Berkalam dan Bermadah

Amarzan Loebis
majalah.tempointeraktif.com

MASA-masa remaja dan belia…di Riau adalah bayang-bayang di keremangan…. Demikian kalimat berlagu Tenas Effendy di depan Majelis Konvokesyen ke-35, Dewan Canselor Tun Abdul Razak di Bangi, Selangor Darul Ehsan, Malaysia, Sabtu 17 September lalu. Siang itu “Pak Tenas”-demikian ia biasa disebut-menerima Anugerah Kehormatan Doktor Persuratan dari Universiti Kebangsaan, Malaysia.

Tenas, kelahiran Pelalawan, November 1936, lalu berbicara tentang kebimbangan, “di antara bumi tradisi yang didakwa lapuk kerana rempuhan kolonialisma, di satu pihak, dengan langit masa hadapan yang belum usai dirumuskan, di pihak lainnya.” Tenas memang produk sebuah zaman yang “kikuk”.

“Revolusi Sosial” 1946, yang secara membabi-buta mengobrak-abrik sejumlah kesultanan Melayu di pesisir timur Sumatera, membuat bocah 10 tahun itu menyembunyikan nama aslinya, Tengku Nasyaruddin Effendy. “Kebangsawanan menjadi beban yang justru membahayakan pada masa itu,” katanya, di rumahnya yang sangat Melayu di kawasan Pasir Putih, Pekanbaru.

Tenas lalu lebih banyak merenung “ke dalam”, dan berkembang menjadi penulis produktif. Ia sudah menerbitkan lebih dari 112 karya, dan sekitar 200-an lagi naskah yang siap terbit. Semua tersusun rapi di perpustakaannya yang lapang dan terpelihara.

Di rumah ini juga tersimpan ratusan pita rekaman seni budaya Melayu dari berbagai puak, termasuk lebih dari 17.500 ungkapan tradisional Melayu dan 10.000 bait pantun. Selain di Riau, buku-bukunya diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia.

Berbeda dengan Tenas, Ketua Majelis Kerapatan Adat, Lembaga Adat Melayu Riau itu, yang kalem dan serba terukur, berbincang dengan Hasan Junus tak ubahnya bersampan di laut yang gemuruh dan ribut. Suaranya meletup-letup, diikuti gerak tangan ekspresif dan mimik dramatik. Dalam kalimat-kalimatnya bersimpang-siur berbagai istilah Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan Latin merancas-rincis.

Hasan, kini 64 tahun, fasih menulis cerita pendek dengan gaya naratif memukau. Laki-laki kelahiran Pulau Penyengat ini dibisikkan masih punya hubungan darah dengan Raja Ali Haji. “Ah, apa pula gunanya itu dibicarakan?” katanya dengan sikap tak peduli. Dialah yang menulis Raja Ali Haji; Budayawan di Gerbang Abad XX.

Pada 1960 Hasan menuntut ilmu di Bandung, di Jurusan Sejarah dan Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. Ia juga “gatal” mempelajari berbagai bahasa Eropa. Bersama kawan seangkatannya, Sutardji Calzoum Bachri, Hasan menjadi penasihat majalah sastra Menyimak, kemudian penasihat pada berkala sastra Berdaulat, keduanya di Pekanbaru.

Hasan menulis segala rupa, mulai fiksi sampai telaah ilmiah. Dari Dewan Kesenian Riau, ia memperoleh Anugerah Seni 2001 sebagai Seniman Pemangku Seni. Pada 1983-1986 ia menjadi tenaga pengajar luar biasa di FKIP Universitas Islam Riau, kemudian mengajar sastra bandingan dan bahasan naskah Melayu di Fakultas Sastra Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru.

Sementara Hasan Junus pada masa mudanya merantau ke Bandung, U.U. Hamidy memilih kuliah di Fakultas Sastra dan Seni IKIP Malang, Jawa Timur. Kini, pria 62 tahun itu lebih banyak tinggal di rumah dan sering menolak diwawancarai. “Sekarang giliran yang muda-mudalah yang angkat bicara,” katanya. Tapi, diam-diam, ia masih bertekun menulis.

Pada 1998 ia menerima Hadiah Sagang sebagai penulis buku terbaik mengenai budaya Melayu. Pernah menjadi Dekan FKIP Universitas Islam Riau, U.U. Hamidy juga sempat berkhidmat di Fakulti Sastra dan Sains Sosial Universiti Malaya, Kuala Lumpur, hingga mendapat “ijazah tinggi” (MA).

U.U. Hamidy punya cara unik dalam menerbitkan sendiri karya-karyanya. Ia berkawan dengan seorang pemilik percetakan kecil yang selalu siap menerbitkan karyanya dengan ongkos “musyawarah”. Soalnya, menurut sang pemilik percetakan, “order” dari U.U. Hamidy selalu membawa rezeki, disusul order-order lainnya. Terakhir, dengan label Bilik Kreatif Press, Pekanbaru, U.U. Hamidy menerbitkan karyanya, Rahasia Penciptaan.

“Rahasia penciptaan” pula yang membuat Taufik Ikram Jamil berani keluar dari pekerjaan wartawan sebuah media nasional nan mapan, memilih berkutat di kesenian. Lahir di Telukbelitung, Bengkalis, 1963, Taufik tak ubahnya penyambung mata rantai kesastrawanan Riau setelah generasi Hasan Junus dan para almarhum: B.M. Syamsuddin, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza.

Menyelesaikan pendidikannya di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Riau, Taufik menulis puisi, novel, resensi seni, dan reportase jurnalistik. “Semuanya bermula dari kegelisahan mencari posisi kemelayuan di tengah peta kenusantaraan ini,” katanya, dengan gayanya yang santai dan akrab. Kini ia memimpin Akademi Kesenian Melayu Riau, bahkan ikut mengelola sebuah radio komersial dan studio musik.

Taufik pula yang merintis Yayasan Pusaka Riau, yang giat menerbitkan berbagai buku. Di yayasan ini ia didukung Syaukani Al-Karim, satu lapis di bawahnya, penyair kelahiran Bantantua, Bengkalis, 1968. Sejak di bangku kuliah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau, Syaukani menulis sajak, cerita pendek, dan esai. Bergiat sebagai perwakilan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), tahun ini ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama, Hikayat Perjalanan Lumpur.

Riau tak hanya kaya penulis, tetapi juga ragam dalam unikum. Ada penulis yang dokter, rajin mendirikan rumah sakit dan perguruan tinggi, bahkan pernah menjadi “Presiden Riau Merdeka”, macam Tabrani Rab.

Ada pula polisi yang kemudian menjadi penyair, seperti almarhum Ibrahim Sattah. Atau wartawan-penulis yang kemudian berkembang menjadi pengusaha sukses, seperti Rida K. Liamsi. Atawa insinyur-penulis yang belakangan jadi manajer humas pabrik pulp dan kertas, macam Fakhrunnas M.A. Jabbar.

Di antara unikum itu mungkin bisa disebut Chaidir, dokter hewan yang “tersesat” menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau untuk dua kali masa jabatan. Chaidir, yang menyelesaikan pendidikannya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan meraih gelar magister manajemen di Universitas Padjadjaran, Bandung, lahir di Pemandang, Rokan Hulu, Riau, 1952.

Sejak mahasiswa, Chaidir aktif menulis. Terjun ke dunia politik tak membuat ayah empat anak ini meninggalkan dunia kalam. Pada 1999 ia bahkan mendirikan tabloid Mentari di Pekanbaru, dan menulis kolom tetap setiap pekan di media itu. Ia telah menerbitkan lima buku: Suara dari Gedung Lancang Kuning, Berhutang Pada Rakyat, Panggil Aku Osama, 1001 Saddam, dan Menertawakan Chaidir.

Posisi di lembaga legislatif tak menjauhkan Chaidir dari pergaulan dengan para penulis dan seniman Riau. Kadang-kadang, bahkan di forum resmi, para seniman lancar saja melempar sindir ke alamat sang Ketua-tanpa berbuntut sakit hati. Untuk bukunya yang akan segera terbit, Membaca Ombak, Goenawan Mohamad menyempatkan diri menulis kata pengantar.

Chaidir, menurut Goenawan, menjalani pilihan yang sulit sebagai “manusia kalam” dan “manusia podium”. Dan pilihan itu bukannya tanpa risiko. Namun, perangai tulisannya adalah perangai yang membesarkan hati. “Perangai yang membesarkan hati” ini pula, tampaknya, yang patut disampirkan kepada para penulis Riau dari berbagai generasi-nama mereka terlalu banyak untuk disebutkan-yang tiada putus-putusnya menulis, berkalam, berdedah, dan bermadah.

10 Oktober 2005.