Segera diterimanya telepon itu.
“Ya. Ada apa Rohani?” “Bang Dulah Bang Dulah,” terdengar suara di seberang.
“Ya, ada apa?”
“Dia berpulang, Bang.”
Dan sesegukan suara Rohani terdengar jelas.
“INNA LILLAHI WA INA ILAIHI RAJIUN.”
Wajah Rifai tersentak kaget. “Siapa yang meninggal, Pak?” tanya Yanti.
“Adikku”
Wajah Rifai kusut. Pikirannya entah kemana.
“Pak Fai, sebaiknya Bapak urus dulu adik Bapak sampai pemakaman. Urusan kantor nanti digantikan saja oleh Pak Gito dan Pak Samsul,” usul Yanti.
“Ya.Ya.”
“Nanti aku telepon ke Ibu Nurjanah, biar bersama supir kantor ke rumahsakit,” kata Yanti lagi.
“Ya. Ya. Ya”
“Aku turut berduka, Pak.” “Ya, terimakasih.”
***
Bekasi, Juli 2010.