Sebuah Pojokan Tak Terlalu Penting

Judul: Peta Dunia Tak Kasat Mata
Judul asli: Map of the Invisible World
Pengarang: Tash Aw
Penerjemah: Nadia Andwiani
Penerbit: PT Elex Media Kompatido,
Cetakan: I, Desember, 2010
Tebal: vii + 554 halaman
Peresensi: Asarpin
lampungpost.com

INDONESIA 1964 adalah Indonesia yang penuh ketegangan. Politik benar-benar menjelma sebagai panglima. Bung Karno bagaikan bintang Hollywood yang menyita perhatian dunia internasional. Amerika dan Inggris seakan benar-benar hendak disetrika dan dilinggis. PBB dianggap bukan lagi lembaga yang bisa dipercaya. Seruan untuk mengganyang Malaysia terdengar di mana-mana, diikuti kenaikan harga kebutuhan pokok, politik embargo, demonstrasi mahasiswa, perang media. Jakarta tampak membahana.

Alkisah, ada seorang pemuda berusia 16 tahun, terlihat sedang berjalan gontai menyusuri sudut-sudut kota Jakarta. Inilah kota teruwet dan terpanas di dunia. Tapi, si pemuda tampak tetap asyik dengan dunianya sendiri. Ia seperti menolak untuk beraksi. Dan dirinya hampir saja terjebak dalam labirin jalan buntu dan gang tanpa nama, tanpa peta.

Di bawah kaki langit kota Jakarta, suhu politik kian menggila. Namun, di bawah selimut malam, kota ini terasa lebih lembut, lebih manusiawi. Di sinilah Adam menggantungkan harapan untuk bertemu Karl, ayah angkat sekaligus gurunya, yang diculik oleh serombongan tentara hingga keduanya berpisah. Dengan bekal sebuah foto yang lusuh ia terus mencari keberadaan Karl sambil juga memasang telinga tentang keberadaan Johan, saudara kandungnya, yang diadopsi dan dibawa pergi oleh pasangan kaya. Ia bertemu Din yang cerdas, bahkan mengalahkan kecerdasan Karl yang Belanda. Ia berjumpa Margaret yang berkulit putih.

Nun jauh dari kota Jakarta, terbayang olehnya sebuah pulau terpencil. Nusa Perdo. Sebuah pulau yang menyempil di ujung atlas yang jarang dikunjungi orang dan telah jadi masa lalu bagi Adam. Flores. Ya, itulah sebuah pulau yang akan selalu tak kasatmata. Begitulah orang menyebutnya. Di pulau yang juga dijuluki Benua yang Hilang inilah, Adam pernah lama menambatkan kenangan masa kecilnya. Tapi kota ini seperti kotak yang tergantung, terombang-ambing oleh politik setengah hati pemerintah Belanda, yang sejak semula berhasrat membawa pulau ini berada di bawah tabir politik etis. Walau pulau ini tak banyak menghasilkan rempah-rempah dibanding kawasan Sumatera, terdengar rumor kalau pulau ini banyak menyimpan kandungan emas. Sejak itu pulau ini sepenuhnya dikuasai oleh penjajah Belanda.

Berangkat dari dua lanskap yang kontras itu, Tash Awesi penulis novel Map of the Invisible World yang kemudian diterjemahkan menjadi Peta Dunia Tak Kasat Mata {Desember, 2010} ini, yang mendapat pujian luar biasa di dunia internasional dalam dua tahun terakhir— menggoreskan penanya yang paling pribadi. Hasilnya amat memukau: sebuah prosa yang puitis, eksotis, dan enak dibaca serta relevan, tak hanya bagi Indonesia, Malaysia, tapi juga dunia.

Novel ini menggambarkan dunia pascakolonial yang membawa suara lain dari suara orang Malaysia yang beberapa tahun terakhir sering diwaspadai. Benar-benar cerdas, arif, dan mengandung “politik osmosa”, atau ihwal persenyawaan yang mantap, dengan melibatkan sejumlah dokumen sejarah ketegangan Indonesia, Belanda, Amerika, dan Malaysia, dengan tokoh-tokoh yang berlatar dari negara-negara tersebut. Ada Adam, Zubaidah, Din (yang pribumi), Karl yang Belanda, Margaret Bates yang Amerika, Johan yang Indonesia tapi mendapat hak istimewa di Malaysia. Semua terjalin dengan sangat unik: setiap bab muncul pasangan yang menonjol. Bab dua, misalnya, hampir keseluruhan diwakili oleh tokoh Adam-Karl, bab tiga percakapan antara Din-Margaret, bab empat kembali suara Adam-Karl, bab lima kembali ke suara Din-Margaret, dan pada pengujung kita disuguhkan kisah romantis antara Adam-Zubaidah, serta bayangan suara Johan.

Tash Aw, novelis muda berwarganegara Malaysia yang tinggal di London ini, pantas disebut sebagai Pram-nya Malaysia. Caranya berkisah dan pencitraan-pencitraan yang dihasilkannya memang terasa sudah klasik, dan hampir semua data tentang kota Jakarta dan Pulau Jawa yang digambarkannya semuanya sudah sering dibolak-balik oleh Pram dan penulis yang lain. Namun, kekhasan novel tebal ini terletak pada ketekunan dan kesabaran penulisnya dalam membolak-balik dokumen masa lampau tentang Indonesia yang di dunia internasional sering tak dikenal, dianggap sebuah benua yang jauh, di ujung bumi dan hampir-hampir tak terjamah oleh pena para penulis Eropa yang sudah punya nama.

Kalau Pram menyebut Indonesia dan manusia dengan segala problematikanya di Bumi Manusia (2000: 145) sebagai “hanya sebuah pojokan tidak terlalu penting dalam keseluruhan bumi manusia”, Tash Aw lebih suka menggunakan metafor “dunia tak kasat mata”. Dunia yang jika diandaikan sebagai alfabet, itulah huruf Z. “Huruf Z adalah dunia tak kasat mata: huruf terakhir dalam alfabet yang sering diabaikan, misterius, jarang dimanfaatkan. Z, anak-yatimnya alfabet. Z, huruf yang berdiri sendirian di ujung alfabet, kesepian kendati berada di antara jejeran huruf (h.246). Ya, seperti Minke yang kesepian di tengah industri manusia, Indonesia dan manusia-manusia di dalam novel ini nyaris tanpa prospek apa pun dalam hidup. Ya, hanya sebuah pojokan tak terlalu penting dalam keseluruhan bumi manusia.
***

*) Asarpin, Pembaca sastra.