Pemimpin dan Budaya Malu

Robi Cahyadi Kurniawan
http://www.lampungpost.com/

Tulisan ini terinspirasi oleh suksesi (pergantian) kepemimpinan di negeri matahari terbit, Jepang. Kepemimpinan di Jepang dalam hal ini pergantian perdana menteri, telah berganti lima kali, dalam kurun empat tahun terakhir ini. Pergantian itu juga diwarnai oleh skandal dan tekanan publik. Rekor pergantian pemimpin, khususnya perdana menteri di Jepang dalam 20 tahun terakhir ini adalah 14 kali.

Bangsa Jepang, terkenal sebagai bangsa yang ulet dan tangguh. Tradisi budaya nenek moyang dijaga dengan baik, serta mengakar sangat dalam, termasuk budaya berkorban yang tinggi, rasa tanggung jawab dan rasa malu. Kamikaze misalnya, serangan bunuh diri awak pesawat Jepang terhadap kapal laut sekutu pada perang dunia II.

Harakiri, adalah contoh lain, yakni bunuh diri dengan menusukkan belati atau samurai ke perut, jantung atau pembuluh darah di leher. Orang Jepang melakukan ini karena kehilangan kehormatan akibat aib, kejahatan, atau menganggap gagal menjalankan kewajiban yang diemban.

Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang pernah dijajah Jepang selama kurun waktu empat tahun tidak dapat belajar budaya itu. Kondisi yang sama dengan penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama 3,5 abad di tanah air yang tidak berbekas. Terlepas dari bangsa kita adalah bangsa jajahan, namun setidaknya hal-hal positif dapat dijadikan sebuah contoh.

Antiklimaks, itulah yang terjadi pada negeri kita. Dukungan sumber daya alam yang melimpah, sumberdaya manusia yang banyak serta budaya beragam disertai dengan adat ketimuran dan sokongan agama-agama samawi tidak mengubah perilaku bangsa. Budaya malu seolah hilang dimuka bumi Indonesia.

Kekuasaan menjadi magnet kuat yang melemahkan dan melunturkan rasa malu banyak pemimpin dan publik kita. Kebebasan dan hak politik menjadi tameng besar bagi para elit untuk bermain-main diranah kuasa melalui mekanisme pemilu. Kontestasi elite yang mengajukan diri dan percaya diri untuk maju dalam mekanisme pemilu menjadi barometernya.

Latar belakang elite yang berbeda, dengan track record yang tidak tergambar dengan jelas membuat publik seperti membeli kucing didalam karung. Kegagalan elite-elite itu dalam memegang amanah kuasa sebelumnya dianggap sesuatu yang wajar saja, bahkan diabaikan. Kasus ijazah palsu untuk maju dalam pilkada, pernah tersangkut masalah pidana, perilaku seksual menyimpang, korupsi besar-besaran dahulu ketika menjabat, sedikit dari beragam kasus para pemimpin kita baik ranah lokal maupun nasional.

Para pemimpin yang sepatutnya kita teladani seolah berjalan pada rel mereka sendiri, nalar yang berbeda dan juga keinginan yang tidak sejalan dengan kondisi sosial sekitarnya. Contohnya, ketika kondisi masyarakat kita masih dalam tahap memperbaiki kondisi ekonomi. Anggota dewan sebagai wakil rakyat, dengan tenang meminta dana aspirasi Rp15 miliar sebagai dana konstituen atau Rp1 miliar untuk pengembangan desa.

Perilaku nyeleneh lain juga sering muncul. Belum hilang rasa kesal akibat akan dinaikkannya harga premium sepeda motor, harga tarif dasar listrik diatas 900 va juga akan naik. Mungkin juga bersamaan dengan naiknya harga elpiji 12 kg.

Akibatnya, efek domino akan muncul, harga-harga bahan kebutuhan akan merangkak naik. Daya beli rakyat menurun, kemiskinan meningkat bahkan angka kejahatan mungkin semakin naik. Rasanya aneh jika semua hal ini tidak difikirkan oleh pelaku dan pembuat kebijakan (pemerintah).

Pemimpin di ranah lokal, khususnya birokrasi tidak mau ketinggalan. Kasus beras impor busuk yang dilakukan oleh Bulog Lampung untuk rakyat miskin sangat menyayat hati. Betapa teganya, para birokrat pelayan rakyat melakukan hal itu.

Kesempatan publik menuntut haknya seperti hak hidup layak, hak kesehatan, pendidikan, perumahan serta pekerjaan seolah terabaikan. Ironisnya kesemuanya itu tiba-tiba akan muncul dan menjadi buah bibir para calon pemimpin, hanya pada saat menjelang kampanye atau menghadapi pilkada pada daerah masing-masing. Sekali lagi, tidak malu menjanjikan hal-hal muluk, yang tidak ada realisasinya.

Pemimpin, dengan segala definisinya adalah sebuah amanah. Seorang pemimpin harus dapat dijadikan sebuah panutan dan contoh yang baik. Kejujuran, rasa tanggung jawab, akhlak dan rasa malu mutlak diperlukan para pemimpin kita di negeri ini. Dengan rasa malu, seorang pemimpin akan selalu sadar bahwa dirinya adalah pribadi biasa yang sama derajat dan posisinya di mata masyarakat.

Rasa malu akan membuat para pemimpin selalu berpikir akan inovasi dan kreasi baru guna kemaslahatan umat. Sekali lagi, rasa malu wajib dimiliki oleh para pemimpin kita dan juga semua calon pemimpin yang akan bertarung dalam pemilu diranah lokal guna menciptakan masyarakat yang lebih baik dari hari ini.

*) Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *