dalam Rangka Bulan Bahasa di Kota Malang
Denny Mizhar*
Sehabis mengantarkan murid-murid saya ikut lomba yang diadakan perkumpulan guru bahasa dan sastra Indonesia SMA/SMK/MA se-kota Malang pada hari selasa tanggal 2 November 2010. Acara tersebut di buka oleh sekertaris Diknas Kota Malang, dengan mengatakan pentingnya lomba dan mempertahankan bahasa Indonesia. Sehabis itu kepala sekolah SMAK Albertus juga memberikan pidatonya tentang pentingnya bahasa sebagi identitas, karena pada akhir-kahir ini banyaknya pengrusakan pada bahasa Indonesia. Beliau mencontokan kata ?nanti? berubah menjadi ?entik?. Setelah itu di lanjutkan beberapa lomba. Saya hanya mengikuti sampai selesai lomba mengulas karya sastra, ada beberapa buku yang diulas oleh peserta lomba. Lomba mengulas sastra yang awalnya dengan hasil berbentuk artikel, esai, kritik sastra. Tetapi ada kelonggaran buat yang sekolah kejuruan, panitia menambahkan satu lagi bentuk ulasannya yakni resensi. Di lombah inilah ada pertanyaan-pertanyan ganjil, soal penilaian pada peserta lomba.
Karena muridku bersekolah dikejuruan dan saya mengantarkan serta mendampinginya, menjadi tahu aktivitas lomba tersebut. Bukan kecewa karena muridku tak ada yang menang hingga saya mempertanyakan keobyektifan penilaian lomba. Saya mengamati, ketika peserta-peserta menyampaikan hasil resensinya. Pertanyaan-pertanyaan dari juri pada peserta juga menjadi pengamatan saya. Memang, ada peserta yang bagus dalam meresensi dan kejujuran menulis dan mengeksplorasi gagasan dari pembacaannya hingga hasil dari resensinya mampu disampaikan dengan baik juga mampu melakukan kritikan terhadap kekurangan buku. Saya tidak mempermasalahkan ketika peserta yang menang memang layak menang dan menguasai benar isi buku dan bukan hanya baca separuh, itupun dibaca saat momen lomba saja. Saya tidak ingat detail siapa meresensi buku apa. Satu peserta menarik resensinya menurut saya adalah yang meresensi kumpulan cerpen “Mereka Bilang Saya Monyet” karya Jenar Maesa Ayu. Peresensi tersebut mengusai betul isi buku, gagasan cerita dan melakukan kritik pada buku tersebut. Selain itu dia tau judul-judul yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut. Layak, kalau peresensi ini mendapat juara. Tetapi menjadi heran adalah peserta yang meresensi buku kumpulan cerpen “Saksi Mata” karya Seno Gumira Ajidarma. Peresensi hanya membaca satu cerpen yang judulnya sama dengan judul bukunya yakni “Saksi Mata” dan mengetahui covernya dari browsing di internet masuk dalam tiga besar. Padahal dalam buku kumpulan cerpen tersebut ada 17 cerpen. Apa memang itu sebuah keringanan untuk murid SMK hingga membaca satu cerpen saja itu bisa dianggap mengetahui isi buku secara keseluruhan, atau hanya satu cerpen dapat mewakili seluruh cerpen dalam buku tersebut(?). Saya mengetahui itu dari presentasi hasil, pertanyaan juri pada peserta dan peserta mengakui bahwa tidak tahu bukunya, hanya satu cerpen yang di kasih gurunya dan di cocokkan dengan browsing di internet untuk mencocokkan apa benar karya Seno.
Memang, untuk mendapat kemenangan adalah hak juri. Semua kembali pada prosedur penjurian. Tetapi menurut saya hal tersebut adalah pembelajaran yang buruk buat peserta. Padahal juri-jurinya adalah guru-guru SMA di kota Malang. Selain itu, dari sepuluh besar yang masuk ada yang tidak ada judulnya. Padahal saya melihat beberapa peserta yang tidak masuk sepuluh besar memberi judul resensi tersebut. Hal tersebut juga saya lihat pada pertayaan dan presentasi peserta lomba. Saya juga bertemu salah satu peserta yang tidak masuk list namanya padahal dia mengirimkan dan mendaftar pada lomba tersebut. Hal tersebut juga diungkap oleh guru pembinanya bahwa dia memasukkan karyanya untuk ikut lomba tetapi di tidak ada dalam list nama-nama yang ikut menjadi peserta lomba. Menjadi kesalahn siapa juga saya tidak tahu. Saya hanya mengamati secara subyektif dan mendekatkan pada obyektifikasi pada realitasnya.
Menjadi kegelisahan saya sebagi pecinta dunia tulis menulis dan seni sastra yang tengah mengamati lomba menulis resensi siswa SMK se kota Malang. Bukan saya tidak terima atas kekalahan murid saya, memang murid yang saya bina tidak sepenuhnya berhasil menulis resensi. Tetapi, saya mensyaratkan harus membaca keseluruhan isi buku dahulu baru menulis resensinya.
Semoga acara lomba tersebut menjadi pembelajaran ke depan bagi perkumpulan guru bahasa dan sastra Indonesia SMA/SMK/MA se kota Malang. Agar lomba tidak hanya menjadi ajang menang kalah tetapi ada pelajaran yang dapat dipetik oleh peserta lombanya. Menang dan kalah itu karena koobyektivan penilaian bukan seperti yang dikatakan oleh salah satu juri di akhir penutupan presentasi karya “Bahwa yang menang kerena mendapat nasib baik”. Tetapi karena kesunguhan dari peserta serta kemauan untuk belajar peserta. Akhirnya budaya baca, budaya menulis bisa menjadi kebiasaan siswa dan dilakukan dengan kritis.
*) Guru Seni-Budaya SMK Muhammadiyah 2 Malang.