I Made Prabaswara
http://www.balipost.co.id/
SUATU kali Lingyuan, pengikut Zen, menerima surat dari Wuzu, sang guru Zen. Isi surat bertajuk “Kembali ke Dasar” itu amat pendek: “Ladang telah hancur oleh kemarau, tapi aku tak cemas. Aku hanya cemas oleh kenyataan bahwa siswa-siswa Zen tidak memiliki mata. Musim panas ini terdapat lebih dari seratus, tapi tidak satu pun di antara mereka mengerti cerita perihal anjing tak memiliki hakikat pencerahan. Inilah sesuatu yang pantas dicemaskan.”
Surat pendek Wuzu yang dikisahkan ulang oleh Lingyuan kepada Fozian, murid Wuzu, itu ada baiknya dibaca ulang kini, ketika matahari sasih Katiga yang mencungkup tanah Bali, dan juga Nusantara, mulai menebarkan benih-benih terik kemarau bersamaan dengan gejala alam semesta langka mendekatnya planet Mars ke sumbu bumi. Sasih Katiga ini memang sontak mengakhiri masa gemilang anugerah sasih Karo yang berujung bersamaan dengan Tilem Karo dan Kajeng Kliwon, 27 Agustus lalu, saat di mana juga bersamaan dengan momentum planet Mars berjarak terdekat mendekati bumi.
Esoknya, pananggal apisan, Wrespati Umanis, Matal, 28 Agustus dimulai masa Katiga berketerikan kemarau tajam merajam diiringi jerit tangis manusia kekurangan air sebumi Nusantara. Sasih Katiga ini akan berakhir Wrespati Wage Bala, 25 September nanti, sehari setelah umat Islam di bumi memperingati hari Isra Miraj, 27 Rajab 1424 Hijjriah. Tapi, musim kering kemarau bisa jadi malah memanjang hingga sasih Kapat, Oktober nanti, yang kebetulan masih ngunya Kalima. Curah rahmat anugerah hujan tampaknya baru bakal mengucur pada sasih Kalima, November nanti, yang ngunya Kawulu rawan banjir blabur berbencana longsor dan angin ribut.
Apa gunanya membaca ulang surat Wuzu, kini? Bagi Bali yang kebetulan pada momentum waktu bersamaan dengan dimulainya sasih Katiga, 28 Agustus lalu, resmi melantik pasangan gubernur-wakil gubernur baru, surat Wuzu di tanah Tirai Bambu Cina, itu ada baiknya dibaca-baca ulang sembari merenung-renungkan ulang maknawi risiko bernama Bali. Bukan saja karena alasan Bali dan Cina sesama bertanah bumi Timur, bukan pula sebatas karena alasan Bali dan Cina telah menjalin relasi interaksi akrab intensif sejak abad ke-7 sebagaimana dapat dirunut dari mata uang pis bolong. Surat Wuzu menjadi penting dibaca lagi kini tidak sebatas karena dia berkisah perihal “ladang yang telah hancur oleh kemarau”. Lebih dari segalanya adalah karena jejak mendalam nan panjang pengaruh peradaban Cina di Bali: dia mengingatkan untuk Kembali ke Dasar itu. Persis idem identik dengan maknawi nama “Bali” yang berarti ‘kuat’, ‘kembali ke Dasar Muasal’.
Di titik balik “kembali ke dasar” inilah justru simpul persoalan paling krusial mendasar Bali, dan juga Nusantara, kini untuk menapak mantap ke hari depan gemilang, tidak malah ragu-ragu serba mengambang setengah-setengah hati, sebagaimana kini melazim. Di titik itu Bali mesti merumuskan pasti apa arti maknawi “Dasar” sejatinya, seperti teks-teks babad mengisyaratkan kenapa Pura Dasar Bhuwana Gelgel menjadi amat penting sentral bagi kesemestaan sosio-religius dan spiritual Bali.
Kenapa tetua Bali mesti mewariskan tradisi pujawali, bila bukan diniatmaksudkan sebagai momentum menuntun perjalanan pulang Kembali ke Dasar Muasal dengan puja? Apa arti gelaran Balikrama sebagai tawur saban 10 tahun bila tak sampai menjadi momentum menuntun pemahaman Kembali ke Dasar Muasal kesemestaan ruang kewaktuan? Di zaman industri percetakan sudah teramat maju, akhir dasawarsa 1980-an silam, Thomas Cleary memang lantas menyunting dan menerjemahkan surat Wuzu itu ke dalam bahasa Inggris bersama-sama dengan 145 butir pandangan mendasar seni kepemimpinan Zen, dalam buku Zen Leassons: The Art of Leadership. Thomas mendasarkan karya suntingannya itu dari Chanlin baoxun yang juga kerap disebut Chanmen baoxun, yang berarti: “Ajaran-ajaran Berharga dari Aliran Zen (Chan)”. Ajaran-ajaran Berharga Zen ini sejatinya telah disusun awal abad ke-12 oleh dua mahaguru Zen, Dahui (nama tenar Miaoxi) dan Zhu-an.
Dalam perjalanan waktu, di akhir abad ke-12 tulisan Chanlin baoxun itu dikembangkan lagi oleh mahaguru Zen lainnya, Jingshan, sehingga berbentuk sistematis, sebagaimana bisa dibaca Thomas Cleary. Lima ratus tahun kemudian beragam ulasan atas teks itu pun ditulis di negeri Cina. Tapi, bangsa Matahari Terbit, Jepang, malah telah menerbitkan teks ini jauh sebelumnya, tahun 1279, atau hampir seabad setelah teks ini disusun ulang secara sistematis.
Teks ini memang berisikan ajaran-ajaran mahaguru-mahaguru aliran Zen di masa awal Dinasti Song. Menyelami lebih dalam teks ini terasa benar pembaca sedang mereguk air samudra kepribadian mahaguru kehidupan yang amat sangat tidak biasa, dengan logika serba berbalik-balik. Para pemimpin yang berkecerdasan budi dan berpencerahan moral pas-pasan, apalagi amat sangat minus, niscaya akan langsung merasa dirajam teramat tajam oleh teks ini, layaknya bumi ditikam kemarau sasih Katiga kini.
Cermati saja, bagaimana Wuzu memetaforakan kecemasannya terhadap sang pemimpin yang tiada berpencerahan moral dan spiritual dalam menjalankan kekuasaannya dengan simbolik “anjing tiada berhakikat pencerahan”. Dalam persepsi susastra Kidung Tantri Kamandaka, watak ulung unggul anjing adalah amoral, culas, menghasut, licik, rakus. Dalam versi pembacaan tanda-tanda zaman susastra geguritan Purwasanghara Raja Badung Cokorda Ngurah Made Agung, para anjing bukan saja amoral, tapi juga gemar bernikmat-nikmat bau dan kondisi busuk, penjilat, membalik fungsi lidah menjadi dubur (lidahe kadi bol).
Dan, orang sekitar yang membiarkan “anjing tiada berhakikat pencerahan” itu berkeliaran dilukiskan Wuzu dengan personifikasi amat ironis: siswa-siswa Zen yang tidak saja buta, tapi bahkan tidak memiliki mata. Maknawi mata dalam visi Wuzu tentulah tidak sebatas mata ragawi, melainkan lebih sublim lagi menembus pengertiannya sebagai mata budi nurani berkecerdasan rohaniah.
Di sana Wuzu, sebagaimana dilukiskan Lingyuan kepada Fojian, memang sangat berbeda. “Jika engkau membandingkan dirinya dengan mereka yang mencemaskan kuil-kuil tidak terawat, dengan mereka yang takut pada kecaman pejabat tinggi, dengan mereka yang khawatir pangkat mereka tidak dinaikkan, ataupun dengan mereka yang takut tidak akan mendapatkan pengikut banyak, ia sungguh berbeda tinimbang semua itu, layaknya langit berbeda dengan bumi,” nilai Lingyuan.
Maka, kepada para siswa, manusia-manusia pembelajar moral, Lingyuan bertutur, “Pada waktu engkau memotong dan melicinkan seonggok batu, dengan menggiling lalu mengasahnya, engkau tidak melihat batu itu bertambah kecil. Tapi oleh waktu, batu itu akan terasah. Pada waktu engkau menanam sebatang pohon dan merawatnya, engkau tidak melihatnya tumbuh, tapi pada waktunya ia menjadi besar.
“Ketika engkau mengumpulkan kebajikan dengan latihan terus-menerus, tiada henti, engkau tidak melihat manfaatnya, tetapi pada waktunya ia akan bermanfaat. Jika engkau meninggalkan kebajikan dan menentang kebenaran, engkau tidak melihat betapa jahat hal itu, tetapi pada waktunya engkau akan lenyap.”
Kembali ke Dasar, karena itu, adalah upaya kerja tahap demi tahap, tiada henti, mengasah batu budi nurani. Di dasar budi nurani itulah Sang Mahahidup telah menyediakan kampus raya lengkap dengan kurikulum, mahaguru, perpustakaan, dan laboratorium mahasempurna. Di sana masing-masing manusia menjadi mahasiswa tunggal, bukan “siswa-siswa yang tidak memiliki mata”, tidak sanggup lagi membuka pintu ruang budi nurani. “Inilah jalan yang belum berubah, kini, dan juga selamanya,” simpul Lingyuan.