lampungpost.com
Pertemuan
setelah siang berlalu
kau datang tanpa sepatu
lalu kau beri peluk
aku lempar dekap
sesungguhnya langit telah terbuka
kita susuri hingga terkatup mata
taman-taman yang mekar
suara-suara hewan gemetar
kau tersenyum
aku mengulum
kau berikan sejumput pipi
aku sambut sehalaman kecup
“ah, sudah berapa percakapan
menutup lembar halaman?” tanyaku
sebelum kau benar-benar lalu
ke balik rimbun pohon mengkudu
“tapi halaman selalu terbuka
setiap kau habisi dengan kata-kata
seperti laut itu tak pernah kering
meski berjutakali dilalui kapal
dan gelombang hilang di pantai,” jawabmu
kemudian taman
jadi hening
sesepi hati!
041010
Zikir Sakit
jika ada sakit lebih dari sakit kepalaku
berilah padaku, sekiranya aku akan
lempang menuju halaman-Mu
bahkan sakit yang lebih berat
Kaulimpahkan kepada seorang nabi
dipenuhi koreng seluruh tubuhnya
tetap pasrah dan menyebut nama-Mu
tatkala nabi-Mu dilahap seekor ikan
dan bertahun-tahun di dalam perut
makin ingat kepada-Mu dan tahu
kalau ia telah berbuat dosa
meninggalkan umatnya
lelaki yang dilempar ke laut
dan disantap ikan besar itu
setiap waktu hanya berzikir:
“la ilah haillah anta
wa subhannaka inni
kuntu minazzalimin…”
maka aku, lelaki lain, yang hanya
hamba-Mu ketika menerima sakit
mungkin karena aku masih pelit
bersedekah demi-Mu
beribadah karena-Mu
berzikir untuk menadah cinta-Mu
bertadarus bagi menghafal ayatayat-Mu
karenanya aku nikmati sakit dari-Mu
sampai aku pulas karena letih
agar aku tak mengeluh
menambah-nambah dosaku
“aku ingin sakit
kalau itu karena cinta-Mu..”
–dan aku mau sehat
di dalam kasih-Mu–
23.0810; 01.09
Seperti Malam di Kota Lain
hilang matahari ke balik tembok itu
di sini seperti malam di kota lain
saat kau ajak aku, dan tanganmu menuntunku
memburu kelam: jalan-jalan yang terasa remang
dan di wajahmu berkilau kekuningan
wajah yang dulu, dulu sekali, pernah
kusimpan di saku di dinding kota
alangkah jauh malam mendatang
di kota yang tak pernah diam
(penjahit pun memburu
hingga ke gang buntu)
*pm, 25 agustus 2010
Ninabobo
“tidurlah tidur, sayang
esok pagi kau akan menanak
untuk sarapan abang…”
apakah masih disebut malam
jika mata belum terpejam
apakah bisa kupanggil larut
bila tubuh masih jauh dari selimut
adakah ini waktu sudah pagi
apabila kantuk pun setia berlari-lari
setiap malam
seperti bermain dalam siang
seperti tiada habis-habis
meronce waktu!
10112010; 01.46
***
Isbedy Stiawan Z.S., lahir dan besar di Tanjungkarang (Lampung). Menulis puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan di berbagai media Jakarta dan daerah. Dia telah memiliki lebih dari sepuluh buku kumpulan cerpen dan puisi. Terakhir buku puisinya adalah Perempuan Berpayung Merah [di Kota Petuah] (2010).