Sastra (wan) Selalu Bersuara

Asef Umar Fakhruddin*
Seputar Indonesia, 2 Des 2007

SEJAK orang menemukan bahasa, tandas Jacob Soemardjo (1997), ternyata mereka menyukai sastra, menyukai pengalaman-pengalaman fiktif dan tokoh-tokoh fiktif,dan menyukai alunan bahasa yang berirama.

Dengan kemampuan itu, hidup lantas dijalani tanpa membosankan. Waktu pun berlalu terasa cepat dan menyenangkan.Hidup menjadi segar kembali dan orang boleh bekerja kembali, mencari nafkahnya sehari-hari, setelah berlibur.Kesenian dan kesusastraan khususnya diakui kepentingannya dalam kehidupan oleh bangsa-bangsa primitif yang buta huruf maupun oleh kaum intelektual.

Orangorang desa, misalnya, mau menonton pertunjukan wayang semalam suntuk. Untuk apa? Hiburan saja? Sastra tidak hanya memberikan kegembiraan hidup, tetapi juga pemahaman manusia dan dunia secara lebih baik.Sastra kadang kala malah lebih dihargai daripada ilmu pengetahuan, misalnya sejarah.

Sejarah hanyalah kisah rekonstruktif yang belum tentu benar. Akan tetapi, sastra mewakili kebenaran yang sudah, sedang, dan akan terjadi. Kata salah satu intelektual terkemuka Prancis,Diderot,“Sejarah yang sejati pun, penuh dengan kepalsuan, tetapi sastra penuh dengan kebenaran.”

Namun, tidak setiap karya sastra berisi kebenaran yang sejati itu. Karya sastra yang sejati adalah karya yang sanggup memberikan hiburan dan kebenaran itu. Sastra yang sejati adalah dokumen bagi kemanusiaan. Ia tidak perlu menyejarah, tetapi ia akan hidup bersama sejarah. Jika sejarah hanya berisi tentang cerita lembaga-lembaga kekuasaan yang amat nisbi,maka sastra bercerita tentang manusia dengan impian-impiannya, perjuangan hidupnya, penderitaannya, dan kebahagiaannya.

Sastra adalah potret manusia dari jaman ke jaman. Karena itu, tidak mengherankan apabila Ignas Kleden (2004) mendedahkan bahwa teks (karya) sastra senantiasa mengabarkan kepada pembaca bahwa banyak hal yang harus direnungkan dalam kehidupan ini. Setiap karya sastra itu berusaha menghadirkan konteks atau kenyataan masa lalu untuk masa sekarang.

Tujuannya, agar orang sekarang tidak melakukan hal-hal salah yang pernah dilakukan orang-orang zaman dulu. Para sastrawan pun tidak begitu memusingkan kapan peristiwa atau konteks itu terjadi.Yang penting bagi mereka adalah pelajaran dari peristiwa itu. Konteks memang penting,tetapi bukanlah sesuatu yang bersifat statis atau einmalig (hanya bersifat sekali terjadi).

Dalam perjumpaan kita dengan suatu karya sastra,konteks itu selalu bergerak, bersifat dinamis, dan selalu diciptakan dan diperbarui kembali. Pada konteks ini pula, karya sastra tersebut bisa disebut sebagai karya sastra yang kreatif. Karya sastra yang kreatif adalah sastra yang menciptakan makna dalam katakata yang digunakannya, bukan sekadar memakai makna-makna yang ada.

Katakataseorangsastrawanbukanlahsekedar medium tetapi adalah message, kalau boleh kita boleh memakai konsep-konsep komunikasi dari Marshall McLuhan di sini. Mungkin di sinilah kita dapat membedakan secara sangat umum antara bahasa seorang ilmuwan, ahli hukum, wartawan, atau seorang penyiar televisi dengan bahasa sastrawan.

Dalam suatu ideal type, sastrawan adalah sekelompok orang yang memproduksikan makna kata-kata, sedangkan pengguna bahasa lainnya hanya mereproduksikannya. Dalam hal ini, rasa sastrawan bertengger di atas rasionalitas manusia pada umumnya. Mereka membaca derap langkah manusia dan kehidupan dengan sense of self dan sense of life yang dimilikinya.

Sekali lagi, hal itu pula yang membuat para sastrawan berbeda.Pasalnya,pada titik ini, mereka seumpama nabi, menerima dan menangkap pesan Tuhan,kemudian menjelaskan kepada masyarakat denganbahasasehari-haridansederhana. Mereka ibarat Hermes,dewa Yunani yang bertugas menjelaskan pesan Zeus,Dewa Agung,kepada penduduk bumi.

Sastra dan Perjuangan Hidup

Lebih dari pernyataan Diderot di atas, bahkan sebenarnya karya sastra mampu menghadirkan sejarah—yang sangat mungkin kebenarannya acap disumirkan pelbagai kepentingan—dengan lebih hidup dan sugestif.Hal ini khususnya bisa dilihat dengan banyaknya para penerima Nobel Sastra yang menjadikan “sejarah”sebagai kajian utamanya.

Sejauh ini, kebanyakan dari para Nobelis Sastra merupakan para sastrawan yang memperjuangkan penegakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Mereka memperjuangkan “kemanusiaan dan kehidupan”. Karya-karya mereka banyak mengetengahkan tentang kisah “pemusnahan” ras, kisah pemarginalan kelompok masyarakat tertentu, kisah pemerintah yang otoriter, juga kisah perjuangan kaum miskin yang menuntut kesejahteraan hidupnya, dan kisah tentang keserakahan manusia yang menyebabkan ketidakseimbangan alam. John Galsworthy (1867–1933),peraih Nobel Sastra 1932 adalah salah satunya.

Di samping memiliki keterampilan dramatis yang luar biasa, dramadramanya sering kali mengambil tema penderitaan kelompok sosial tertentu, seperti standar keadilan ganda yang diterapkan dalam kelas “atas dan bawah”. Kegelisahannya tersebut ia rangkum dalam Silver Box(1906). Tidak hanya itu, ia juga mendedahkan tentang konfrontasi antara pemodal dan buruh dalam Strife (1909).

Bahkan,dramanya yang paling terkenal, Justice (1910), membawa kepada perbaikan penjara di Inggris. Reaksi Galsworthy terhadap Perang Dunia I diekspresikan dalam The Mob(1914),yakni suara seorang negarawan ditenggelamkan kegilaan massa yang haus akan perang. Perjuangan menyuarakan dan mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan melalui media karya sastra juga dilakukan Roger Martin Du Gard (1881-1958), peraih Nobel Sastra 1937, yang dalam Perang Dunia I berada di garis depan.

Ia mencurahkan sebagian besar waktunya untuk menulis roman-feuve berjudul Les Thibault, yang memuncak dalam tiga judul, L’Etre (musim panas 1914). Les Thibault sendiri merupakan gambaran monumental tentang keadaan manusia sebelum meletusnya Perang Dunia I, kemudianberubahakibatpeperanganini.

Nadine Gordimer,novelis dan cerpenis kelahiran Springs,Afrika Selatan,ini juga ikut meramaikan para penerima Nobel Sastra yang mengkaji dan memperjuangkan persamaan harkat dan derajat manusia. Peraih Nobel Sastra 1991 dan putri pasangan Yahudi ini, memiliki karya-karya yang selalu berisi tentang ketegangan antara kulit putih dan kulit hitam.

Novel-novelnya seperti A World of Strangers (1958), Occasion for Loving (1963), dan The Late Bourgeois World (1966) berkisar pada tema-tema ketegangan tersebut. Novelnya, The Conservationist (1974), yang mendedahkan tentang eksploitasi kulit putih atas pekerja kulit hitamnya demi keuntungan pribadi,memenangkan Booker Prize,penghargaan sastra paling bergengsi di Britania Raya, pada 1974.

Bahkan, peraih Nobel Sastra tahun ini, Dorris Lessing, juga demikian. Ia menjadikan masalah perempuan yang sering dipinggirkan dan dinamika yang menggelayuti Afrika sebagai latar kritiknya, seperti yang ia hamparkan dalam African Laughter: Four Visits to Zimbabwe(1992). Visi bencana global—yang banyak disebabkan tangan-tangan zalim manusia— dan saat ini makin mengancam keberlangsungan kehidupan manusia, juga menjadi perhatian Doris.

Hal ini tampak jelas dalam karya-karyanya belakangan, seperti novel The Story of General Dann and Mara’s Daughter dan Griot and The Snow Dog (2005). Karena keberanian dan ketegasannya, para sastrawan ini selalu berhadapan dengan pemerintah atau para pemodal, yang rasa hatinya telah dilenakan dunia dan kekuasaan. Bagi mereka, kebenaran dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas.Jika kedua elemen itu tidak diindahkan, mereka akan melawan.

Bagi mereka pula, dipenjara, diasingkan, atau bahkan dibunuh, bukan sesuatu yang harus ditakutkan. Itu semua adalah saham perjuangan. Lalu perjuangan, kata penyair dan filosof Muhammad Iqbal,adalah keabadian. Para sastrawan ini dengan tegas dan bernas mengatakan kepada dunia (kita) bahwa masih ada dan banyak “kejahatan” kemanusiaan terjadi. Maka, sudah saatnya perilaku-perilaku tidak manusiawi tersebut dimusnahkan.

Bagi seorang sastrawan, apabila suara kebenaran dibungkam, sebaliknya, ia justru terus bersuara.Fakta-fakta,tegas Seno Gumira Adjidarma, bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tetapi kebenaran akan muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan.

Buku sastra bisa dibredel, tapi kebenaran sastra menyatubersamaudara, tak tergugat, dan tak tertahankan. Para sastrawan akan terus berteriak dan menghamparjelaskan kebenaran di atas permadani kehidupan.

* Asef Umar Fakhruddin, Pendiri Komunitas Ruang Bening, Yogyakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/12/esai-sastra-wan-selalu-bersuara.html