Kain Merah Pudar

Yudhi Herwibowo *
http://pawonsastra.blogspot.com/

kain merah pudar yang kausampirkan di relungku
adalah kain yang dulunya putih
tempat kita mencoreti masa lalu

kau masih saja terluka
di meja makan bundar, tempat kau dan aku bersantap
bersama anak-anakmu, anak-anakku
kau akan selalu bercerita tentang bekas luka di dahimu: kemarahanmu
seakan luka itu masih mengerak perih
dengan kata-kata kramat leluhur yang terpekik
dan aku: hanya bisa menggelung kata

kau memang telah berubah,
tidak semenjak kau sampirkan kain merah pudar itu di relungku
tidak, tidak: tapi jauh, jauh selebih itu
kini kau bahkan begitu berapi
seakan mendapat wangsit, yang sebenarnya hanyalah pangsit di wadah busuk
kau bahkan mengubah semuanya: mencoreti lagi dengan kata-kata leluhurmu di kain merah pudar ini, hingga menjadi lebih kusam
seakan telah menyembuhkan penyakit paling kronis diri kita: kematian

dan aku hanya akan berlirih: ‘maafkan aku, karena tak bisa ikut denganmu…’
tapi kain merah pudar ini, biarlah tetap di sini.

Solo, juli 2008

*) Sudah menulis beberapa buku, yang terbaru “Untung Surapati,” sebuah roman sejarah.