Sapardi Menulis Uban

Qaris Tajudin
korantempo.com

Dalam Kolam, Sapardi Djoko Damono seperti ingin menegaskan apa yang sudah dicapainya.

Sapardi Djoko Damono menerbitkan buku puisi baru. Judulnya Kolam. Jika Anda seorang pencinta, jangan harap menemukan puisi-puisi romantis–yang kerap dikutip dalam undangan pernikahan dari buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni.

Jika Anda menginginkan kejutan, jangan harap Sapardi menjadi seperti Sutardji Calzoum Bachri. Sebab, dia memang tak pernah membuat revolusi. Tapi, jika Anda ingin mendengar apa yang dipikirkan Sapardi pada masa tuanya, bacalah 51 puisi di buku baru itu.

Di sana dia terdengar seperti orang yang memang berusia 69 tahun. “Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan menjadi tua juga akhirnya?” dia menuliskan dalam Pohon Belimbing.

“Membaca Sapardi adalah ibarat membaca usia sehelai rambut yang tiba-tiba memutih di kepala kita. Kita tak tahu pasti kapan rambut itu menguban; yang kita tahu bahwa waktu pasti telah lama mematangkannya, membuatnya tua dan berbeda, meski ia ada dan tetap ada di sana,” demikian kata Muhammad Al-Fayyadi, penulis asal Yogyakarta, yang Senin lalu–bersama penyair Hasan Aspahani–menjadi pembicara diskusi buku Kolam di Komunitas Salihara, Jakarta.

Sejumlah puisinya dalam Kolam terlihat seperti “kepanjangan tangan” dari puisi Metamorfosis yang dia tulis pada 1981. Kini dia bicara lagi tentang orang yang menatap cermin dan merasa waktu seharusnya berlari. “Bayangkan seandainya yang kau lihat di cermin pagi ini wajahmu sendiri yang itu-itu juga, yang tak kunjung habis meski telah kau kupas dengan ganas selembar demi selembar setiap hari.” (Bayangkan Seandainya)

Puisi lainnya menggambarkan proses penuaan yang disadarinya, seperti daun yang menguning, jatuh ke dalam kolam, dan membusuk (Kolam di Pekarangan). “Kadang kala ia merasa telah melewati pintu demi pintu./Merasa lega telah meninggalkan suatu tempat dan tidak hanya tetap berada di situ.”

Lalu, muncullah kenangan-kenangan dari masa lalu yang membuatnya begitu sepi di masa tua. “Ingin sekali bisa merindukan dirinya sebagai kuncup.” Karena, di masa tua, apinya telah meredup: “Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang dan tahu: api dalam tubuhmu tinggal bayang-bayang.” (Sonet 6)

Dan dia pun diingatkan akan kematian yang mungkin segera datang. “Kalau nanti aku, alhamdulillah, harus pergi semua masih akan tetap tinggal bersamamu.” (Segalanya)

Sapardi mungkin menginginkan kematian yang sederhana, tanpa kehebohan. “Sungguh, tidak diperlukan selamat datang atau selamat tinggal.” (Pintu)

Sapardi masih mempertahankan gayanya sebagai penyair lirisisme dan imajisme yang dibalut dalam gaya prosaisme. Kalimat panjang, kadang tanpa jeda koma, yang ditulis dalam satu bait menyerupai sebuah paragraf. Meski ada bentuk soneta–15 soneta–dalam Buku Dua di Kolam–satu buku yang dibagi dalam tiga buku itu.

Dalam dialog di Salihara, malam itu, Aspahani melihat Kolam sebagai kumpulan gaya-gaya Sapardi terdahulu, sejak Duka-Mu Abadi hingga Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?. “Saya melihat Sapardi dengan sajak-sajak di buku ini seperti hendak menegaskan apa yang sudah ia temukan dalam perjalanannya menyair. Ia seakan ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa baru saja ia menuliskan itu semua. Banyak sajak yang serta-merta mengingatkan saya pada sajak-sajak lamanya,” kata Aspahani.

Sapardi seperti pohon rambat yang sudah sampai di ujung anjang-anjang: “Dan belalainya mulai berpikir ke mana lagi harus mendaki untuk menunjukkan bahwa apa yang sudah kau kerjakan itu tidak tampak sia-sia.”

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *