Sajak-Sajak Fikri MS

Membacamu Menari

Membacamu menari, perbincangan yang hangat
menyoal tentang keadaan.

Hanya sebentar memandangmu tapi bukan lagi anugerah sebab aku telah berkhianat dengan mengintaimu lebih lama.

Aku seperti terperosok ke dalam lubang rahasiamu, membentur pokok tubuhmu yang goyah sementara angin saling memprotes menebas-nebas dahan lenganmu yang bergoyang.

Aku mengaduh bukan karna keluh tetapi terperanjat sejadi-jadinya akan kekuatan yang kau tampakkan.
Jika saja semua itu adalah seruan, maka semestinya protes angin akan kalah-pecah oleh kedahsyatanmu.

Membacamu menari, jemarimu semacam daun yang lembai menjinakkan gerah yang mulai basah.

Teduh.

Membacamu menari, maafkanlah aku menjadi pencuri rahasia tubuhmu yang kau tak sembunyikan karna bagimu memandang adalah kemerdekaan tanpa perlawanan.

Dan larik ini hanya selembar daun kering akasia.

Solo, TBS, Januari 2011

Seekor Keringat

Sekelompok keringat terbang hinggap dari tubuh ke tubuh membawa pesan perjalanan panjang peristiwa.
Ada yang menetes di leher ibu yang tengah berjuang melahirkan, di kening wanita yang berjualan sayur di kaki lima, di betis pengayuh becak di simpang empat alun-alun kota.

Ada pula yang menyekanya di kerut dahi saat menghitung rupiah di bawah meja, megusapnya di paha mulus seorang WTS di bawah lampu lima watt sambil pura-pura mendesah antara kasihan dan kesusahan.

Sekelompok yang lain lagi melompat dari ubun-ubun ke ubun-ubun para petani dan juru parkir di bawah matahari.

Dan seekor keringat yang baunya harum melompat dari telunjuk seorang selebritis waktu menudingku dari layar televisi.

Aku tersontak seperti mendapat keuntungan, terkejut seketika lalu sekujur tubuhku basah diserang ribuan keringat.

Wanginya menusuk lebih tajam daripada sangkur aparat.

Seekor keringat asing memaksa masuk ke dalam mataku lalu berubah menjadi air mata.

Branda, 17 Januari 2011

Kupu-kupu Merah

Kupu-kupu merah hinggap di pundak kiriku, ia menangis pelan
Pelan sekali hampir-hampir tak terdengar dimamah berisik-bising mesin parutan kelapa.

Ia tersedu-sedu sesenggukkan air matanya membasahi kemejaku yang baru saja kubeli di pasar senggol istimewah di lantai dua super market.

Ia mengadu sangatlah pelan terdengar merintih menahan luka.
Kukatakan padanya, kenapa kau tak memilih hinggap di bunga matahari atau kembang kamboja saja!?
Ia terdiam, menyeringai seakan tak pecaya dengan pertanyaan itu, sementara bahuku bertambah kuyup oleh tangisnya.

Jabarkan kepadaku tentang duka yang memahatmu!

Ia diam.
Hening, bising mesin parut melenyap seperti dipaksa berhenti.
Semuanya mematung
Tiba-tiba kaki besar berbulu lebat berwarna coklat menancap tepat di hadapanku, baunya tak sedap seperti bau keringat.

Aku mendongak menajamkan mata menantang pemilik kaki itu
Ternyata seekor laba-laba raksasa bermahkota bertuliskan SATPOL PP.

Kupu-kupu merah bersembunyi di balik rambutku. Sembunyilah bisikku!
Serangga ini hanya mahluk tak bertuan meski ia mengaku bertuhan dan mengabdi kepada kekuasaan.

Branda, Januari 2011

Fikri MS, Lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan, 12 November1982. sejak th 1998 melanjutkan pendidikan di Jombang, Jatim sampai lulus kuliah th 2008 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di STKIP PGRI Jombang.
Berbekal pengalaman ‘main’ teater di Komunitas Tombo Ati (KTA) Jombang, Agustus 2008 mendirikan Sanggar Teater Gendhing (STG), mengelola kedai baca (Beranda), di kampung halaman sampai sekarang.

Bahasa »