Jefrianto Nastino
Sastra daerah merupakan lambang kearifan lokal dari suatu daerah dalam ranah bahasa, baik tulis maupun lisan. Bisa dikatakan demikian karena sastra itu tidak hanya tulis, tetapi juga lisan. Melalui sastra daerah pula bahasa dari suatu daerah bisa tetap hidup dan berkembang.
Cilacap sebagai daerah yang berbatasan langsung di sebelah selatan Kabupaten Banyumas merupakan wilayah dengan penduduk yang masih menggunakan bahasa Banyumasan dengan fasih dan kental. Akan tetapi, sangat disayangkan di daerah ini sastra daerah atau yang lazimnya disebut sastra Banyumasan kurang berkembang. Bahkan bila ditelisik lebih dalam, hanya mereka, yang bisa dibilang generasi sastrawan tua Cilacap, yang mengembangkan sastra Banyumasan di Cilacap.
Kaum muda, entah itu mereka yang menggeluti sastra atau tidak, ternyata acuh tak acuh dengan hal ini. Lebih ironisnya, muda-mudi itu lebih bangga bercakap-cakap sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia yang kadang-kadang dicampur dengan bahasa slang zaman sekarang. Tentu saja hal ini makin memudarkan sastra Banyumasan di daerah Cilacap.
Tanggungjawab atas kelangsungan sastra ini sebenarnya adalah milik mereka para warga Cilacap itu sendiri. Namun, zaman yang kian berkembang menyebabkan ketidak-acuhan masyarakat semakin menjadi-jadi.
Menyerahkan hal ini kepada sastrawan-sastrawan senior di Cilacap mungkin bukan pilihan yang terbaik, tetapi juga bukan yang terburuk. Karena, dari merekalah sektor-sektor sastra daerah yang potensial bisa terurusi. Lewat andil sastrawn-sastrawan senior daerah di Cilacap pula dapat diadakan suatu regenerasi sastrawan daerah sehingga sastra Banyumasan di Cilacap dapat terbangun kembali dari tidur panjangnya.
Sebagai contoh untuk sastra Indonesia, Badruddin Emce berhasil menggeliatkan sastra, khususnya sastra Indonesia, di Cilacap lewat Tjilatjapan Poetry Forum. Sastrawan yang bertempat tinggal di Kroya ini telah berhasil menggerakan sejumlah anak-anak muda di Cilacap untuk berkreasi di dunia sastra,
Gerakan untuk menggeliatkan kembali sastra di daerah Cilacap sebenarnya sudah ada arah situ. Bulan April kemarin di eks-Karesidenan Banyumas telah lahir majalah berbahasa Banyumasan, ANCAS. Majalah ini dimotori oleh Ahmad Tohari. Lewat ANCAS, AT, demikian Ahmad Tohari akrab disapa, telah membuat dinamisasi dalam perkembangan bahasa, sastra, dan budaya Banyumasan. Berbagai artikel, geguritan, cerkak, maupun feature dengan bumbu Banyumasan diracik dengan baik di majalah tersebut.
Hal ini merupakan kesempatan baik yang harus ditindaklanjuti dalam geliat sastra daerah Cilacap. Ibarat bertani, benih baik sudah ada tinggal bagaimana memupuk dan memelihara benih baik ini agar tumbuh dan berkembang dengan baik pula. Mereka yang masih merasa punya hati terhadap perkembangan sastra daerah Cilacap haruslah sigap bertindak. Jangan sampai sastra daerah harus mati karena ulah masyarakatnya sendiri.
Sastra Banyumasan harus kembali menjadi konkretisasi dari abstraksi kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Cilacap. Sehingga pada akhirnya sastra Banyumasan di Cilacap dapat menjadi dokumentasi dinamis perihal budaya Cilacap.
Sudah saatnya masyarakat Cilacap membuktikan bahwa mereka bukan hanya masyarakat yang fasih dengan berbahasa Banyumas. Namun lebih dari itu, saatnya membuktikan bahwa masyarakat Cilacap adalah masyarakat dengan kebudayaan yang tinggi, masyarakat yang apresiatif terhadap karya dari budayanya sendiri. Masyarakat Cilacap pasti bisa!
***