Dad Murniah *
Republika, 4 Nov 2007
INGATKAH Anda dengan gagasan sastra kontekstual yang dilontarkan Arief Budiman? Arief memang dikenal dengan pandangan-pandangannya yang sangat kritis. Ia tidak hanya menggugat universalitas sosiologi dan ekonomi-politik, tapi juga sastra. Terhadap sastra universal yang dianut oleh para sastrawan utama sampai 1980-an, ia memperkenalkan sastra kontekstual, yang ia gelorakan dalam berbagai diskusi.
Bagi Arief, sastra yang baik bukanlah sastra yang indah, tapi sastra yang berarti. Yang indah adalah sesuatu yang bersifat inderawi, sedangkan yang berarti memiliki makna mendalam lebih dari sekadar kesan ragawi. Sementara itu, cita-rasa dan budaya manusia sangat beragam, yang bisa sangat berbeda dari satu daerah dengan daerah lain, dari satu negara dengan negara lain.
Dalam konteks inilah, sastra universal kehilangan arti, karena ia mengandaikan bahwa nilai sastra mengatasi tempat dan waktu. Sastra yang baik, menurut Arief, adalah sastra yang mampu mengakomodasi nilai-nilai lokal, karena hanya dengan itulah, sastra tersebut menjadi bermakna, punya arti. Sastra universal sesungguhnya adalah dominasi cita rasa dan penilaian Barat.
Arief mengkritik para sastrawan kita yang dinilainya kebarat-baratan, yang hanya memproduksi karya sastra untuk konsumsi kalangan elit dan kelas menengah. Para sastrawan ini telah menjadi orang-orang asing di negerinya sendiri. Padahal yang perlu dilakukan para pengarang kita adalah membuat karya sastra yang bisa dinikmati para petani, nelayan, dan orang-orang yang punya pijakan kuat dalam bumi Indonesia.
Gagasan Arief tentang sastra kontekstual mendapat tanggapan dari banyak kritikus sastra maupun sastrawan. Sebuah buku yang disunting Ariel Heryanto (Perdebatan Sastra Kontekstual, 1985), merekam perdebatan ini dengan baik. Terlepas dari apakah gagasan Arief tentang sastra kontekstual ini diterima atau ditolak, yang patut dicatat di sini adalah bahwa penolakan Arief terhadap sastra universal sangat kuat dipengaruhi pandangannya tentang teori struktural.
Demikianlah, kaum sastrawan “tinggi” kita, kata para pengusung sastra kontekstual yang dimotori Arief itu, mengejar sastra universal yang dipandang menurut tolok ukur sastra dunia; sastra yang tak terikat waktu dan ruang. Menurut kaum kontekstualis, sastra universal sesungguhnya tidak ada, kecuali sebagai kedok ideologis sastrawan yang hendak bergabung dalam kelas dominan. Gantinya adalah sastra kontekstual, yaitu sastra dengan muatan kesadaran kelas atau yang terikat kepada golongan pembaca tertentu.
Harus diakui, dasawarsa pertama Orde Baru, karya-karya yang terbit mulai banyak menyuarakan sastra daerah meskipun tema pokok yang dibahas belum menunjukkan pergeseran. Novel-novel yang terbit pada paruh pertama hingga pertengahan 1970-an, menampilkan serentetan gejala lokal melukiskan tatanan sehari-hari, seperti keluarga, kepercayaan, ritual, dan kebiasaan sebuah komunitas.
Hal ini bisa kita lihat dalam novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan dan Khotbah di Atas Bukit (1976) karya Kuntowijoyo, misalnya. Memasuki dasawarsa pertama 1980-an, suara lokal dalam sastra Indonesia masih berkutat pada persoalan nilai tradisional dan modern dan belum mampu melahirkan sastra lokal sebagai strategi kultural dalam mengimbangi sastra pusat.
Kecuali novel tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-burung Manyar (1981), dan Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1983) karya YB Mangunwijaya, Bako (1983) karya Darman Moenir, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, untuk menyebut beberapa contoh, masih berkutat pada persoalan ritual, agama, dan kekerabatan.
Dalam novel Bumi Manusia (1980) secara simpatik Pram menampilkan watak Minke yang lebih menyukai bahasa Melayu ketimbang bahasa Jawa dan Belanda meskipun ia menguasai kedua bahasa itu. Pram menekankan pentingnya penggunaan bahasa Melayu sebagai salah satu faktor penyatuan bangsanya dalam tetralogi ini.
Dia mengutarakan pandangan itu melalui watak-watak yang muncul dalam karya tersebut, khususnya watak Minke. Pada awal ceritanya, Minke dilukiskan menulis makalah untuk sebuah surat kabar dalam bahasa Belanda daripada bahasa Jawa dan bahasa Melayu karena dia menerima pendidikan di HBS (Hogere Burger School).
Namun, watak Minke menunjukkan dengan keras ia ingin menulis dengan bahasa Melayu, bukan Jawa apalagi Belanda. Bahasa dalam Bumi Manusia menjelma sebagai sebuah perlawanan atau siasat kolonialisme dan kekuasaan kaum feodal. Ini terlihat dengan jelas lewat dialog tokohnya:
“Sekali Tuan mulai menulis Melayu, Tuan akan cepat dapat menemukan kunci. Bahwa Tuan mahir berbahasa Belanda memang mengagumkan. Tetapi bahwa Tuan menulis Melayu, bahasa negeri Tuan sendiri, itulah tanda kecintaan Tuan pada negeri dan bangsa sendiri…. Siapa yang mengajak bangsa-bangsa pribumi bicara kalau bukan pengarang-pengarangnya sendiri seperti Tuan?” (hlm 104).
Watak utama Minke digambarkan Pram sebagai seorang pelopor yang amat menghargai bahasa Melayu sebagai bahasa yang digunakan dalam surat kabar dan organisasi-organisasi baru. Bahasa Melayu sudah lama berfungsi sebagai alat komunikasi dalam masyarakat, baik yang mengenal aksara maupun masih niraksara.
Dengan demikian, bahasa Melayu dapat mengambil peranan penting di kepulauan Nusantara. Apabila Minke bertemu Ketua Cawangan Palembang Syarikat Dagang Islamiah dalam perjalanan yang diadakan untuk melihat perkembangan organisasi itu dari dekat, ia menjelaskan perlunya menggunakan bahasa Melayu seperti terungkap dalam novel Jejak Langkah (1985).
Munculnya perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan 1980-an memang tak bisa dilepaskan dengan novel tetralogi karya Pram itu. Sejak munculnya karya tetralogi dan disambut perdebatan sastra kontekstual, terjadi perubahan cukup radikal dalam menyuarakan identitas lokal dalam sastra Indonesia.
*) Dad Murniah, Dosen, peneliti dan kepala Subbid Informasi dan Publikasi Pusat Bahasa.