Warat

Damhuri Muhammad
http://www.sinarharapan.co.id/

Sejak kecil, Warat bercita-cita hendak menjadi guru. Tapi, karena keinginannya tak sama dengan ?kemauan? Tuhan, akhirnya ia menjadi politisi. Lelaki itu tak menyesali nasib, apalagi menolak takdir. Toh, Tuhan telah mengantarkannya pada nasib yang lebih mujur dari sekedar cita-cita guru. Lebih mujur, karena pendapatannya sebagai politisi berlipat-lipat lebih banyak dari gaji guru. Tak lama setelah Warat ?duduk? di kursi parlemen, terlintas di pikirannya untuk berwiraswasta. Namun, Warat gagal. Alih-alih menjadi pengusaha, justru ia menjadi nara pidana (napi).

Susianna, istrinya menggugat cerai karena tidak berkenan menjadi pendamping hidup bagi rampok berdasi seperti Warat. Dipenuhinya saja permintaan itu. Lagi-lagi Warat memaklumi bahwa keinginannya untuk bersetia pada keluarga juga tak sama dengan kemauan Tuhan. Ia pun menduda. Anak-anaknya memilih ikut ibunya, sebab mereka tak hanya malu, tapi juga kecewa pada bapaknya yang tiba-tiba populer setelah menjadi tersangka korupsi. Warat kehilangan istri, anak-anak, harta bahkan kehilangan martabat yang dulu dibanggakannya. Kata temannya, malapetaka itu adalah ujian Tuhan untuk Warat. Jika Tuhan masih memberikan ujian, berarti dia masih menyayangi Warat. Warat pun mempercayai temannya, dan berdoa semoga ia lulus dalam ujian itu.

Selama meringkuk di penjara, mengisi waktu sambil menunggu berakhirnya masa tahanan, Warat kembali terobsesi menjadi guru, cita-cita kecilnya.

?Bapak sudah sinting ya? Napi kok malah pingin jadi guru, ? cemooh temannya sesama napi.

?Maling biasanya akan kembali jadi rampok. Ndak ada rampok yang insaf, lalu jadi guru, ngawur aja!?

Warat diam, meski sedikit tersinggung. ?Ah, persetan!? batinnya.

***

Empat tahun kemudian Warat bebas, meski status napi tak bisa dihilangkan. Alih-alih menghapus kata (itu), malah ditambah dengan kata: ?mantan?, Mantan napi. Lelaki itu begitu terstimulasi ingin menjadi guru. Tapi lagi-lagi Warat tak bisa meraih cita-citanya. Ia gagal lagi. Nasib mengantarkannya menjadi pengamat politik. Analisis-analisis dalam bentuk artikel dan esai yang ditulisnya tersebar hampir di semua harian lokal di kotanya. Kemauan Tuhan untuk Warat selalu berbeda dengan keinginannya. Warat ingin jadi guru, tapi Tuhan menghendakinya jadi politisi. Warat ingin jadi pengusaha, Tuhan ?malah? menghendakinya jadi napi.

Selama menekuni profesi pengamat politik, Warat sering dituding tidak objektif dalam membuat analisis. Cenderung memihak, bahkan dituduh melakukan kampanye terselubung untuk sebuah partai politik. Ada yang berpendapat, Warat tak layak dianggap sebagai pengamat politik, tapi lebih pantas disebut politisi. Karena ?ketidaknyamanan personal? yang dirasakannya, Warat kembali diserang keinginan baru: ingin menjadi politisi saja. Kepalang basah.

****

Kali ini agaknya Warat dapat meraih keinginan itu. Karena ia sudah terdaftar sebagai caleg nomor dua dari parpol tertentu, meski bukan dari parpolnya yang dulu. Setelah menghitung-hitung dan menimbang-nimbang, Warat memprediksi sebuah kepastian bisa ?duduk? kembali di kursi parlemen. Itu berarti, Warat akan menjadi politisi untuk kedua kalinya.

?Tuhan memang menghendaki saya menjadi politisi, barangkali? ungkapnya.

?Tapi, apakah Tuhan masih menginginkan saya menjadi narapida?? ulangnya. Ragu-ragu.

?Ah, tidak! saya tidak ingin itu terjadi. Saya bukan keledai yang jatuh dua kali pada lubang yang sama. Saya mesti berhati-hati. Waspada agar tidak terpikat oleh keinginan-keinginan yang lain, apalagi berbalik pada keinginan menjadi pengusaha.? kata Warat lagi.

Warat baru saja menerima laporan dari ?orangnya? tentang kecemburuan lawan-lawan politiknya. Pada sebuah forum rapat internal partai mereka, diam-diam orang suruhan Warat itu menyelusup.

?Mantan koruptor kok bisa lolos jadi caleg ?? tanya seorang pengurus inti. Sentimen.

?Benar pak, ini tidak fair. Kita mesti complain! Pasti ada yang enggak beres, ? dukung yang lain.

?Percuma!?

?Jangan kuatir, Pak! Saya punya ide.?

?Apa idemu?? tanya orang itu. Penasaran

?Dia cacat hukum. Ijazahnya palsu.?

?Memangnya dia lulusan apa??

?FKIP Pak, jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia?

?Lalu, apanya yang palsu??

?S-1 nya tidak selesai pak, dia drop out. ?

?Lalu titel ?MM? di belakang namanya??

?Apalagi itu pak, titel-titel itu dibeli semua. Palsu !?

?Brengsek!?

?Kita kerjain dia!?

Warat cukup terganggu dan kian resah setelah mendengar rencana-rencana busuk mereka untuk mencemarkan martabatnya sebagai calon wakil rakyat. Warat dicalonkan oleh sebuah parpol besar karena pengalamannya sebagai mantan anggota dewan, (meski ia juga mantan napi). Ia memperoleh kepercayaan itu tidak cuma-cuma, tapi dengan cara memberi sedikit santunan sebagai tanda ?terima kasih?. Jumlahnya tentu tidak perlu dituliskan di sini.

Soal ijazah, musuh-musuhnya benar. Studi strata satu (S-1) Warat memang tidak selesai, karena ia drop out. Namun, setelah Warat menjadi anggota dewan (sebelum jadi napi), rektor bersangkutan berbaik hati mengeluarkan ijazahnya. Tentu saja dengan memberi sedikit tanda ?terima kasih?. Lagi-lagi jumlahnya tentu tidak perlu dituliskan di sini.

Lalu embel-embel MM di belakang nama Warat. Titel itu ?dibeli?-nya pada seorang teman di Jakarta. ?Sekarang banyak kemudahan untuk memperoleh gelar master. Kamu ndak perlu repot-repot ! ikut kelas jauh aja!? kata temannya. Warat diminta mentransfer sejumlah uang (yang lagi-lagi jumlahnya tentu tidak perlu dituliskan di sini). Tak lama berselang, Warat dipanggil ke Jakarta untuk menghadiri wisuda, dan jadilah ia bergelar MM ; Magister Manajemen. Jadi, soal ijazah-ijazah (itu) memang semuanya palsu. Tapi, Komisi Penyelenggara Pemilihan tidak merasa dibohongi. Hampir semua anggotanya memahami kekurangan Warat. Mereka berbaik hati meloloskan Warat. Tentu saja dengan memberi sekadar tanda ?terima kasih?. Lagi-lagi jumlahnya tentu tidak perlu dituliskan di sini.

Apa yang dicemaskan Warat akhirnya datang juga. Musuh-musuh politiknya mendatangi kantor Komisi Penyelenggara Pemilihan. Mengajukan keberatan perihal cacat hukum Warat. Jika tidak ditindaklanjuti, mereka mengancam akan membawa persoalan ini ke meja pengadilan. Koran-koran meng-ekspose berita soal kasus Warat. ?Politisi busuk, dilarang jadi caleg !? demikian judul salah satu berita. Keadaan kian memburuk bagi mulusnya jalan Warat menjadi anggota parlemen. Padahal ia sudah ?habis-habisan?. Ya waktu, ya tenaga, ya uang. ?Sialan !? umpat Warat

?Maaf Pak! Pemilu di kota ini bisa rusuh jika kami tetap mempertahankan Anda,? kata ketua komisi. Tegas.

?Maksudnya?? tanya Warat. Pura-pura tidak paham

?Kami sarankan, sebaiknya Anda mundur saja !?

?Jangan sembarangan kalau ngomong! Saya sudah habis-habisan, masa? saya disuruh mundur. Tidak! Saya tidak akan mundur. Sudah kepalang basah. Akan saya ladeni apapun mau mereka, ? bentak Warat. Sumringah

?Ok! Terserah Anda. Tapi ingat! Jika tidak hati-hati, akibatnya bisa fatal.?
?Pokoknya saya tidak akan mundur. Titik !? balas Warat lagi. Bersikukuh

****

Berselang beberapa hari setelah perdebatan sengit itu, segenap warga kota dilanda resah. Seorang lelaki tua mati mendadak sepulang menghadiri hajatan pernikahan di rumah kerabat dekatnya. Mayatnya tersungkur menelungkup di lantai kamar. Mulut berbusa, mata terbelalak dan lidah terjulur menjulai sampai ke dagu. Kematian yang amat mengerikan. Menakutkan. Menurut desas-desus yang bergulir, seorang tak dikenal dengan sengaja membubuhkan bubuk beracun ke dalam piring makanan sebelum dihidangkan pada korban. Dugaan itu makin kuat setelah pihak berwajib berkesimpulan bahwa motif pembunuhan keji itu adalah dendam.

Korban yang teridentifikasi bernama Drs. Warat Bin Mustajab, MM itu dianggap telah menggunakan cara-cara busuk dengan menyuap anggota-anggota Komisi Penyelenggara Pemilihan agar ia diloloskan sebagai calon anggota legislatif. Padahal ada orang lain yang lebih pantas dan jauh lebih berhak untuk dicalonkan. Akibatnya, Warat pun wafat.

Takdir Tuhan untuk Warat memang selalu berbeda dengan keinginannya. Dulu, Warat bercita-cita hendak menjadi guru, tapi Tuhan menghendakinya menjadi Politisi. Warat ingin menjadi pengusaha, Tuhan ?malah? menghendakinya menjadi napi. Ketika Warat berhasrat hendak menjadi politisi untuk kedua kalinya (setelah jadi napi), ia nyaris saja berhasil meraih keinginannya menduduki kursi parlemen. Tapi, lagi-lagi Warat gagal. Alih-alih menjadi wakil rakyat, ternyata Tuhan justru menghendaki Warat menjadi mayat.

Yogyakarta, September 2004

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *