Ambiguitas Pendidikan

Asarpin

Nona Dawna Markova adalah seorang guru psikologi yang mendalami puisi, yang pekerjaannya adalah membantu anak-anak agar senang belajar. Ia telah mengarang buku tentang bagaimana menemukan anugerah terindah yang dimiliki setiap anak. Mengapa anugerah? Karena ”dunia membutuhkan anugerah-anugerah yang hanya bisa dibawa olehmu”.

Pembaca, izinkan saya menyarikan gagasan ibu Dawna Markova itu di sini, siapa tahu bisa jadi setitik cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti pendidikan kita. Ibu Dawna berangkat dari keprihatinan dalam memandang potensi anak yang sudah lama terkubur oleh cara pandang dan perspektif yang kita gunakan dalam mendidik anak di rumah maupun di sekolah. Baginya, ia mesti menyuburkan anugerah terindah tiap-tiap siswanya.

Kisahnya dimulai ketika tahun demi tahun, dari ruang kelas yang satu ke ruang kelas yang lain, ia menyaksikan cahaya pendidikan itu diredupkan setiap proses yang justru dimaksudkan untuk menyalakannya. Mulailah ia berpikir keras, dan tampaknya ia tetap tertarik dengan seni belajar dan mendorong melesatkan kelebihan setiap anak. Namun ia ternyata ditakdirkan untuk melatih anak-anak agar menjadi pekerja yang patuh guna memelihara status quo. Ia mengajar guna membasmi pengabaian terhadap anak. Tetapi, ia malah mendapatkan dirinya berada dalam perang massif melawan ketakutan–rasa takut karena berbeda, rasa takut akan kelemahan, rasa takut terhadap sesuatu yang tak dikenal.

Kemudian ia berpikir, bahwa dirinya berada di kelas setiap hari untuk membantu siswa belajar. Namun yang ia temukan dirinya menjadi bagian dari ”institusi kepakaran” yang tanggungjawab utamanya adalah menyiapkan anak-anak untuk menghadapi tes terstandardisasi seperti UN, serta memelihara nilai-nilai.

Sebagai guru psikologi yang akrab dengan sastra, tentu saja ia gelisah. Di mana saja, katanya, orang-orang bicara tentang kaidah kencana. Tapi kaidah tersebut diberikan berdasarkan anggukan kepala dari warisan sang pemimpin lama. Untung saja departemen pendidikan tanggap dengan situasi demikian. Lalu menyerukan perubahan dan pemulihan dengan menstandardisasi kurikulum, mengurangi pilihan-pilihan alternatif, meningkatkan gaji guru, membuka jaringan dengan swasta untuk proyek beasiswa bagi guru, dan mengadopsi standar-standar yang ketat di negara maju.

Hari-hari berlalu, dan dalam waktu tak terlalu lama, negaranya telah memiliki pemikir-pemikir yang terstandardisasi dan guru-guru bersertifikat yang taat. Dan mulailah ia berpikir tentang fungsi standardisasi dan sertifikasi, karena bagaimanapun, ia tidak menghasilkan kecerdikan dan inovasi. Bahkan standardisasi hanya mengakibatkan imajinasi menjadi mati.

Baru-baru ini ia membaca hasil riset yang ditulis Richard Florida tentang pekerjaan yang paling banyak diminati di negarnya, serta lowongan yang paling cepat membludak dalam sepuluh tahun terakhir. Jawabanya adalah pegawai negeri sipil (guru dan pegawai kantor di lingkungan Pemda). Florida menyatakan: dengan mempekerjakan begitu banyak warga negara dalam pekerjaan yang tidak kreatif, bakat dan potensi yang ada terbuang percuma. Tapi tren ini merupakan efek langsung dari peningkatan dorongan terhadap kenaikan gaji dan standardisasi dalam pendidikan. Lalu dengan pesat, begitu banyak orang kehilangan kecakapan untuk berpikir ”imajinatif yang liar”.

Begitu banyak dana dibutuhkan agar guru yang jumlahnya lebih banyak dari salah satu propinsi berpenduduk terbesar di pulau Jawa itu hidup sejahtera. (Sebagai perbandingan, anggaran untuk pendidikan di Indonesia tahun ini mencapai 54 triliun lebih yang dialokasikan lewat Diknas, dan 23 triliun lebih lewat Depag. Belum lagi dana yang pendidikan di pos-pos lain yang tersembunyi dan tidakkasatmata, sehingga seluruh anggaran pendidikan nyaris mencapai 100 triliun, termasuk untuk gaji guru dan gaji pegawai negeri sipil lainnya).

Akibatnya bisa terjadi penurunan finansial, dan dalam waktu dekat dapat diasumsikan bahwa masa depan tidak memiliki kebutuhan nyata bagi para seniman, penyair, penari, petani swasembada, filsuf, diplomat, wartawan, dan orang tua yang berdiam di rumah. Yang diperlukan hanyalah pegawai negeri sipil dengan mental warisan turun-temurun yang berkarat dan sulit diubah. Selamat tinggal kalian semua!

Rasa-rasanya, mereka yang masih berpikir sehat, tak mau membiarkan situasi yang kalut itu mencengkram lebih dalam. Dalam situasi krisis kita memang bisa gamang dan tak tahu harus berbuat apa. Kita kalut memikirkan apa yang mesti dilakukan dalam situasi demikian. Dalam keasyikan ber-soliloqui—tiba-tiba pikiran tertuju pada fungsi imajinasi dan turunanya, kreativitas serta inovasi.

Ya, bicara soal imajinasi tentu bukan perkara yang bisa dibeli, apalagi perkara aset yang bisa di jual. Ia juga bukan monopoli orang sekolahan, guru dan peserta didik. Ia menjadi milik siapa saja dan penting bagi siapa pun untuk menjadi manusia merdeka. Mereka dapat disuburkan atau didangkalkan, dimekarkan atau ditanduskan, dapat diperbaharui atau dihamburkan sampai habis. Sumber daya yang paling berlimpah, paling tidak mahal, tetapi paling sedikit didayakan dan sering disalahgunakan, itulah imajinasi.

Tahun-tahun ketika ia menjadi guru, ia tertegun melihat bagaimana semua kebijakan untuk memajukan pendidikan ternyata mengakibatkan penghapusan sumber daya tersebut sampai pada ambang yang nyaris punah. Di mana-mana para penulis menganjurkan untuk mulai berpikir secara global dan inovatif, tapi mereka bahkan tidak dapat berpikir melebihi hidung sendiri. Para psikolog yang menekuni SQ dan EQ mengusulkan agar para guru mulai menggunakan otak kanan yang intuitif, inovatif, imajinatif secara keheren. Tapi mereka sendiri masih asyik dengan otak kiri yang linear.

Dibutuhkan waktu berabad-abad bagi informasi mengenai pencairan sebiji emas untuk bisa melintasi benua dan mengawali Abad Besi. Tetapi ketika manusia pertama melangkah di bulan, seluruh dunia hanya membutuhkan waktu kurang dari 1,4 detik untuk mengetahui apa yang teradi. Kecepatan itu pun sekarang sudah terhitung sangat lambat. Sekarang orang bilang Abad Informasi dan bukan lagi Abad Industri. Sekolah-sekolah menyiapkan siswa untuk dididik bukan agar jadi sekrup, mur atau baut, dan siap untuk bekerja di dunia industri. Sekarang sekolah-sekolah menyiap siswa-siswa untuk memasuki keragaman informasi, bank data, tabungan aksara.

Jika dulu kita bicara ”waktu apung”—rentang waktu antara penulisan cek dan pencairan cek di bank—kini hal itu sudah tiada. Tak ada lagi apungan moneter, bahkan tak ada lagi, di mana saja, waktu antara sesuatu yang telah dan akan terjadi. Segala sesuatunya kini berubah dan berada dalam ambiguitas.

Sekolah-sekolah, sebagaimana kita ketahui, belum dirancang untuk menghadapi dunia ambiguitas, dan hanya segelintir seniman urakan yang berusaha mengantisipasi apa yang bakal terjadi. Kurikulum dan sistem pendidikan dibuat masih menggunakan musik harmoni yang sama untuk menyongsong siswa menghadapi dunia industri. Tak heran jika sebagian besar siswa tertinggal karena sistem pendidikan hari ini. Kita mnyiapkan untuk masa depan mereka dengan memberi keterampilan dan wawasan yang sesuai dengan masa sekarang. Esok, kita akan mengirimkan anak-anak ke sekolah ”masa lalu”.

Bel-bel di sekolah akan terus memberi tahu anak-anak kapan masuk dan kapan pulang. Mereka terus mengaitkan guru mereka sebagai bos-bos yang akan menentukan hal yang semestinya dipelajari anak-anak lewat standar-standar masa lalu. Sebab masa lalu, kata mereka yang tahu, adalah guru.

Itukah yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh sebuah negara besar agar tetap menjadi ranah bagi kesempatan dan inovasi? Inikah masa depan yang ingin dihuni oleh anak-anak kita?
Gagalnya Pendidikan Kita

Orang bijak pernah mengatakan, ”Jika kau ingin dapat pekerjaan yang secara ekonomi dan sosial menggiurkan, maka tak perlu sekolah tinggi. Cukup tamat SLTA dan cari pekerjaan. Untuk apa sekolah sampai S2 dan S3 karena kenyataannya tak membuat orang nambah pintar secara sosial, ekonomi, budaya, politik. Juga tidak menambah pintar secara intelektual, emosional dan spiritual. Lihatlah rekan-rekanmu yang master dan doktor, apa bedanya dengan kamu yang cuma tamat SLTA dan S1”.

Makin kita panjangkan contoh rekan-rekan kita yang menempuh pendidikan tinggi tapi tidak lebih pintar itu, maka makin pesimis kita dengan yang namanya lembaga pendidikan di negeri ini. Terus terang, sejak lama saya sudah mengalami krisis terhadap pendidikan kita, terutama sejak saya bersentuhan secara teoritis dengan buku-buku Paulo Freire, Ivan Illich, Peter Drost, buku-buku Romo Mangunwijaya dan buku-buku keluaran Insist. Ditambah pengalaman saya berkecimpung dengan sastra dan bergelut bersama kaum miskin kota di Jakarta dan di Bandarlampung, yang ternyata tidaklebih bodoh dari burung beo seperti para sarjana kita.

Saya yakin orang-orang yang sudah master dan doktor sadar akan beban gelar yang mereka emban. Saya yakin mereka sadar bahwa gelar tidak menjamin seseorang lebih pintar. Kalau saja karena tidak ada kepentingan untuk jadi dosen atau agar cepat diterima jadi pegawai negeri sipil, mungkin orang-orang itu tidak melanjutkan pendidikan sampai S2 dan S3. Tapi apa memang betul? Bukankah gelar juga prestise, bisa menambah gengsi sosial dalam pergaulan?

Sebagian besar mereka yang master dan doktor cuma kedoknya saja. Hanya bertambah nama depan atau nama belakang saja, tanpa bertambah wawasan dan pengetahuan yang sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Para mahasiswa yang pernah memperoleh predikat teladan pun ternyata tak ada yang pantas diteladani. Pengetahuan yang mereka tabung di kepala, di dada dan di lubuk jiwanya, tak pernah memadai bagi negeri yang sedang karam ini.

Gelar master dan doktor hanya topeng yang menyembunyikan begitu banyak kerapuhan. Master dan doktor sudah begitu banyak di Indonesia saat ini, dan seharusnya Indonesia sudah jauh lebih hebat dari setengah abad yang lalu. Tapi apakah Indonesia lebih hebat, lebih baik, lebih sejahtera, lebih beradab?

Kalau seorang master dan seorang doktor tidak lebih pintar dari orang yang hanya tamat SLTP atau SLTA, lalu apa artinya ini? Siapa yang salah jika para doktor dan profesor kita tidak lebih pintar dari orang yang tamat SLTA? Siapa yang mesti bertanggungjawab jika pendidikan negeri ini tambah bobrok?

Izinkan saya menjawab: dunia pendidikan. Yang saya maksudkan dunia pendidikan di sini adalah sekolah, perguruan tinggi seperti universitas, institut dan sekolah tinggi itu. Yang saya maksudkan dunia pendidikan adalah sekolah formal yang mencetak para sarjana yang memimpikan siap pakai tapi tak siap belajar itu.

Ada dua kesalahan negara yang mencolok. Pertama, kebijakan negara hanya memberi peluang pada orang yang berijazah tanpa mengukur kemampuan orang yang tak punya ijazah. Kedua, disadari atau tidak, negara telah membuat prasangka yang rasis dengan menempatkan yang tidak berijazah sebagai bodoh dan yang berijazah sebagai orang pintar dan menutup akses bagi yang pertama.

Sekolah saja tak pernah cukup, tuan, tulis Andrias Harefa. Perlu juga ditambahkan di sini: sekolah kita sudah lama mati. Pendidikan tinggi kita hanya melahirkan orang yang tidak terdidik. Betapa pun lembaga-lembaga pengajaran formal itu dibenahi dan direformasi, ia tak menjamin melahirkan manusia-manusia berkarakter, berjiwa, inovatif dan kreatif.

Pendidikan kita gagal membentuk mental. Pendidikan kita gagal melahirkan manusia Indonesia berkarakter. Pendidikan kita gagal melahirkan sarjana yang berjerih-berkeringat secara intelektual, emosional dan spiritual, dan hanya berhasil menambah banyak manusia yang jadi pengemis.

Pendidikan kita hanya sarang penyamun. Lembaga penjual gelar yang cuma melahirkan para pendidik yang pandai berslogan dan jual proposal. Pendidikan kita sudah begitu jauh berada di menara gading. Pendidikan kita begitu jauh meninggalkan spirit budaya.

Hai, manusia-manusia berpendidikan, bangunlah! Hai manusia-manusia bergelar master dan doktor, berkacalah! Malu pada gelar kalian kalau ternyata kalian tidak punya kontribusi apa pun bagi perbaikan negeri ini! Malulah pada diri kalian kalau ternyata kalian sudah tak membaca buku lagi!
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/