Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/
PADA usia ke-30, seorang kerani bank ditahan oleh dua petugas. Namanya Joseph K. Dengan itulah novel Kafka yang termasyhur itu bermula: sebuah cerita yang dikisahkan dengan cara datar tentang sesuatu yang sebenarnya tak datar, sesuatu yang gila, merisaukan, tapi pada saat yang sama terdengar benar. Der Prozess (“Proses”) adalah sebuah dongeng tentang sebuah situasi yang berlubang menjurang di mana keadilan dibicarakan tapi tak pernah hadir.
K ditahan, akan diproses, dan mungkin akan kena hukuman, tapi tak pernah dijelaskan apa tuduhan terhadapnya. Dengan tenang Kafka menampilkan K yang tak teramat risau. Pegawai bank ini punya seorang pembela, tapi ia pasif: ia tak pernah bisa paham uraian ruwet sang advokat.
Memang ada mahkamah, ada hakim, ada proses peradilan. K sudah tahu itu. Tapi tampaknya di masyarakat tempat ia hidup, ia harus tak terkejut menanggungkan absurdnya lembaga, sistem, prosedur, dan aturan-aturan yang tiap kali bisa melumpuhkan orang. Hukum (yang seakan-akan mewakili Keadilan) tak pernah membuka diri. Dalam cerita ini, K akhirnya dieksekusi. Beberapa detik sebelum ia dibunuh, ia berkata, tanpa protes: “Seperti anjing.”
Novel ini belum selesai ditulis ketika Kafka meninggal pada umur 40. Tapi sebagaimana ceritanya yang lain, “Di Depan Hukum” (Vor dem Gesetz), “Proses” menghadirkan suasana yang tak terjawab tentang manusia dan keadilan. Kafka selalu menghadang kita dengan perumpamaan yang enigmatik. Dalam “Proses” ada satu bagian kecil yang bicara banyak kepada kita, ketika K menemui pelukis Titorelli, yang sebenarnya tak tahu hukum dan hanya tukang gambar yang diupah, oknum dari mesin untuk mengagungkan lembaga kehakiman.
Di studionya yang tak mengesankan, Titorelli memperlihatkan sebuah lukisan: sosok seorang wanita yang biasa kita lihat jadi lambang “Keadilan”.
“Oh, sekarang saya bisa lihat,” kata K. “Itu kain yang menutup matanya dan itu timbangannya. Tapi apakah itu sayap, yang tampak di tumitnya, dan tampaknya dia sedang lari?”
“Ya,” sahut si pelukis. “Itu sesuai dengan pesanan; saya harus menggambar seperti itu. Itu sebenarnya Keadilan dan sekaligus Dewi Kemenangan.”
“Itu bukan satu kombinasi yang bagus,” kata K, tersenyum. “Keadilan harus kalem, kalau tidak, timbangannya akan goyang dan satu keputusan yang adil akan mustahil.”
“Saya cuma menuruti keinginan klien saya,” kata si pelukis.
“Ya, tentu,” kata K.
Saya tak tahu, apa yang dipikirkan Kafka dengan menampilkan bagian ini. Tapi gambar Titorelli bisa punya makna yang bisa berbicara kepada kita sampai hari ini.
Keadilan bukan kombinasi yang bagus dengan Kemenangan, kata K. Kita tahu, Kemenangan lahir dari konflik dan persaingan antara pihak. Sementara itu, Keadilan justru seharusnya berada di atas pihak-pihak; ia jadi pengukur sikap dan fiil pihak-pihak itu.
K rupanya percaya, Keadilan ada di atas dan di luar sejarah, sesuatu yang muncul dari dasar yang transendental. Sebaliknya si pemesan gambar dan Titorelli tampaknya tahu, K punya ilusi tentang Keadilan yang lazim: keadilan sebagai hal yang diajarkan Langit dan Keabadian. Menampik ilusi itu, lukisan Titorelli menunjukkan, pada akhirnya Keadilan adalah sesuatu yang terkait dengan sesuatu yang tak abadi, yakni Kemenangan: posisi hegemonik untuk menentukan wacana tentang apa yang adil dan tak adil.
Tapi lukisan itu juga memberi kiasan lain: Keadilan itu punya sayap di tumitnya. Dengan halus K mengkritik gambaran itu. Baginya Keadilan yang tak ada dalam posisi stabil bukanlah Keadilan. Seperti dikatakannya, “timbangannya akan goyang dan satu keputusan yang adil akan mustahil”.
Yang tak dilihat K ialah bahwa “keputusan yang adil” yang diharapkannya itu lahir dari stabilitas yang semu. Apa yang “adil” selamanya mengetuk pintu manusia setelah, dan seraya, melintasi perjalanan sejarah-yang penuh ketak-pastian. Dalam sebuah tafsir atas karya Kafka ini, Deleuze dan Guittari membaca lukisan Titorelli sebagai sebuah alegori bahwa Keadilan bukanlah “Keniscayaan” (Ncessit) melainkan “Kebetulan” (Hasard). Dengan gambar perempuan yang tertutup matanya dan bersayap tumitnya, kata Delueze dan Guittari, pelukis itu menampakkan Keadilan sebagai “keberuntungan yang buta, hasrat yang bersayap”.
Dengan kata lain, “keputusan yang adil” yang bisa dikatakan stabil dan kekal tak pernah ada. Ia ditentukan oleh apa yang mempengaruhinya dalam suatu masa, suatu tempat. Ia berubah dan bergerak dari waktu ke waktu, ruang ke ruang.
Namun yang menarik dari tafsir Deleuze dan Guittari ialah bahwa seraya menyadari Keadilan sebagai “Kebetulan”, kita tahu bahwa nasib dan keputusan atas diri K yang dibunuh “seperti anjing” itu bukanlah sesuatu yang adil. Situasi K adalah sebuah perwujudan Ketidak-adilan. Dan dari situasi seperti itu, hasrat untuk “keputusan yang adil”, atau hasrat untuk Keadilan, yang “bersayap” itu, akan terbang, naik mengatasi bumi.
Sejarah memang menunjukkan, hasrat itu tak pernah menemukan tempat yang pas untuk hinggap. Mungkin karena Keadilan dan bagaimana wujudnya tak pernah jelas. Tapi kita tahu, kita bisa rasakan dan artikulasikan apa yang tak-adil. Kita tahu apa itu penindasan para tiran, meskipun kita tak bisa dengan gamblang merumuskan bagaimana kemerdekaan setelah itu. Sembari demikian, kita tak menghentikan hasrat. Hasrat itu tetap bersayap, siap berjalan jauh.
Di sekitar hari Natal ini, saya bayangkan itulah hasrat tiga orang Majus yang berani menyeberangi benua menuju ke sebuah tempat di bawah bintang yang gilang-gemilang. Ada sesuatu yang mendorong mereka-meskipun tak selamanya pasti-untuk mencari sang penebus di dunia yang banyak kehilangan dan cedera.
Dan sejarah manusia mirip perjalanan dari Timur itu.
27 Desember 2010