Paulus Mujiran
http://lampungpost.com/
Pers Indonesia, meminjam wartawan senior Rosihan Anwar, tidak boleh meninggalkan ciri khasnya sebagai pers perjuangan. Ungkapan Rosihan Anwar tahun 1950-an itu sampai kini masih terasa amat relevan. Terlebih ketika bangsa masih dijajah seperti sekarang ini oleh kemiskinan, perbudakan dan korupsi, pers harus tetap terdepan menyuarakan kebenaran dan keadilan. Pers perjuangan adalah pers yang berada di pihak rakyat.
Namun, fakta membuktikan liberalisasi dan kapitalisasi media menyebabkan pers kian jauh meninggalkan idealismenya. Setelah kalangan pebisnis dan konglomerasi terjun dalam dunia pers idealisme pers Indonesia kian pudar. Sepak terjang pers Indonesia belakangan ini juga tidak lagi dapat diandalkan menjadi kontrol sosial. Bahkan pada level tertentu pers sering berperan menjadi pembela mereka yang besalah.
Meminjam Tjipta Lesmana (2006) karakteristik pers Indonesia di era reformasi, Pertama, suka mencari sensasi. Kedua, tidak substantif dalam pemberitaan dan ketiga, tidak berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Tentu publik masih ingat dengan ekspos berita besar-besaran kasus pornografi Ariel dan Luna Maya. Sebagai seorang penyanyi dan artis apa sumbangan keduanya bagi bangsa dan negara sehingga keduanya menyedot perhatian masyarakat luas?.
Padahal, pemberitaan itu serta merta mengubur pemberitaan lain yang lebih penting seperti pemberantasan korupsi, skandal Bank Century atau kenaikan harga kebutuhan pokok. Kasus-kasus yang sebenarnya tidak signifikan untuk dibesar-besarkan di tangan pers Indonesia berubah menjadi berita besar yang menarik perhatian bahkan dapat mengalihkan isu-itu yang lain yang sebenarnya lebih membutuhkan perhatian. Sikap pers yang suka mencari sensasi setali tiga uang dengan sikap penguasa yang suka mengalihkan perhatian dengan mencari aman sendiri.
Dalam hal ini pers Indonesia telah tergiring untuk memberitakan sejauh kepentingan orang-orang di belakang media. Tragisnya, sebagian pemilik bisnis pers adalah orang partai politik sehingga sangat diharapkan membesarkan pemilik dan menisbikan pihak lain yang dipandang berseberangan. Kasus-kasus Ariel-Luna Maya hanyalah segelintir pemberitaan yang dicoba diangkat ke permukaan untuk menutupi kasus-kasus lain.
Untungnya masih ada segelintir pers Indonesia yang tertarik dengan pemberitaan Mbok Minah yang diadili karena mencuri semangka. Namun praktis pemberitaan terhadap hukum yang memihak orang kecil semacam ini tidak begitu menarik perhatian komunitas pers. Apalagi ketika aksi orang kecil yang mengancam pemilik modal yang ada di belakang institusi pers.
Belakangan ini pers Indonesia pun begitu antusias dan terpancing dengan ulah Komisi III DPR yang menolak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mempermasalahkan status deponeering Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Sikap Komisi III DPR yang sekarang memicu debat di kalangan masyarakat tidaklah substantif karena dikesankan sebagai ajang balas dendam terhadap pemenjaraan 25 sejawat politikus dalam perkar suap Deputy Senior Gubernur BI Miranda Swaray Goeltom.
Sikap Komisi III DPR, dan dukungan terhadap hak angket mafia pajak hanyalah salah satu dari sekian upaya untuk saling menutupi dalam perkara suap terhadap Gayus Tambunan yang melibatkan perusahaan-perusahaan milik tokoh partai terkemuka. Dalam situasi politik yang kompleks seperti sekarang pers sering tampak sulit untuk memihak dan berpihak. Dalam kasus-kasus semacam ini pers Indonesia tampaknya sulit menempatkan dirinya sebagai pers perjuangan yang membela kepentingan rakyat dan masyarakat. Apalagi ketika ada pemodal pers yang bermain di dalamnya.
Yang tampak ke permukaan justru wajah pers yang cenderung instan. Pers sulit menghindarkan diri dari sensasi karena memang berita-berita semacam itulah yang amat disukai oleh publik. Di era pers instan semacam ini dengan cepat orang naik ke permukaan dan menjadi terkenal namun pada saat yang bersamaan orang mudah hancur berkeping-keping. Dalam sekejap pers mampu membawa seseorang menjadi politisi mengkilat tapi dengan cepat pula mengantar orang ke jeruji besi.
Sekarang ini pers juga jarang mengedepankan berita yang serius, mendalam dan mengajak pembacanya untuk merefleksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Padahal, begitu banyak masalah bangsa yang memerlukan penyikapan yang serius. Persoalan yang sekarang membelit rakyat misalnya kenaikan harga bahan pangan mestinya mendorong pers menyajikan pemberitaan yang tidak hanya kulit luarnya saja. Bukankah masalah pangan telah mendorong krisis politik di berbagai negara membutuhkan penyikapan yang seksama.
Sikap pemerintah yang latah dan asal-asalan untuk menekan harga pangan dengan impor beras dan pencabutan bea tarif impor komoditas pangan hanya akan menghancurkan petani dalam jangka panjang. Namun pers terkesan kurang berani mengkritik kebijakan pemerintah yang terkesan makin kehilangan akal dalam memecahkan masalah-masalah pangan nasional. Indonesia memang kaya dengan sumber daya alam namun penduduknya seperti tikus mati di lumbung padi.
Tentu ini menjadi tantangan bagi pers Indonesia agar di masa depan tetap menjadi pers idola yang memperjuangkan kepentingan masyarakat. Pers nasional sebagai pers perjuangan harus tetap menjadi kawan bagi rakyat yang sekarang ini mendambakan kebenaran dan keadilan. Agar pers tidak terkooptasi oleh kepentingan politik dan kekuasaan pers harus tetap tampil dan ambil jarak dengan kekuasaan.
*) Peneliti The Servatius Institute Semarang.