”A Tribute to Oscar Wilde”
Kadek Sonia Piscayanti
http://www.balipost.co.id/
PANGGUNG merah. Pada pusat panggung, lampu menyorot sebuah lukisan. Musik meneror penonton. Lukisan yang tergantung itu bukanlah lukisan biasa. Lukisan itu hidup. Ia berbicara, bernafas, dan berjiwa.Ia menua, mengeriput, berdarah, dan menghadapi maut kematiannya. Lukisan itu mengambil alih kehidupan manusia, menjadikannya kehidupan absurd dan meneror kesombongan manusia. Akhirnya ada sebuah pertanyaan, siapa yang memenangkan kesombongan dunia, lukisan itu atau si manusia.
Oscar Wilde memang memiliki caranya sendiri dalam membedah kegelisahannya sebagai manusia. Dalam empat malam (4, 6, 8 dan 10 Januari 2011), empat naskah Wilde dengan karakter berbeda dibedah dan dipentaskan An Ideal Husband ,Salome,The Importance of Being Earnest, dan The Picture of Dorian Gray.
Kegelisahan Wilde menyerbu dan menguasai ruang imajinasi penonton.The Picture of Dorian Gray ia mempertanyakan arti sebuah keabadian masa muda. Masa muda adalah satu-satunya hal paling bernilai dan berharga yang dimiliki manusia. Masa muda adalah segalanya. Masa muda adalah periode untuk mengejar impian, kesenangan dan kesombongan dunia. Semasa muda, manusia merasa tampan, cantik, dan penuh. Sementara di masa tua ia akan mengeriput, sakit, dan tidak berguna. Lalu bagaimana memelihara masa muda agar ia abadi? Bagaimana ia menjelma sebagai kehidupan yang berbeda? Bagaimana seseorang yang muda selamanya, melihat manusia sekelilingnya menua sementara ia tetap muda? Apakah ia bahagia?
Dalam drama The Picture of Dorian Gray yang dipentaskan oleh Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Auditorium Undiksha, pertanyaan demi pertanyaan itu dijawab.
Dorian Gray (diperankan oleh Hadi Wiguna), seorang laki-laki tampan yang diteror masa lalunya, adalah laki-laki kesepian yang selalu mempertanyakan eksistensinya sebagai manusia. Basyl (diperankan oleh Fajar Ananda), adalah seniman yang mampu menangkap getar kemudaan dan ketampanan Dorian sebagai obyek lukisan. Ia mengagumi Dorian, yang ia lihat sebagai keindahan mahakarya sempurna, mencintainya dan ingin membuatnya abadi. Akhirnya, ia melukis Dorian dengan sepenuh cinta dan jiwanya sehingga lukisan itu benar-benar indah, benar-benar hidup layaknya Dorian sesungguhnya. Sejak itu Dorian merasa terteror, ia merasa lukisan itu benar-benar dirinya. Ia diteror oleh dirinya sendiri, masa lalunya, dan ketampanannya. Dalam kekacauan itu, muncullah Lord Henry (diperankan I Gusti Ngurah Ari Putrayasa) yang mencoba menariknya lebih jauh dalam kenikmatan duniawi. Henry adalah orang pertama yang memperkenalkan Dorian secara tak sengaja dengan perempuan, cinta pertamanya, Sybil Vane (diperankan oleh Ika). Aktris Sybil ini memukaunya dengan akting memikat. Namun perjalanan cinta ini tak mulus, karena malam berikutnya Sybil bermain dengan mengecewakan, dan Dorian mencemoohnya habis-habisan dengan mengatakan bahwa semua aktingnya hanya kepalsuan yang memuakkan. Sybil pun sakit hati dan bunuh diri. Dalam kekacauan yang kedua, muncul lagi Lord Henry yang menyeretnya ke dunia pelacur. Ia tenggelam dalam kenikmatan itu dan setan-setan mulai menguasainya. Ia tak percaya pada cinta. Ia hanya percaya pada masa muda. Bahkan pelukis Basyl, sahabatnya, laki-laki yang tergila mencintainya, ia bunuh karena cintanya. Cerita lalu bergerak ke arah lukisan. Lukisan itu berdarah, bernanah, bahkan penuh amarah. Dorian dalam lukisan tak tampan lagi, namun serupa setan, meneror Dorian. Berpuluh tahun kemudian, diceritakan semua karakter telah menua namun Dorian tetap muda, dan lukisannya menua. Namun ternyata ia tak bahagia. Pementasan ini diakhiri dengan adegan Dorian membunuh lukisannya sendiri, membunuh dirinya sendiri, yang akhirnya mati dalam ketuaannya yang mengerikan. Adegan penutup ini mengundang standing ovation dari audiens dan tepuk tangan yang panjang tak henti. Kebahagiaan terpancar dari semua kru. Mereka sukses. Penonton puas. Pementasan ini mendapat penghargaan Pementasan Terbaik, Sutradara Terbaik, dan Aktor Terbaik.
Oscar Wilde
Oscar Wilde menunjukkan kelasnya sebagai penulis drama, ketika ia mampu menghadirkan tema, konflik dan ketegangan yang berbeda-beda dalam setiap dramanya. Dalam An Ideal Husband ia meramu kisah tentang kelicikan perempuan bernama Lady Chiveley (diperankan dengan matang oleh Mas Ayu) yang nyaris merusak rumah tangga Lady Chiltern (diperankan oleh Sukertiasih) gara-gara rahasia skandal politik yang dilakukan oleh suami Lady Chiltern. Ia mengancam membeberkan semua rahasia yang disimpannya jika penawaran politiknya tak dituruti. Dalam naskah ini, Wilde membongkar kemunafikan manusia yang suka menyembunyikan kesalahannya demi sebuah kekuasaan. Ia menyindir polah manusia yang sok bersih dan sok suci. Drama ini juga menunjukkan bahwa politik, kekuasaan, dan cinta, bisa diperalat untuk memenuhi ambisi manusia. Akting Mas Ayu meyakinkan sebagai penggerak cerita. Kelicikan dan kelicinannya sanggup memukau penonton. Iapun mendapat penghargaan sebagai Aktris Terbaik.
Wilde tak hanya menunjukkan kelasnya di drama serius. Dalam The Importance of Being Earnest. Ia mampu membuat penonton gerr dengan penampilan Jack Worthing (diperankan apik oleh Cahyadi Putra) dan Algernon (diperankan oleh Depa Aditya), dua sahabat yang sama-sama membohongi dua wanita dengan mengaku bernama Earnest. Mengapa nama Earnest yang dipilih? Itulah misterinya. Earnest adalah sebuah nama indah, yang mengandung vibrasi dan musik. Dibandingkan dengan Jack atau John, Earnest adalah nama yang paling unik. Wilde juga menambah kesan komedinya dengan memunculkan konflik bahwa Gwendolen (diperankan oleh Prasanti Devi) tak mau menikah dengan pria yang bukan bernama Earnest. Jika Shakespeare mempertanyakan apalah arti sebuah nama, maka Wilde mempertanyakan apalah arti manusia tanpa nama. Pementasan ini cukup menyita perhatian penonton, karena seluruh aspek dipersiapkan matang. Mulai dari panggung, musik, hingga kostum. Kostum pemain yang memakai style Victorian bahkan mengundang decak kagum hadirin sebab sebagian besar kostum didesain dan dijahit sendiri. Kostum ini juga mampu memperkuat karakter pemain sehingga mempertajam interpretasi audiens. Tak berlebihan jika pementasan ini mendapat penghargaan sebagai Tata Busana Terbaik.
Sementara itu, pementasan Salome, yang disutradarai Kadek Selly Krisnadewi , mendapat penghargaan sebagai Tata Panggung Terbaik karena ia mampu menyulap panggung yang sederhana menjadi sebuah panggung cantik yang unik. Drama satu babak berdurasi satu jam ini menampilkan panggung dengan tiga sudut yang menjadi fokus. Sudut pertama adalah balkon istana, sudut kedua adalah penjara bawah tanah serupa sumur yang gelap (dibantu teknik siluet), dan sudut ketiga adalah tangga istana kerajaan yang gagah. Ketiga sudut itu tampil dalam kesatuan cerita yang utuh. Meski terdapat tiga sudut latar, namun cerita mengalir lancar berpindah-pindah dari satu sudut ke sudut yang lain dengan sempurna. Tangga misalnya, menghubungkan sumur dengan halaman belakang dan depan panggung secara unik. Halaman belakang mencerminkan dunia luar istana. Sementara halaman depan menampilkan ruang kerajaan yang megah dan angkuh. Tangga juga menjadi simbol keangkuhan raja yang licik. Simbol-simbol ini memperkuat naskah pendek ini dan menjadikannya suguhan memikat. Apapun itu, pada akhirnya kesuksesan penonton berada di tangan penonton. Penonton membawa makna, membawa kisah yang memikatnya. Dan sukses untuk semua pementasan kali ini.