http://www.lampungpost.com/
Dalam Langkahku
di sepanjang langkahku kini
aku mendengar
langkah lain di dalam dadaku:
yang menyusun
ritmenya sendiri
tanpa perduli ritme langkahku
kini.
(Tanjungkarang, 2009)
Belajar Melukis
lihatlah gambar yang kubuat:
Great Basin dengan warna senja yang merah.
latarnya adalah pegunungan Sierra.
di sini, matahari tak perlu kutampilkan utuh,
karena sesekali, bolehlah kita menghadirkan sesuatu
tanpa harus penuh. apa yang utuh dari kita setiap hari,
mungkin hanya tubuh.
kemudian kuhadirkan pula serombongan banteng
yang sedang berjalan, dan tubuhnya berbayang.
dan di antara mereka, ada yang mati. mereka
terus berjalan. entah sedang mencari apa.
tapi, haruskah kulukiskan tujuan di mata banteng itu,
agar kau tak perlu lagi menduga.
ah, terlalu mudah. tafsir saja sendiri, dan kita
tak perlu saling membohongi.
nah, lukisanku sudah jadi, tanpa harus menimbulkan
gemuruh di dada. tanpa perlu mengeluarkan lava di mata.
setelah kubingkai lukisanku, akan kupajang di kamarmu.
tak perlu kau maknai, sebab di dalam memaknai,
penglihatanmu akan terhalangi.
pusatkan saja inderamu untuk melihat
nanti, jika sudah merasa terhubung
dengan objek di dalamnya, maka tak perlu lagi memaknai.
sebab makna akan datang sendiri:
berkuda putih, sambil menggenggam sebilah pedang
dan mengacungkannya ke gambar itu
dan akhirnya mendirikan kerajaan tirani di kepalamu.
(Jakarta, 2009)
Akuamarin
jernih tepian pantai
berwajah opal batuan koral
dan warna dalamnya adalah jejak besi
berstruktur kasar segitiga Kristal
(2010)
Perempuan Bersandar
perempuan bersandar di tiang lampu jalan
jemarinya menggenggam selembar sapu tangan?
basah menghapus rintik hujan.
(2010)
Deraian Pohon Ara
gadis bermata intan
di bawah rimbun pohon ara
yang daunnya berderaian
(2010)
Sebelum Aku Mengenalmu
sebelum aku mengenalmu,
aku seperti penderita glaukoma yang tak berkesudahan.
daun-daun di pohon, tampak kering
tapi tak pernah rontok.
langit mendung berkepanjangan,
dan aku tak dapat membedakan
yang mana warna sungai
dan yang mana warna lautan
betapa aku telah mengkhawatirkan sesuatu
yang tak perlu kukhawatirkan
betapa mata telah mempengaruhi pikiran dan perasaan.
hari-hari seperti batu, menggulung diriku ke sudut-sudut ruang
ruang yang dipenuhi pintalan jaring laba-laba
dan serbuk kayu yang menggunung.
segalanya tampak suram,
sekalipun bunga warna-warni mekar di taman.
(Tanjungkarang, 2010)
Agit Yogi Subandi, alumnus Fakutas Hukum Universitas Lampung, lahir di Rumah Sakit Pertamina Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Kini ia menetap di Kotabumi.