Apakah Segalanya Harus Amerika?

Tri Purna Jaya
http://www.lampungpost.com/

Amerika adalah negeri impian. Semua peluang terbuka dari setiap ruang. Ya, Amerika adalah negeri ideal. Di sana kebebasan dijunjung di atas tiap kepala dan pemegang palu keadilan untuk seluruh dunia. Tapi, apakah semuanya harus Amerika?

ITU (mungkin) pertanyaan yang coba diangkat Teater Satu Lampung dalam lakon Visa karya Goenawan Muhamad yang dipentaskan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Jumat (6-5).

Lakon ini bercerita tentang orang-orang yang sedang mengantre untuk membuat visa dengan setting di Kedutaan Amerika. Dalam naskah Visa ini, sebuah kolase tergambarkan dari berbagai pikiran, image, peristiwa yang (pernah atau akan) dialami tokoh-tokohnya di dalamnya.

Antrean panjang. Orang-orang berdesakan. Riuh ramai celoteh-celoteh keluar dari antrean. Berbagai karakter menyusun jalan cerita dari potongan-potongan senandika ataupun dialog yang tumpang tindih antarkarakter dengan setting panggung yang penuh.

Seperti halnya sebuah kerumunan yang memiliki tujuan yang sama, terjadi interaksi antarkarakter. Semua terbentuk oleh tiga pertanyaan dasar: “Siapa Anda?”, “Apa tujuan Anda pergi ke Amerika?”, dan “Mengapa hendak pergi?”

Lalu cerita-cerita atau lebih tepatnya alasan berkumpul di Kedutaan Amerika tersebut mengemuka. Ada aktivis gagap yang ingin membuat sejarah di negeri yang menganut freedom and democrachy itu. Ada artis yang ingin mencoba peruntungan dengan go international. Ada pengusaha berdarah China necis tipikal businessman yang ingin melebarkan usahanya. Ada seorang ibu tua yang ingin menengok cucu. Dan karakter-karakter lain dengan sejuta alasannya ingin ke Amerika.

Ya—sekali lagi—Amerika adalah negeri tujuan semua orang, apa pun alasannya.

Namun, tidak semudah itu pergi ke Amerika, terlebih sejak peristiwa luluh lantaknya menara kembar World Trade Centre (WTC) yang seperti membuat negara adidaya itu paranoid dengan kata “teroris”.

Dan, seperti halnya naskah Visa ini, urusan membuat visa menjadi sebuah urusan yang njlimet. Verifikasi yang sangat hati-hati, bahkan dengan semangat prasangka berlebihan.

“Untuk apa ke Amerika,” ujar petugas kedutaan kepada karakter ibu tua yang hendak membuat visa.

“Untuk menengok cucu,” jawab ibu tua itu.

“Apa pentingnya cucu!?” sidik petugas dengan nada keras.

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu lalu seakan menjadi pertanyaan standar dan utama dalam sebuah formulir permohonan visa, seperti hendak meringkas sejarah hidup, ideologi serta diri seseorang.

Lakon ini seperti hendak menyajikan ironi sebuah realitas berlapis-lapis yang tercampur dalam berbagai gambar, kesan atau bentuk sehingga membentuk sebuah anggapan yang dilabeli “lazim” untuk kaitannya dengan keamanan negara.

Amerika seperti sudah menjadi pusat dunia. Mulai dari ekonomi hingga menjadi polisi. Dan, menjadi sangat wajar ketika sang penguasa dunia itu menerapkan lapisan-lapisan pelindung untuk menyaring orang-orang yang ingin memasukinya, mulai dari peliknya mengurus visa.

Indonesia bagi Amerika adalah salah satu sarang teroris dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang harus diawasi setelah kehadiran musuh dengan stempel: teroris beraroma Islam. Bagi Amerika, runtuhnya menara kembar WTC dan lelehan besi beton tempat hiburan di Legian menjadi potret betapa sekelompok teroris Islam adalah musuh bersama.

Imbasnya adalah menjadi ruwetnya birokrasi pengurusan visa. Amerika harus sangat hati-hati, jangan sampai kemasukan orang dari negara lain, terlebih dari negara-negara Timur, apalagi berdalih kunjungan wisata. Mencegah lebih baik daripada mengobati, walau upaya pencegahan itu dilakukan dengan ketakutan dan prasangka teramat sangat.

Kemudian terjadi pergolakan batin dalam diri setiap karakter, perihal penting atau tidakkah, perihal perlu atau tidakkah, ataupun bisa atau tidakkah pergi ke Negeri Paman Sam tersebut. “..like a bird, feel free!” ungkapan itu akhirnya seperti menjadi titik balik dari kebimbangan setiap karakter yang sebelumnya ragu-ragu. Ending cerita menjadi absurd dengan kembalinya para karakter membentuk garis antrean, entah itu jadi pergi ke Amerika atau kembali hidup dengan nyaman di negeri sendiri.

Stereotip

Secara keseluruhan, naskah Visa yang bergumul dalam cerita-cerita dari para pembuat visa untuk dapat mendapat izin pergi ke Amerika tersebut membuat pementasan terlihat sedikit agak monoton. Namun, akting yang jempolan serta karakterisasi yang sangat pas dari para aktor dan aktris Teater Satu menjadi catatan tersendiri, meski ada beberapa blocking pemain yang terlihat mengganggu.

Kalau boleh nakal sedikit, mungkin “ketakutan” dan “kejumawaan” Amerika dapat membuat jalan cerita jadi lebih menarik, meski itu harus merombak naskah asli. Mungkin saja dapat dibuat lebih satir lagi dengan mengisahkan bagaimana (misalnya) betapa susahnya Sang Presiden Amerika Obama mendapat visa pada waktu ia masih belia dan dipanggil “Barry”.

Ada catatan lain dari pementasan yang berlangsung kurang lebih 90 menit tersebut, yakni kesteorotipan situasi.

Berkunjung ke Amerika jauh berbeda dengan berkunjung ke Arab ataupun Malaysia, pun begitu dengan pengunjungnya. Calon pengunjung Amerika, kalau tidak untuk bekerja, tidak jauh untuk urusan bisnis, misi kesenian, ataupun rekreasi. Berbeda dengan rata-rata orang Indonesia yang datang ke Malaysia atau Arab untuk kepentingan yang nyaris sama, mengais rezeki dari negeri lain.

Namun, yang tampil dalam pentas tersebut tampak mencitrakan warga negara Indonesia seperti kelas pekerja rendahan yang kerap diidentikkan dengan TKI. Padahal di sana ada pengusaha berdarah China dan memiliki stereotip kaya, artis nasional yang perlente, dan lain-lain.

Saling berebut antrean tempat terdepan. Gaduh. Saling dorong. Mengejek. Ruang tunggu kedutaan tak ubahnya terminal atau ruang tunggu pelabuhan. Ah, begitu tipikal orang Indonesia.