Anak yang Mendekatkan Diri pada Buku

Abdul Aziz Rasjid
Jawa Pos, 12 Des 2010

1. Seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun, terbiasa membaca buku-buku untuk menemukan informasi yang tak ia dapat dari lingkungan sosialnya. Ketika ia merasa bosan dengan rutinitas yang diatur oleh keluarganya, bocah itu akan menyusuri laci meja, almari dan rak-rak buku untuk menemukan apapun yang dapat ia baca.

Bocah itu bernama Edward, oleh orangtuanya ia sering dicemooh karena membaca buku-buku —dari otobiografi, selebaran, komik, catatan sekolah saudara-saudaranya sampai catatan orangtuanya— yang semestinya tidak/belum boleh dia baca. “Rasa ingin tahu akan membunuh jiwamu”, begitu orang tuanya pernah berkata padanya. Tetapi Edward tak peduli.

2. Di sebuah gudang, seorang bocah yatim, menenteng buku berjudul Les Tribulations d’un Chinois en Chine atau Petualangan seorang Tinghoa di Negeri Tiongkok karya Jules Verne. Bocah itu bernama Sartre, ia duduk di atas ranjang besi, mata mungilnya menyusuri huruf-huruf yang tercetak hitam tanpa melewatkan satu huruf pun. Berlagak seakan dapat membaca, ia mengisahkan sebuah cerita yang ia rangkai sendiri dengan suara lantang. Keributan suaranya lalu membuat ibu, kakek dan neneknya terheran-heran. Mereka lalu berkesimpulan bahwa Sartre sudah waktunya untuk diajari membaca.

Bocah dalam kisah pertama yang mulai mencari segala hal dalam bacaan itu, diceritakan Edward Said dalam memoarnya yang bertajuk Out Of Place. Membaca buku bagi Edward kecil seperti menemukan dunia yang bergejolak namun begitu mandiri. Semisal saat ia membaca kisah gadis sirkus bernama Kalita dalam buku Collins Junior Book of Knowledge, latar belakang kemisteriusan sosok Kalita lalu membuatnya mengembangkan daya khayal untuk memperluas jalan cerita buku itu dengan versi kehidupannya sendiri. Khayalan yang dirancangnya, menghadirkan rasa tenteram, membentengi rasa cemas, melepas belenggu kedisiplinan keluarga dan sekolah yang dianggapnya mengekang.

Sedang dalam kisah kedua, “kegilaan” bocah buta huruf yang menghibur diri sendiri dengan menyusuri huruf-huruf dalam buku, ditulis Jean Paul Sartre dalam memoarnya yang bertajuk Les Mots atau Kata-kata. “Kegilaan” itu pada mulanya timbul karena ketertarikan pada desain sampul-sampul buku karya Jules Verne edisi Hetzel yang berhiaskan jambul emas melambangkan tirai. Bagi Sartre sampul-sampul itu mirip teater kecil yang memberinya pesona keindahan. Tak lama berselang, setelah fasih membaca, Sartre menghabiskan buku Sans Famille atau Sebatang Kara karya Hector Mallot. Tak hanya itu, ia juga menelusuri rak-rak perpustakaan kakeknya dengan sebuah keyakinan bahwa dalam bukulah ia akan menemukan alam semesta, keindahan, dan dunia khayal paling pribadi.

Buku berada dalam posisi yang unik dalam kisah dua bocah kecil itu. Buku menjadi media untuk mengembangkan khayalan seorang anak, menjadi cara untuk menumpahkan emosi, membayangkan dunia tersendiri yang diidamkan sambil membangun apa yang mewakili perasaan dalam menanggapi realitas sehari-hari dengan memfungsikan segala informasi yang dibaca dari buku. Setiap khayalan dalam motif itu —merujuk pada Freud dalam Creative Writers and Day-Dreaming— berpangkal pada keinginan yang belum tercapai, bertujuan untuk melakukan perbaikan dari kenyataan-kenyataan yang dihadapi.

Khayalan tumbuh sebagai reaksi seusai proses membaca buku terjadi. Pangkal reaksi mengada sebab pengaruh buku —kemasan dan isi— memberi rangsangan untuk berpikir kreatif. Dunia khayal sebagai produk berpikir kreatif, menjadi upaya bagi keduanya untuk mulai belajar merumuskan harapan dan membedakannya secara tajam dengan kenyataan. Maka, tak mengherankan memang, ketika keduanya beranjak remaja: gagasan-gagasan dalam buku yang mereka baca lalu dijadikan bahan pembanding untuk melihat lingkungan sekitar mereka tinggal.

Edward Said semisal, memposisikan peran kota besar dan berbagai macam tokoh yang hadir (para penghutang, penjahat dan murid) dalam karya Dostoyvesky dan Balzac sebagai pembanding dengan realita kehidupan orang-orang yang ia kenal di Dhour atau Kairo. Kedetailan cara membaca Edward dalam menandai pola-pola cerita dan menghayati tiap-tiap frasa dalam buku, difungsikannya untuk menganalogikan adegan dan kejadian dalam kehidupannya. Ia lalu menganalisa analoginya itu, guna menemukan kehidupan imajiner untuk menampung sehimpun harapan.

Sedang Sartre, terhanyut dalam ekstase cerita bangsa-bangsa primitif bersenjata lembing, hutan rimba dan seorang penjelajah bertopi putih dalam buku Les Enfant du Capitaine Grant atau Anak-anak Kapen Grant dan Le Dernier des Mohicans atau Mohikan yang terakhir. Cerita-cerita petualangan itu, membuatnya mengerti bahwa bagaimanapun cara kejahatan muncul ia ditakdirkan untuk tunduk pada kebajikan. Dari buku-buku jenis petualangan itulah, Sartre melihat bahwa ada sisi optimisme yang perlu untuk senantiasa dijaga oleh manusia.

Setidaknya, masa kecil Sartre dan Edward yang mendekatkan dirinya pada buku menjadi bukti yang sahih untuk menyatakan, bahwa gagasan-gagasan dalam buku menjadi modal berharga bagi anak untuk mengembangkan daya khayalnya yang kelak dapat difungsikan untuk berpikir kreatif dalam upaya melihat, mengenal, menelaah sebuah dunia dari suatu masa. Dengan mendekatkan diri pada buku, seorang anak mulai mengakrabi bahasa, mengolah dan menyelami fiksi dan fakta sebagai upaya untuk memposisikan diri berjarak dengan macam-macam provokasi lingkungannya demi menemukan kebenaran yang akan mereka gunakan untuk merangkai keesokan.

Bahasa »