Tubuh Kinan

Syaiful Irba Tanpaka
http://www.lampungpost.com/

SETIAP kali mengalami orgasme aku selalu memejamkan mata. Kurengkuh tubuh Kinan. Kudekap erat-erat. Kunikmati kehangatan yang mengalir dari tubuhnya ke tubuhku. Dan perlahan-lahan kurasakan seluruh tubuhku menjadi basah. Bahkan bukan sekadar basah, karena kemudian aku merasakan bukan lagi berada di atas tubuh Kinan; tapi seperti terapung di atas lautan, terayun-ayun dimainkan ombak, air asin yang terjilat. Aku terhanyut dan mengalir entah ke mana.

Seluruh tubuhku basah. Kinan mencair bagai lautan. Rasa asinnya seakan terasa di lidah, terus mengalir lewat kerongkongan dan menusuk-nusuk jiwaku. Untuk beberapa saat aku kehilangan tubuh Kinan. Yang kurasakan cuma kehangatan. Ya! Kehangatan air laut yang mendekap. Betapa asin. Seperti sesuatu yang pernah kulihat dan kurasakan setiap kali aku berenang di pantai. Genangan air yang rasanya asin tidak saja seperti air laut, tapi juga seperti air mata. Ya! Memang lebih tepat jika rasa asinnya kukatakan seperti air mata. O, genangan air mata yang kudekap di atas ranjang!

Dan aku terapung-apung mengalir entah ke mana. Seakan dipermainkan ombak lautan lepas. Lautan air mata! Dengan rasa asin yang menjilat-jilat. Duhai! Sejauh mata memandang hanyalah kaki langit. Lalu pelangi berlintasan di cakrawala. Berwarna-warni. Sepertinya begitu dekat tapi tak pernah mampu kugapai. Kecuali hanya untuk kupandang dalam mata yang terpejam, hingga perlahan-lahan aku membuka mata, kulihat Kinan tergolek di sisiku. Terdengar suara desahnya yang lirih. Begitu lirih bagai deburan ombak malam hari menyanyikan kesunyian buih-buih.

Kinan menatapku dengan bola mata yang pasrah. Kadang bola matanya yang bundar itu berkaca-kaca. Kadang bercahaya penuh kemanjaan. Kadang menerawang penuh misteri. Berlama-lama tatapan serupa itu ditujukan kepadaku. Dan selalu sesudah itu aku membelai-belai rambutnya yang hitam dan panjang sampai ke tumit kakinya sambil aku berbisik di telinganya: ?I love you.”

***

Kinan gadis yang cantik. Aku bertemu dengannya pertama kali di depan sebuah mal saat hujan turun dengan deras. Ia berdiri sambil memperhatikan kaki hujan yang menari-nari di lantai terbuka. Wajahnya muram. Tatapannya jauh menembus cakrawala. Dan dia cukup terkejut mengetahui aku berdiri di sisinya. Aku mencoba mengajaknya tersenyum. Dia balas tersenyum. Lalu kami terlibat dalam perbincangan yang dimulai dengan basa-basi tapi selanjutnya menjadi akrab. Dan Kinan tidak menolak ketika kuutarakan keinginanku untuk mengantarnya pulang. Kami makan di sebuah kafe terlebih dahulu.

Sejak itu aku sering bertemu dengan Kinan. Tepatnya kami janjian untuk bertemu. Kadang kami pergi jalan-jalan ke tepi pantai. Makan di kafe atau restoran. Nonton film. Berenang. Main game di warnet. Atau sekadar mutar-mutar di jalan raya. Dan semua itu membuat hubunganku dan Kinan semakin intim.

“Andai saja aku bertemu denganmu jauh sebelum ini,” cetus Kinan suatu ketika saat kami berdua. Lalu ia terdiam membiarkan angin senja mengusap pepohonan sepanjang pantai. Atau dia memberi kesempatan untukku merespons ucapannya?

Tapi mulutku masih terkunci memandangi wajahnya yang serupa pelangi dilingkungi mendung. Seakan kulihat sebuah misteri yang melambai. Dan aku mencoba untuk menembus lorong panjang yang terbuka di kelopak matanya yang indah itu. Lorong bundar dan gelap. Dan aku tak pernah bisa membacanya.

Tak lama kemudian Kinan melanjutkan kata-katanya. “Mungkin segalanya terasa begitu indah dan menyenangkan,” Kinan menatap ke arahku dan tersenyum. Aku balas tersenyum.

***

Hari-hariku bersama Kinan memang terasa begitu indah dan menyenangkan. Jauh lebih indah dan menyenangkan dibanding hari-hari bersama istriku. Mungkin inilah sebabnya mengapa orang-orang suka mengatakan “selingkuh itu indah”. Karena menawarkan sesuatu yang baru. Karena segalanya begitu romantis. Karena penuh dengan muslihat. Ya, penuh dengan muslihat!

Betapa tidak! Kau harus pandai-pandai membagi waktu atau mungkin lebih pas “mencuri-curi waktu” bila kau punya selingkuhan. Agar selalu bisa berdekatan. Agar selalu bisa survive berkencan. Dan ini memerlukan siasat yang jitu. Memerlukan kecerdasan untuk me-manage-nya. Sebab itu, menurutku “muslihat” merupakan estetika tersendiri yang menjadi bagian keindahan dari dunia perselingkuhan.

Begitulah keindahan dan keriangan itu kureguk bersama Kinan. Bila berduaan seakan tak habis gairah untuk ditumpahkan. Bila berjauhan seakan tak habis rindu untuk diungkapkan.

“Sayang…, dah mam belum?” tanya Kinan melalui hape.

“Sudah sayang… Kamu…?”

“Ako juga sudah. Gi ngapain kamo sekarang?”

Kinan selalu mengucapkan kata “aku” menjadi “ako” dan kata “kamu” menjadi “kamo” untuk menunjukkan kemanjaannya. Buatku itu suatu hal yang cukup menarik dan menyenangkan. Karena ternyata dunia cinta juga mampu memberikan sumbangan terhadap pengayaan bahasa.

“Biasa, lagi rehat baru selesai makan. Kamu ga sekolah?”

“Sekolah dong, ini baru mo berangkat. Kalo ga sekolah tar jadi bodo, hehe….”

“Bodo apa bobo…?”

“Ich mauuu… Hehe… Sayang, kangen…”

“Sama dong!”

“Kapan kamo pulang…?”

“Lusa. Besok masih ada meeting.”

“Jangan lupa ya oleh-olehnya, salak pasir.”

“Kamu ga mau kaus joger?”

“Ya iyalah Sayang, sama kaus joger juga. Truuss….”

“Terus apa?”

“Tapi janji dulu kamo mau memenuhi permintaan ako.”

“Iya, iya, apa sih yang ga buat kamu?”

“Kalau kamo pulang, kamo harus temui ako dulu ya. Kalau kangen ako sudah hilang, baru dech kamo boleh pulang ke rumah.”

“Tapi….”

“Tu kan boong. Katanya semua buat ako!”

“Bukan begitu, Sayang. Tapi aku sudah bilang sama “orang rumah” kalau aku pulang lusa.”

“Bodolah! Ako ngambek!”

Kinan mematikan hape. Tut…, tut…, tut…

***

Kinan memang suka bermanja. Bahkan seringkali berlebihan. Seorang temanku bilang begitulah jadinya kalau aku selalu menuruti keinginannya.

“Sudah lagi, Bro. Sayangi istri dan anakmu. Kinan itu anak ingusan. Dia bukan cinta kepadamu, dia cuma butuh uangmu!”

Dipikir-pikir, betul sungguh ucapan temanku itu. Lantaran perbedaan usiaku dengan Kinan yang begitu jauh. Terkadang aku suka risih juga bila berjalan berdua dengan Kinan di tengah keramaian. Dalam kesendirian aku terkadang merenung-renung. Apa sebetulnya yang sedang kujalani bersama Kinan?

Aku tidak tahu; apakah ini kemenangan atau kekalahan. Atau justru kemenangan dan kekalahan itu sudah menjadi dua sisi mata uang yang memberi nilai bagi kehidupanku. Di satu sisi aku merasa meraih kemenangan dengan mendapatkan Kinan. Tapi di sisi lain aku merasa mengalami kekalahan karena lunturnya kesetiaan terhadap istriku. Ach! Apakah Kinan yang telah merebutku dari diriku, atau justru aku yang menyerahkan diri kepadanya. Aku merenung-renung.

“Kau ini orang cerdas, Bro. Kau dipercaya memegang jabatan yang cukup bergengsi. Tapi kau cuma cerdas secara intelektual. Tidak cerdas secara emosional dan spiritual. Kau dipecundangi anak ingusan,” ungkap temanku.

Kurang ajar! Aku sempat tersinggung dibuatnya. Ingin aku meninjunya kalau saja aku tidak takut dibilang emosiku idiot. Tapi dipikir-pikir; betul sungguh ucapan temanku itu.

“Awalnya aku hanya merasa kasihan pada Kinan, Bro,” aku berkilah.

“Ya, kemudian emosimu menjadi buta. Karena kesombonganmu yang mengukur segalanya bisa dibeli dengan uang. Kau bukan sedang berbagi kesenangan untuk sesama, tapi kau sedang mengejek kemiskinan. Kau tahu itu?” lanjut temanku.

“Terserahlah kau mau bilang apa, Bro. Kau membuatku jadi gamang.”

“Hahaha…., baguslah itu. Sebagai teman baik, aku memang harus berucap seperti itu. Harus membangunkan kau dari tidurmu. Hahaha….”

Temanku itu memang suka bicara terus terang. Blak-blakan. Meskipun terkadang menyinggung perasaan, pandangan-pandangannya mengenai hubunganku dengan Kinan harus kuakui kebenarannya. Aku hanya bermimpi memiliki Kinan. Pada kenyataannya aku tidak sungguh-sungguh ingin memilikinya. Karena betapa pun aku adalah seorang yang menganggap sakral pernikahan. Cukup sekali dalam hidup ini. Ya!

***

Aku merenung-renung. Seandainya hubunganku dengan Kinan kuakhiri, siapakah yang akan tersakiti. Kinan? Atau justru diriku sendiri. Meskipun aku tidak sungguh-sungguh ingin memilikinya. Seperti kata temanku, sesungguhnya aku hanya sedang membeli tubuhnya dari kemiskinan yang menderanya, dan bukan ingin memberi kasih sayang untuk memiliki dirinya.

“Karena itu kau cuma menyetubuhi air mata!”

Selalu terngiang-ngiang ucapan temanku itu. Bagaikan dipancarkan oleh speaker raksasa. Kalimat itu membahana di cakrawala sehingga senantiasa terdengar di mana pun aku berada. Terutama saat-saat berdekatan dengan Kinan.

Suatu kali aku menatapnya tajam-tajam. Menatap diri Kinan dengan segenap indraku. Dia tampak kikuk.

“Kenapa menatap ako seperti itu?”

Aku menggeleng-geleng. Namun di dalam benakku mengatakan; Kinan gadis yang cantik. Mungkinkah ia ditakdirkan menjadi tubuh dari air mata; tubuh dari kemiskinan yang melanda lebih dari seperlima rakyat negeriku?

“Sayang…, jawab, dong!”

Aku hanya tersenyum. Dan kembali menggeleng-geleng.

“Ya sudah kalau ga mau ngomong. Mau sedikit bicara banyak kerja, ya. Hehe….”

Entah kekuatan apa yang membuatku kemudian mengembangkan kedua tanganku. Lalu Kinan meluruk ke arah diriku. Dan Aku memeluknya. Merengkuh dirinya erat-erat. Kunikmati kehangatan yang mengalir dari tubuhnya ke tubuhku. Dan perlahan-lahan kurasakan seluruh tubuhku menjadi basah. Bahkan bukan sekadar basah, karena kemudian aku merasakan bukan lagi mendekap tubuh Kinan; tapi seperti terapung di atas lautan, terayun-ayun dimainkan ombak, air asin yang terjilat. Aku terhanyut dan mengalir entah ke mana.

Bandar Lampung, 07/10 Maret.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *