Sajak-Sajak Tengsoe Tjahjono

ulang tahun di wall

52 nyala lilin merambah hutan wall, kecambah pada ladang persemaian
ditiup bersama-sama pada sebuah konser terbuka

tiba-tiba saja ada pesta, peluk-cium kata, gambar-gambar kartun
grafis dengan gambar kepala: sedikit gondrong, redup dan lebam

ada yang menulis: awas, telah berkurang Anda punya usia
aku jawab: tak pernah ada yang berkurang, sebab aku tak pernah tahu berapa tahun jatah usia
siapa tahu hakku hanya 25, lalu cinta memperpanjang sampai kelipatannya

ada yang menulis: semoga awet muda
aku jawab: siapa bisa berdusta pada tempurung musim dan cuaca

lalu terdengar lagu happy birthday pada panggung wall
tanpa lampu, tanpa cahaya
namun sangat bewarna

52 nyala lilin merambah hutan wall, kecambah pada ladang persemaian
ketika senja mengirimkan beranda dan kolam air mancur penuh ganggang dan kecipak ikan

03/10/2010

tak ada yang pantas kucatet
selain waktu

4 x 13

/1/
seorang bayi dari rumah rahim melepaskan perahu kertas melalui pusar bunda
bumi tak seterang kubah plasenta walau matahari selalu memberikan cahaya

perahu tanpa layar diguyur angin timur
menuliskan percik buih pada penampang gelombang
: bumi ternyata labirin petualang

pagi pergi, pagi kembali
debur ombak di wajah
mengkoyak batu karang

/2/
lalu dijahitnya sajak sebelum dibacakan di serambi pertemuan langit dan lautan
burung-burung kutub tak pernah menemukan ranting di jejak cakrawala
sayapnya hangus terbakar cuaca

: hidup adalah perjalanan batu-batu yang menggelinding dari bukit
menyisakan debam pada rawa-rawa

kecipak bunga air catetlah dalam jantung, kirimkan bersama perjalanan darah
ke aorta

/3/
siapa pemenang dalam pertikaian ini, ziarah ini
kata hati atau keinginan diri
seperjuta inci mereka saling memuja sepi

hanya di rawa-rawa ular dan akar-akar
mencoklat di kelam bakau

siap-siap menyorongkan api
ke retinamu

/4/
ini tentu bukan kalender terakhir
kaki langit mengapung di angkasa
menanti ciuman

/5/
kopi selalu menunggu pagi
mengawali jejak yang tak pernah selesai

Malang, 2 Oktober 2010

kopi sore
: herry, pringgo, rodhi

/1/
Ada yang berkunjung ketika sore tinggal menyisakan gelombang kering
peluh memarit di pipi, matahari tergelincir kecemplung kolam penampungan

kita cuma berjalan di pematang menghitung jumlah gelisah atau tanda tanya
mencatatnya di benak dengan arang bekas tungku yang menahun rindu api

“Harus ada yang terbakar, lemak pada pinggul, biola gesek yang melepuhkan nada sunyi.”

/2/
Di meja 4 gelas kopi menebarkan bau sore, asapnya mengepung jantung
kita pun mulai sibuk berhitung

peziarah selalu mencari arah cahaya sebab gelap mengabut di mata, pun di jiwa
kopor-kopor disiapkan sepanjang sore, paspor dan tanda pengenal
sebelum sampai ke rumah abadi

puisi pun ditulis di halte-halte perjalanan seperti embun berkilat sebelum gugur
menguap tanpa jejak

“Mari kita teguk sama-sama kehangatan air hitam sebab dalam gulita kita temukan jendela.”

/3/
Di meja 4 gelas tak lagi punya cahaya. Membeku pada sudut paling senyap
dunia pun dilipat pada perbincangan, disederhanakan jadi kisah padahal hidup sejatinya sejarah

angka-angka berderet di bon dan nota pembelian, kita terselip antara titik dan koma
tak bisa bicara

kopi sore itu
tak pernah memaafkan kita

lidah wetan, 28 Sept 2010

Leave a Reply

Bahasa ยป