Edi Sedyawati
http://majalah.tempointeraktif.com/
SEORANG raja, Panembahan Senapati, memberikan tugas kenegaraan kepada putri sulungnya, Sekar Pembayun. Dengan daya pikat kewanitaannya, putri ini harus menaklukkan seorang pemberontak yang tangguh: Ki Ageng Wanabaya dari Mangir. Si putri dan pengiringnya lalu turun ke Mangir, menyamar sebagai penari keliling. orang-orang tertarik. Bahkan Ki Ageng Mangir sendiri terpikat, dan Sekar Pembayun dipersuntingnya.
Syahdan, putri tersebut kemudian mengakui jati dirinya. Walau pengungkapan itu semula membuat gusar Ki Ageng Mangir, berkat pernyataan ketulusan cinta Sekar Pembayun, Ki Ageng Mangir dapat diajak menghadap ayahanda, Panembahan Senapati. Kisah itulah yang oleh Retno Maruti diwujudkan dalam olahan tari dan tembang berjudul Sekar Pembayun, di Gedung Kesenian Jakarta, 16 s/d 18 September.
Pergelaran ini didahului sajian konser karawitan berupa gending-gending Bancak-Doyok nama dua abdi Panji — yang bersifat populer, dengan teks mengacu kepada kehidupan sehari-hari (misalnya penyebutan nama makanan “srundeng basi … dibikin sambil cemberut” dan “enak jadi seniman, membuat pergaulan semarak”).
Sekar Pembayun mengutarakan kepasrahan kebaktian, dan pemastian akan kemutlakan kewibawaan raja. Ki Ageng Mangir, yang pernah memberontak, sepatutnya mati dengan dibenturkan kepalanya ke singgasana justru ketika bersujud kepada raja. Sedangkan Pembayun dinilai berbakti kepada negara dengan mengorbankan cintanya kepada Ki Ageng Mangir.
Titik-titik kritis dicari pada adegan-adegan ketika Pembayun (Retno Maruti) diperintah dan menerima penugasan dari Senapati (Wahyu Santosa Prabhawa). Atau ketika Pembayun hanyut bercinta dengan Ki Ageng Mangir (Sentot Sudiharto), dan kemudian harus mengungkapkan jati-dirinya.
Lalu lanjutannya ketika pasangan Pembayun-Wanabaya disambut di gerbang Istana. Adegan-adegan itu berhasil mengungkapkan kualitas dramatik, melukiskan dua perasaan yang bertentangan sekaligus hadir: antara kasih sayang kepada anak perempuan dan keharusan untuk menegakkan kewibawaan, tipu daya dan cinta sejati, serta sukses menjalankan perintah ayahanda raja dan ketakutan hilangnya kekasih.
Konflik itu terungkap terutama didukung oleh kata-kata tembang yang disusun secara efisien. Tari Sekar Pembayun ini dibuka dengan tembang macapat yang dinyanyikan bersama oleh “kelompok bedaya” (sembilan penari wanita dalam kostum dodot yang seragam) yang duduk di atas undakan pentas yang ditinggikan, dan membelakangi penonton (sayang suaranya terlalu lemah).
Sementara itu, di latar depan adegan pertama dihadirkan hanya Senapati dan Pembayun dalam percakapan top secret (dalam tembang), sebagai ayah dan anak, tetapi sekaligus juga sebagai gusti (raja) dan kaula (abdi).
Pembayun yang lembut menerima tugas dengan tegas. Sementara keduanya berdialog di dalam istana, melintas di latar pentas yang paling depan sejumlah punggawa yang gagah dan bergegas, menyiratkan kegawatan situasi karena ancaman Ki Ageng Mangir. Di sini penonton bebas menafsirkan, apakah itu tadi para punggawa Mataram yang resah di luar istana atau lukisan kekhawatiran yang ada di dalam hati Senapati.
Ketika Pembayun minta diri, muncullah Mangir dan pasukan “bugis”-nya di balustrade kiri di samping penonton, menjenguk mengancam ke arah pentas. Sekar Pembayun berjalan menuju Mangir disertai pengiringnya (kelompok bedaya), laksana tentara yang maju ke medan laga dalam adegan rampogan wayang kulit, namun dalam tandang yang lembut, walau juraian kain panjang mereka telah disingsingkan.
Sentot menghadirkan Ki Ageng Mangir dengan gerak-gerak tarinya yang keras, gagah, serba bergegas — dalam kostum megah yang dirancang khusus. Adegan kiprah untuknya bervariasi, kelompok demi kelompok para penghadapnya dilibatkan dalam adegan “pernyataan diri” itu.
Adegan percintaan Wanabaya-Pembayun terbungkus dalam gending kemanak Duradasih yang anggun. Awalnya pasangan yang bercinta duduk di atas undakan tinggi di latar belakang, sementara para putri sembilan menari di tengah pentas. Turaian kain mereka telah dilepas dan menebarkan bunga melati memenuhi lantai, yang harumnya mencapai seluruh auditorium.
Tembang bedayan yang mengesankan kesucian dan kekeramatan itu disuarakan oleh Ibu Sukiyanto dan Ibu Jumirah beserta semua wiraswara dengan tingkah kemanak (sepasang idiofon sebentuk pisang). Di pertengahan gending, Pembayun dan Wanabaya bangkit, menari. Untuk beberapa saat malah Pembayun yang menembangkan Duradasih: kata, suara, dan geraknya lambang kepasrahannya dalam cinta.
Pembayun akhirnya dapat membujuk Ki Ageng Mangir menghadap Senapati di Mataram. Muncul di pentas Senapati yang duduk di singgasana. Ki Patih lalu menuju depan dan turun dari pentas: ternyata menyambut iringan dari Mangir. Iringan ini, dengan Pembayun dan Wanabaya di pucuknya, berjalan di tengah penonton menuju pentas.
Di pertengahan jalan terjadi dialog tembang antara Pembayun dan Patih, menyuarakan bakti kepada raja. Tiba di tangga untuk naik pentas (= masuk istana), Patih lalu berujar, sesuai dengan tata cara, orang menghadap raja tak membawa perlengkapan jurit.
Wanabaya menjawab dengan menghadapkan punggungnya. Patih mengambil kerisnya. Di hadapan raja, Pembayun menyampaikan baktinya sambil menembangkan kekhawatiran akan terputusnya cinta.
Namun, di luar kehadirannya, Ki Ageng Mangir, yang membahayakan bagi kewibawaan kerajaan, dibunuh oleh Senapati. Sikap berbakti Pembayun itu rasa-rasanya seperti lambang sikap berbakti Retno Maruti kepada cita rasa Jawa.
Ini utuh terungkap dalam garapan tari apa pun rekaan komposisi baru yang dibutuhkannya.
24 September 1988