Judul : Senjakala
Penulis : Komang Ariani
Genre : Novel
Tahun terbit : 2010
Penerbit : Koekoesan
Jumlah Halaman : 135 + viii halaman
Peresensi : Ni Made Purnamasari *
http://www.balipost.com/
BOLEH jadi Ni Komang Ariani, dalam novel terkininya Senjakala (2010), tengah ingin membuat suatu ironi perihal kekinian kepariwisataan Bali. Kisahan dalam buku, yang mulanya merupakan cerita bersambung peraih Pemenang Pertama Sayembara Femina 2007, memang seolah terkesan biasa saja: mengambil latar kehidupan masyarakat adat seputar kawasan wisata situs Candi Gunung Kawi-Gianyar, dengan tokoh-tokoh manusia Bali pada umumnya. Namun, begitu membaca bagian demi bagian cerita, jelas tersirat bahwa penulis kelahiran 19 Mei 1978 ini sedang menuturkan sebuah narasi besar, yakni bagaimana turisme yang seharusnya berfaedah kesejahteraan malahan memberi ruang bagi tindak kejahatan; serta bagaimana mitos lokal dan sikap-sikap rasional kerap kali bersinggungan, bahkan juga dipertentangkan. Atau dapat dikatakan, cerita Komang Ariani ini berusaha menampilkan Bali dengan berbagai sisi paradoksnya, yang sedikit banyak turut mempengaruhi cara pandang penduduknya terkait tradisi serta modernitas.
Novel bermula dari hilangnya seorang bocah laki-laki, Raka, di sekitar kawasan Candi Gunung Kawi. Sang tokoh utama, Lily, jurnalis sebuah media besar di Jakarta yang kebetulan sedang melakukan liputan ke daerah, segera saja tersangkut-paut dengan kasus misterius ini. Ia pun bertemu saudari kembar korban, Naka, beserta keluarga dan lingkungan terdekatnya. Dan jalinan kisahan berlanjut, hampir-hampir sepenuhnya linier, dalam paduan deskripsi kenyataan serta tuturan pengalaman masa lalu nan mengharukan dari Naka, termuat pada surat-surat yang dihanyutkannya ke alir Sungai Pakerisan, sekitar situs wisata tersebut.
Justru karena memilih peran utama seorang wartawan dari luar wilayah Bali, Komang Ariani secara leluasa menggambarkan kehidupan paradoksal pulau ini. Simak saja bagaimana Lily mencoba merasionalkan hilangnya Raka, menepis mitos-mitos tentang hantu ataupun mahluk halus Sungai Petanu yang dipercaya kerap meminta tumbal manusia kendati dalam beberapa adegan terkesan tokoh kosmopolitan ini mulai memudar keyakinannya. Di sisi lain, si pengarangnya juga memotret kehidupan kepariwisataan sehari-hari, mengenai artshop-artshop patung yang komoditinya dikaryakan oleh anak-anak seputar daerah wisata, atau terkait lingkungan adat lokal yang berusaha mempertahankan tradisi dan cenderung berpandangan miring pada orang-orang pendatang luar pulau.
Ikon Pariwisata
Yang menarik dari novel ini, selain kisahnya yang dibuat semi detektif, sang pengarang seolah-olah mencoba menjadikan situs wisata sebagai ikon masa lampau dan kekinian, berikut pergeseran nilai yang menyertainya. Sebagaimana diketahui, Candi Gunung Kawi mempunyai nilai sejarah (dulu merupakan makam para raja Dinasti Udayana) sekaligus unsur mitologi, di mana Prabu Mayadenawa, penguasa raksasa yang lobha, tewas terbunuh oleh para dewa di alir Sungai Petanu, sekarang Sungai Pakerisan, seputar kawasan yang kini jadi obyek turistik itu. Akan tetapi, dalam novel Komang Ariani, kompleks yang dibangun pada sekitar abad 11 M itu seakan tampil dengan nuansa magisnya tersendiri, terlebih setelah tersiar kabar seorang bocah laki-laki menghilang misterius, yang belakangan diketahui bahwa Raka telah menjadi korban pedofilia dari turis-turis asing pengunjung situs tersebut.
Dari ilustrasi ini terlihat bahwa Komang Ariani agaknya ingin mempertanyakan warisan keluhuran masa silam dengan pergeseran nilai yang telah serta tengah terjadi akibat kepariwisataan yang sedemikian terbuka di Bali. Masa lampau seolah-olah hanya berkutat seputar pelestarian tradisi, berikut unsur adat, mitologi, serta kepercayaan lokal yang terkandung di dalamnya, tanpa diikutsertakan atau diolah dalam penentuan maupun penerapakan kebijakan pariwisata. Dengan kata lain, kebudayaan lokal hanya dipandang sebagai sebuah etalase kaca, semata sebagai ikon yang dapat disaksikan dan ditemui secara langsung, dijaga sedemikian rupa, akan tetapi cenderung dinilai baku, dan bahkan dalam novel Komang Ariani, bagaikan tampil sebagai peristiwa sehari-hari yang malahan tidak kontekstual dengan kekinian.
Gaya bahasa novel ini memanglah sederhana, dirangkai dalam deskripsi peristiwa yang terkesan apa-adanya. Tuturannya terasa sungguh wajar, tidak berpretensi untuk melebihkan permasalahan yang coba diungkapnya. Cerita ini boleh dikata membawa kita pada esensi makna humanitas, nilai-nilai tradisi, kenyataan sosial serta sisi paradoks pariwisata. Komang Ariani, mengutip kata salah seorang budayawan, mencoba untuk menyampaikan moralitas, tanpa menjadi seorang yang moralis.
*) Mahasiswi Antropologi Universitas Udayana.