Hasan Junus
riaupos.com
Seorang lelaki kaya sedang menunggu ajal tiba. Masih perlukah suatu nama? Baiklah! Nama lengkapnya Artemio Cruz. Sedang terbaring terlentang sekarat menunggu ajal tiba di atas ranjang kema tian di Meksiko. Ia sedang mengalami “nazak” atau “sakaratul maut”, suatu keadaan yang menjadikan manusia berada di titik didih kehidupan. Posisi duniawinya yang terakhir dikenal dengan gelar “Caudillo” yang artinya Sang Pemimpin. Dulu, dulu sekali, pada bagian awal kehidupannya ia cuma dikenal sebagai Artemio Si Tambi karena statusnya sebagai pesuruh di sebuah kantor.
Akan tetapi Artemio Cruz bukan sosok yang pantas disebut “kayu” yang tak berkembang dan terus saja menjadi orang tongong yang kekal dungunya. Ia mengapresiasi setiap perubahan dimulai dari dekadensi sampai pada revolusi. Karena itulah berawal dari seorang tambi ia terus berubah (baca: meningkat) menjadi seorang pemberontak terhadap status sosialnya, lalu menjadi kapitalis yaitu raja dalam industri media-massa di Meksiko.
Pada sepotong langit yang kelihatan di jendela, dan pada langit-langit di atas kepala Artemio Cruz sebuah proyeksi kilas balik perjalanan hidupnya sedang berlangsung. Seperti sebuah film. Ketika seseorang sedang “nazak” menunggu ajal pada waktu itu sudah tak ada lagi perubahan yang layak dan perlu baginya. Cuma tersisa satu kata yang jitu untuk keadaan orang itu: menunggu! Dalam keadaan menunggu itulah kisah Artemio Cruz mengalir.
Artemio Cruz seorang kaya? Kata kaya yang dipadankan di sini mempunyai makna ganda. Ia kaya karena berharta melimpah, dan ia kaya karena punya pengalaman hidup segudang pabrik. Label yang harus ditempelkan di dahinya bermacam neka mulai dari perusuh, pesuruh atau tambi, petualang, pembohong, penipu, pencinta orang-orang susah, si lembut hati, si ganas kejam, dermawan yang tak memilih sasaran, bakhil nauzubillah minal dunia wal akhirah terus sampai menjadi direktur sebuah perusahaan industri persurat-kabaran yang sedang dan sangat jaya-jayanya tiada bertolok dan berbanding dan bersaing di Meksiko dan Amerika La-tin.
Akan tetapi mengapa Artemio Cruz dan bukan orang lain yang berhasil secemerlang dan segemilang itu? Jawabnya ialah: karena uang dalam genggaman Artemio Cruz berkelamin betina. Uang seperti itu kalau dikawinkan secara baik-baik, dipestakan dan dikenduri kan tentulah dia akan beranak; kalau tak dikawinkan baik-baik dia mencari sendiri lelaki (pilihan atau sembarang) dan uang betina yang sangat nakal itupun beranak banyaaaaak sekali tanpa perlu lebih dulu melalui proses pernikahan menurut cara apapun, tanpa doa dan pesta, tapi anak-anaknya yang banyak terus saja tanpa berhenti sejenakpun beranak-pinak tiada berjeda seperti air pasang yang tak pandai surut dan segera berubah menjadi banjir banding yang tak terbendung. Uang betina yang paling ratu cuma ada satu dalam hidup manusia sedunia konon diberikan sendiri oleh sang iblis dengan tujuan untuk menggoda.
Untuk menerangkan keadaan ajal yang mendekat sudah sangat hampir dan nyaris, banyak orang Riau sudah lupa pada kata lama yang diadopsi dari kata bahasa Arab “nazak” yang berasal dari kata naz’ yang menurut Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic (Librairie du Liban, Beirut, 1980 hlm 955) yang berarti “death struggle” atau “agony of death” seperti juga kata padanannya sakaratul maut (hlm 417).
Banyak orang menganggap novel La muerte de Artemio Cruz (“Kematian Artemio Cruz”) sebagai karya Carloz Fuentes yang terbaik. Kisah tidak saja disusun berdasarkan kilas balik atau “flash-back” menurut tokoh yang yang sedang berdepan dengan sang Maut, tapi dilihat dari sudut pandang orang pertama, kedua dan ketiga. Gaya yang sangat mewah dan komplit.
Karya sulung Carlos Fuentes yang terbit buat pertama kali pada tahun 1962 ini ialah sebuah karya pelopor seperti juga kepeloporan yang lain di Amerika Latin telah didahului oleh pengarang Brasil Machado de Assis, dan pengarang Colombia Gabriel Garcia Marquez peraih Hadiah Nobel 1982 bidang kesusastraan.
Dalam menghadapi kematian, pikiran dan perasaan serta kesadaran Artemio Cruz mengembara di ruang masa lampau dan masa kini, kisah berlangsung dengan sudut pandang yang berubah-ubah sesuai dengan keadaan dan pandangan si pencerita. Teknik penceritaan avant-garde yang dilakukan Carlos Fuentes ini hanya bisa terjadi kalau pengarang itu berupaya keras sekali menentang, melawan dan mengalahkan dominasi dan nominasi “tradisi” yang berakar kuat dan mendalam dalam masyarakat. “Nenek moyang sudah berkarya, kini giliran saya!” kira-kira begitulah mereka berkata.
Bagi seorang anak manusia datangnya kematian dapat ditafsirkan sebagai leburnya hubungan dengan dunia. Karena itu pemakaian kata bahasa Melayu untuk keadaan itu memperlihatkan kecerdasan filosofis yaitu “meninggal-dunia”. Meninggal-dunia berarti kembali ke titik nol dengan pengalaman yang komplit. Mulai dari warna dan nada yang bergetar warna-warni pada cinta remaja sampai ke kepedihan dan kehampaan, tawar dan hambar pengalaman pernikahan yang tiada membawa bahagia di tengah limpahan harta. Alangkah hambar dan tawarnya hidup tiada berasa apa-apa, tiada lezat dan tak lezat di lidah kehidupan. Semua itu rupanya molek, indah, nikmat dan lezat sebelum semua itu berhasil diraih.
Hal ini sama dengan pandangan tiga seniman sahabat sehari-hari saya: pelukis, musikus dan sastrawan. Dalam pengalaman si pelukis yang ia tuangkan dalam setiap hari pembicaraan pada setiap kesempatan ia mengatakan bahwa setelah semua warna di palet diberikan ke kanvas melalui kuas maka hasilnya ialah warna putih. Tapi warna putih itu ialah yang kedua, bukan warna putih yang asal.
Si musikus pun mengatakan hal yang sama. Setelah semua bunyi yang ada dalam alam melalui instrumen musik kita tuangkan habis-habis, kering kerontang, yang tersisa ialah kebisuan.
Memang ada ucapan bijaksana seorang filsuf Cina yang mengatakan bahwa setelah sepuluh ribu kata dipakai maka perbendaharaan kata-kata pun kembali lalu ke awalnya. Pengalaman si sastrawan sendiri memang membenarkan hal itu karena itu ia tahu benar bagaimana dan seperti apa rasanya kehilangan kata-kata, kehilangan huruf, kehilangan bunyi, kehilangan semua alat yang dapat membentuk sasaran yang hendak digapainya. Akan tetapi keadaan itu bukan kehilangan yang pertama tapi tahap kesunyian yang kedua. Pengalaman ketiga seniman ini boleh saja dipakai oleh siapa yang hendak menggunakannya tapi jangan sekali-kali dicuri!
***